Memahami Ulah VOC dan PRT di Jalur Sutra (Bagian 1)

Bagikan artikel ini

M. Arief Pranoto, Pemerhati Masalah Internasional dari Global Future Institute

Dalam sejarah penjajahan dunia, nama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mungkin sudah tidak asing lagi. Inilah perusahaan Belanda (1602) yang dahulu memiliki monopoli perdagangan di Asia. Kendati cuma badan dagang, namun didukung negara dan diberi hak-hak istimewa, misalnya boleh memiliki tentara sendiri, atau ia bisa negosiasi langsung dengan negara-negara dan seterusnya.

Dalam perspektif hubungan internasional kini, perilaku VOC tersebut merupakan kategori aktor non negara — dimana level dan statusnya telah setingkat negara, bahkan mungkin di atas negara (above the state). Artinya bahwa di era tempo doeloe pun, VOC sudah tergolong “Negara dalam Negara” — hanya teori dan antisipasi lambat meresponnya.

Mantra Sakti VOC

Daya cengkeram yang kuat lagi relatif lama (sekian abad) di Asia, terutama sewaktu Belanda menjajah Indonesia, adalah tak lepas dari watak dasar pola kerjanya yakni devide et impera. Itulah mantra unggulan VOC dimanapun dan kapanpun. Tanpa “mantra” tersebut, barangkali ibarat pedagang kaki lima yang siap digusur kian-kemari berdalih penertiban, penghijauan, supremasi hukum dan seterusnya.

Devide et impera ialah teori pecah belah, dan sering juga disebut strategi “belah bambu”, atau taktik adu domba. Teori ini diperkenalkan Christian S. Hurgronje tatkala menjajah Indonesia. Ia merupakan sinergi dari berbagai strategi baik militer, sosial, agama, budaya, ekonomi dan lain-lain guna meraih tujuan, sekaligus melestarikan kekuasaan dengan cara memecah suatu kelompok besar menjadi kecil-kecil; atau membagi kawasan luas menjadi jengkal-jengkal wilayah; menyulap raja besar menjadi raja-raja kecil; mengubah Negara Kesatuan menjadi otonomi-otonomi (daerah); menutup persoalan penting menjadi remeh; sebaliknya mampu menyihir hal sepele menjadi perhatian masyarakat seolah-olah urgen dan heboh (pengalihan isue); atau membengkokkan rasa nasionalisme suatu bangsa menjadi ego sektoral atas nama profesionalisme; juga menciptakan jiwa separatis; menyalakan semangat kedaerahan yang sempit; atau melahirkan komprador-komprador baru dalam suatu negara dan lain-lainnya.

Tahap berikut biasanya antar kelompok kecil yang telah terpecah diberi “mainan”, atau diletakkan “organ asing” agar terus dan saling berbenturan tanpa disadari kelompok yang bertikai, malah anehnya justru menganggap bahwa apa yang tengah dikerjakan itu BENAR menurut cara pandangnya, bahkan disikapi sebagai jihad, bagian dari perjuangan dan lain-lain.

Ciri dari devide et impera ialah membuat sibuk dinamika politik melalui isue-isue HILIR (korupsi, kesenjangan, demokratisasi, HAM dan lain-lain) bersifat non kekerasan tetapi implikasinya anarkhisme dan kekerasan massa. Itulah sejatinya “mainan” dan “organ asing” yang ditanam. Sehingga masalah-masalah HULU sebagai penyebab pokok mengapa suatu negara menjadi lemah, justru diabaikan berbagai gerakan-gerakan rakyat, misalnya Sistem Negara yang berpotensi korupsi; pengelolaan sumber daya alam oleh swasta; perubahan aturan negara menguntungkan pihak asing; serta internalisasi nilai-niai asing yang diterapkan dalam masyarakat, dan seterusnya. Pada gilirannya kelompok atau kawasan tersebut menjadi rapuh, lemah dan mudah dikalahkan secara politis — lalu dijadikan daerah taklukan.

Tahap selanjutnya ialah “penghisapan” berbagai sumberdaya terutama manusia dan kekayaan alam tanpa ada perlawanan berarti dari rakyat sekelilingnya. Inti dan hakiki devide et impera adalah melemahkan jiwa juang; mencabik-cabik rasa persatuan dan kesatuan suatu kaum, kelompok, golongan; atau mencegah berpadunya (bersenyawa) berbagai kebhinekaan suatu bangsa. Itulah sekilas tentang VOC dengan aneka “adu domba” selaku mantra sakti unggulannya.

Kenapa Berebut Jalur Sutra

Merujuk hal di atas, itulah yang kini terjadi di Timur Tengah (Timteng) dan sekitarnya. Ada aroma VOC gaya baru dalam gejolak di Kelompok Negara Jalur Sutra, yang menurut definisi David Rockefeller daerah itu melintasi Maroko (Afrika Utara) hingga perbatasan Cina dan Rusia. Namun sebelum melangkah jauh soal VOC, sebaiknya diurai sekilas perihal apa, dimana dan mengapa Jalur Sutra diperebutkan.

Istilah Jalur Sutra baru diperkenalkan oleh Ferdinand Von Rictthofen, Geograper Jerman pada abad ke 19,  meski fungsinya sudah ada sejak abad ketiga SM baik sebagai rute ekonomi, sosial dan budaya maupun jalur militer. Ia membelah antara Dunia Barat dan Dunia Timur. Membujur di antara Cina – via UTARA melalui Kyrgystan, Kazakhtan, Uzbekistan, Turmeniztan, Iran, Iraq, SYRIA, Turki selanjutnya terus ke Eropa; sedang via SELATAN membentang antara Cina, India, Pakistan, Afghanistan, Iran, Iraq, SYRIA, Mesir terus berlanjut ke negara-negara Afrika Utara hingga Maroko. Titik pisah kedua Jalur Sutra Benua (Utara dan Selatan) adalah SYRIA.

Selanjutnya adalah Jalur (tambahan atau pengembangan) melalui perairan adalah via Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Lautan Hindia, Laut Merah, dan Laut Mediterania.

Konon selain sebagai jalur ekonomi, budaya dan militer dunia, tak bisa dipungkiri bahwa hampir semua negara di sepanjang jalur ini merupakan penghasil minyak, gas dan jenis-jenis tambang lainnya. Benar-benar sebuah “Jalur Basah” lagi menggiurkan bagi para kaum kapitalis dunia.

Begitu vitalnya Jalur Sutra dalam dinamika politik global, hingga pakar luluhur pakar kelautan AS Laksamana Alfred Mahan mengabadikannya pada doktrin di kalangan militer AS yaitu : “Barang siapa menguasai Lautan Hindia menjadi kunci percaturan dunia”. Dan sesungguhnya di dalam doktrin keramat tersebut tersirat makna, bahwa siapa menguasai Jalur Sutra maka ia bakal merajai dunia!

Dalam perspektif hegemoni AS, setiap negara yang berpotensi pesaing dan “membandel” mutlak dibendung, dilemahkan bahkan kalau perlu dihancurkan baik dari sisi dalam (smart power) maupun terbuka (hard power). Makanya selain Iran, Venezuela, Kuba, Bolivia dan seterusnya – Cina dianggap kompetitor, sebab mengkonsumsi separuh minyak di pasar dunia. Persaingan keduanya berlangsung ketat guna menguasai sumber-sumber minyak di berbagai belahan bumi. Hal lain sebagai data, bahwa usai Perang Dunia II, Timteng dianggap penting oleh AS terutama sumber daya minyaknya.

Bersambung (Bag 2)

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com