Media massa dan Kasus Akil Mochtar

Bagikan artikel ini

Datuak Alat Tjumano, peneliti di Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi, Jakarta serta associate researcher di Forum Dialog (Fordial), Jakarta

Beberapa media massa intens menyoroti kasus penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar oleh KPK. Harian Kompas pada 4 Oktober 2013 mengulas tentang penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar. Penangkapan tersebut mencederai eksistensi lembaga negara di bidang hukum, lembaga baru pascaamandemen UUD 1945. Pencederaan tidak hanya mendegradasi keluhuran lembaga negara, tetapi juga mempersubur ketidakpercayaan masyarakat terhadap praksis pemerintahan, dalam hal ini mandulnya pelaksanaan konstitusi sebagai hukum tertinggi.

Bahkan di rubrik lainnya masih di hari yang sama, Harian Kompas menulis berita dengan judul “Suap MK Mengguncang Negara” yang memberitakan tentang kasus suap MK. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Akil Mochtar (Ketua Mahkamah Konstitusi) sebagai tersangka penerima suap terkait dengan dua kasus penyelesaian sengketa pemilihan umum kepala daerah. Terbongkarnya skandal tersebut dinilai  mengguncang banyak elemen negara.

Harian Kompas juga menulis berita berjudul “Pilar Konstitusi Roboh” memberitakan tentangAkil Mochtar (Ketua Mahkamah Konstitusi) dinilai telah merobohkan pilar konstitusi di Indonesia, setelah tertangkap tangan menerima suap terkait dengan penanganan perkara sengketa pemilihan umum kepala daerah.

Sementara itu, Harian Seputar Indonesia (Sindo) dalam headline tanggal 4 Oktober 2013 memberitakan, hukuman yang pantas untuk Akil Mochtar terkait dengan penerimaan suap sengketa Pilkada. Penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar benar-benar merupakan bencana besar bagi dunia penegakan hukum di Indonesia. Akil pun dinilai pantas dihukum mati karena telah menyalahgunakan jabatan dalam lembaga peradilan tertinggi.

Seputar Indonesia pada hari yang sama juga memberitakan tentang Komisi Yudisial (KY) yang meminta agar mekanisme pengawasan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dihidupkan kembali, pascapenangkapan Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Imam Anshori Saleh (Komisioner KY) mengatakan pengawasan sangat diperlukan mengingat sejak dibatalkannya pasal pengawasan terhadap hakim konstitusi pada 2006 dalam peraturan perundang-undangan, tidak ada lagi lembaga yang mengawasi sepak terjang MK. Dengan tidak adanya mekanisme pengawasan perilaku hakim menjadi tidak terkontrol.

Sedangkan Harian Indopos pada 4 Oktober 2013 menulis judul “Akil Jadi Tersangka Dua Kasus” yang intinya memberitakan tentang penetapan Akil sebagai tersangka dalam dua kasus sekaligus. Abraham Samad (Ketua KPK) mengatakan bahwa kasus yang sedang menimpa Akil bukan hanya kasus Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah tetapi juga terkait dengan Pilkada Lebak, Banten.

The Jakarta Postpada 4 Oktober 2013 menulis berita dengan judul “Akil Could Face 20 Years”, memberitakan tentang kasus Akil Mochtar. Akil Mochtar (Ketua Mahkamah Konstitus) ditetapkan sebagai tersangka oleh  Komisi Pemberantasan Korupsi karena diduga menerima suap dalam peradilan sengketa Pilkada. Sesuai dengan hukum dan UU yang berlaku, Akil dapat diberi hukuman penjara maksimal 20 tahun.

Sedangkan Harian Umum Sore Suara Pembaharuan pada headline tanggal 4 Oktober 2013 berjudul “Uangkap Semua Suap Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK)” pada intinya memberitakan, KPK tidak membantah  adanya dugaan Ketua MK, Akil Mochtar menerima suap terkait  pengurusan sengketa Pilkada  selain kasus yang tertangkap tangan yakni Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalteng dan Kabupaten Lebak, Banten. Ketua MK Akil Mochtar ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 3 Oktober 2013. Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat), Hifdzil Alim mengatakan,  sebaiknya seluruh putusan Pilkada yang telah  diputus MK dalam sidang pleno  yang dipimpin Akil dieksaminasi. Hal ini dianggap penting untuk mengetahui dugaan  keterlibatan hakim lain atau kejanggalan-kejanggalan putusan MK. Namun, menurut Direktur Riset dari Charta Politica, Yunarto Widjaya,  keputusan MK termasuk yang diketuai Akil Mochtar tidak bisa ditinjau atau dieksaminasi kembali karena keputusan itu bersifat final dan mengikat.  Yang bisa dilakukan adalah melakukan  penyelidikan terhadap dugaan  penyuapan dari kasus-kasus yang ada , terutama yang diperiksa oleh Akil Mochtar.

Berita Media Massa, Harapan Rakyat Kepada MK

Eksistensi Mahkamah Konstitusi (MK) oleh berbagai pakar hukum Tata Negara dianggap sebuah sikap bijak bangsa Indonesia, karena betapapun sebuah UU disusun oleh 560 anggota DPR ditambah Presiden dengan semua jajaran penegak hukum yang membantunya, tetap mungkin terjadi kelalaian sehingga bertentangan dengan UUD yang berlaku.Oleh karenanya, MK meskipun hanya terdiri dari sembilan orang dari segi kebijakan bangsa sangat penting artinya.

Namun demikian kekeliruan MK yang ada dewasa ini adalah justeru seolah-olah MK can do no wrong sebuah kewenangan yang diberikan kepada para anggotanya bisa melahirkan sikap-sikap tidak jujur dari anggotanya.Untuk itulah salah satu puncak pemikiran Presiden SBY menanggapi kasus Akil Mochtar adalah proses pemilihan anggota MK dan  pengawasan atas pelaksanaan werwenang MK perlu diatur dengan cermat sehingga pembentukan MK sebagai sebuah kebijakan bangsa benar-benar selalu bijak tindakannya.

Mengingat gagasan ini merupakan tindakan darurat yang perlu segera dilakukan maka sebuah Perpu tentang MK perlu diterbitkan dan untuk itu melalui sebuah pertemuan dimintakan pandangan bijak dari semua pimpinan lembaga tinggi negara yang ada.

Gagasan menerbitkan Perpu inilah yang kini merupakan obyek perdebatan diantara pemimpin bangsa dan tindakan Presiden SBY mengumpulkan semua pimpinan lembaga tinggi negara, kecuali MK telah memancing perlawanan dari berbagai pakar hukum tata negara.
Secara politis bahkan kesigapan Presiden SBY untuk secepatnya membenahi MK memancing tuduhan dari salah seorang Sekjen sebuah parpol besar bahwa Presiden SBY telah merekayasa suasana yang ingin melemahkan MK, sebuah lembaga Pengadilan Tinggi yang akan mengadili seorang tokoh yang dianggap bersalah dalam masalah bailout Bank Century tetapi dewasa ini menduduki jabatan yang tinggi dinegeri ini. Tuduhan ini didasarkan pada kenyataan yuridis pemilihan anggota MK dalam rangka penggantian seluruh anggota MK baru akan dilakukan empat tahun lagi, sehingga meributkannya sekarang merupakan langkah yang mengada-ada.

Sementara itu, pemberitaan media massa yang memuat pernyataan salah seorang pakar tata negara yang mendesak atau menuntut agar Akil Mochtar  dihukum dapat diterjemahkan oleh masyarakat bahwa pakar hukum tata negara tersebut berusaha mencari popularitas diatas malapetaka yang menimpa Akil Mochtar, karena UU Anti Korupsi tidak mengenal hukuman mati bagi koruptor.

Dari berbagai pemberitaan media massa tersebut, nampaknya semua sepakat bahwa tindakan Akil Mochtar menerima suap adalah kesalahan yang akibat buruknya bisa menimpa MK. Namun dalam perkembanagnnya mengingat pentingnya MK, maka sikap umum yang ingin mendegradasi peranan MK dianggap keliru dan MK harus segera ditegakkan lagi wibawanya.

Tuntutan emosional agar MK dibubarkan mulai disadari berlebihan sehingga tidak perlu dimunculkan lagi dalam pemberitaan media massa. Seharusnya, anggota Majelis Kehormatan MK tidak turut terpancing dengan respons berbagai kalangan yang terungkap dalam pemberitaan media massa terkait desakan pembubaran MK. Karena sejatinya, dalam rangka menegakkan kembali wibawa MK, Majelis Kehormatan MK perlu semakin diaktifkan, karena kasus Akil Mochtar juga tidak menutup kemungkinan karena kurang optimalnya kinerja Majelis Kehormatan MK dalam mengawasi, memperhatikan dan mencermati setiap perkembangan yang terjadi dalam tubuh MK baik dari pemberitaan media massa ataupun sumber informasi lainnya.

Bagaimanapun juga, media massa dalam kasus Akil Mochtar hanya menempatkan posisinya sebagai “watchdog” dan menyalurkan aspirasi masyarakat bahwa kasus ini harus diusut secara tuntas. Walaupun tidak menutup kemungkinan ada agenda setting yang turut dimainkan media massa seperti misalnya kasus korupsi Akil Mochtar seolah-olah harus dipertanggungjawabkan kepada MK, padahal sejatinya kasus tersebut merupakan kasus pribadi Akil Mochtar bukan kasus yang harus ditanggung risikonya oleh MK secara institusional.

Akan lebih menarik jika kasus Akil Mochtar ini dipandang atau disoroti lebih mendalam oleh media massa terkait dengan bagaimana parpol mempersiapkan kadernya agar “tidak rakus”, termasuk bagaimana parpol memerangi korupsi, karena diakui atau tidak banyaknya kader parpol yang terjerat kasus korupsi tentu dapat menjadi ancaman terhadap legitimasi politik dan demokrasi di Indonesia. Kalangan parpol berkaca dari kasus Akil Mochtar perlu melakukan langkah revitalisasi dan perubahan paradigma parpol dengan menekankan pesan khusus kepada publik bahwa parpol yang banyak kadernya terlibat kasus korupsi tidak layak dipilih dalam Pemilu 2014 agar mereka lambat laun mati dengan sendirinya, karena meluasnya kebencian masyarakat terhadap parpol dimaksud. 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com