Membaca Abdul Fattah al Sisi, Presiden de fakto Mesir

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Analis Senior Global Future Institute (GFI)

Tak diragukan lagi, inilah  sosok yang jadi penguasa sesungguhnya perpolitikan nasional Mesir saat ini. Jenderal Abdul Fattah al Sisi, Panglima Angkatan Bersenjata Mesir. Pria kelahiran 19 November 1954 ini mulai dilantik oleh Presiden Morsi pada 12 Agustusu 2012. Tak heran jika berkembang pendapat saat itu bahwa Jenderal Sisi merupakan loyalis Presiden Morsi yang kala itu mulai muncul berbagai gerakan protes yang ditujukan untuk menggusur kader Ihwanul Muslimin ini dari tampuk kekuasaan.

Namun kalau kita menelisik kembali skenario kejatuhan Presiden Hosni Mobarak dari kursi kepresidenan, sebenarnya sudah bisa ditebak bahwa sedari awal Angkatan Bersenjata Mesir sepenuhnya memegang inisiatif politik menjelang dan sesudah tumbangnya Mobarak.
Ketika Mobarak dipaksa mundur pada Februari 2011, Mobarak tidak menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Wakil Presiden Omar Sulaeman, melainkan kepada Dewan Jenderal Angkatan Bersenjata (The High Command of Armed Forces) yang ketika itu dipimpin oleh Marsekal Udara Mohamed Hussein Tantawi yang juga saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan dalam kabinet Mobarak.
Ketika Morsi lengser 3 Juli lalu, menyusul pengambil-alihan kekuasaan oleh militer dan menyerahkan kekuasaan sementara kepada Adli Mansour, Ketua Mahkamah Konstitusi Mesir, maka logis kalau kita harus cari tahu siapa sosok militer Mesir yang dalam posisi memainkan peran yang sama persis seperti yang dilakukan Hussein Tantawi pada momen-momen yang krusial menjelang kejatuhan Mobarak.
Di sinilah pentingnya kita menyorot Jenderal al Sisi, yang sejak 12 Agustus 2012 selain menjabat Panglima Angkatan Bersenjata, sekaligus juga sebagai Menteri Pertahanan. Dengan kata lain, pria berusia 58 tahun ini praktis merupakan Ketua Dewan Jenderal (Junta militer) Mesir ketika memaksa Morsi mundur dari kantor kepresidenan.
Bagaimana haluan politik Jenderal al Sisi sebagai de fakto penguasa Mesir di belakang Adli Mansour yang sebenarnya hanya sekadar presiden boneka?
Berbeda dengan sosok Tantawi yang notabene merupakan perwira angkatan udara, al Sisi adalah perwira senior angkatan darat dari korps infanstri. Dan punya pengalaman berkecimpung di bidang intelijen militer. Dua rekam jejak pengalaman kemiliteran yang kalau dilihat dari berbagai kajian keterlibatan militer dalam politik di berbagai negara, biasanya para perwira militer dari angkatan darat korps infantri intelijen, punya ambisi yang besar terhadap kekuasaan dan punya kesadaran politik yang cukup tinggi.
Pada tataran ini, menarik membaca manuver Jenderal al Sisi dalam mewarnai perpolitikan Mesir pasca kejatuhan Morsi.
Beberapa pakar politik dan media massa luar negeri maupun di Mesir itu sendiri, cenderung memandang al Sisi tidak mempunyai pengalaman di medan tempur seperti halnya mentor militernya Marsekal Tantawi, namun menurut penulis justru karena itu kecenderungannya yang kuat untuk bermain politik kiranya jauh lebih kuat dibandingkan Tantawi yang pada dasarnya hanya sekadar serdadu tulen.
Begitupun, al Sisi ternyata cukup bernasib baik mencapai kepangkatan tertinggi di angkatan darat karena pengalamannya sebagai komandan divisi infantri.
Pengalamannya semakin bertambah ketika dipercaya untuk menangani bidang informasi dan keamanan di Direktorat Jenderal Kementerian Pertahanan. Bukan itu saja. Kepekaan politik dan intelijennnya tentu semakin terasah ketika ditunjuk sebagai atase militer Mesir di Arab Saudi.
Nampaknya para atasan al Sisi sudah melihat bahwa pria kelahiran Kairo ini punya aneka bakat yang tidak semata di bidang kemiliteran, melainkan juga di bidang intelijen dan diplomasi. Inilah yang pada akhirnya sosok ini berhasil mencapai posisi sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, posisi tertinggi dan jadi idam-idaman setiap perwira angkatan darat.
Eforia pasca kejatuhan Mobarak akibat tekanan gelombang aksi massa pada 2011, yang kemudian disusul dengan pemilu pertama kali yang memunculkan Ihwanul Muslimin sebagai pemenang pemilu, telah membuat berbagai elemen masyarakat terlena dan menganggap kekuasaan sipil secara otomatis memegang kendali dan inisiatif politik.
Ketika Morsi 12 Agustus 2012 al Sisi dilantik sebagai Panglima Angkatan Bersenjata dan Menteri Pertahanan, entah apa yang ada di benak Presiden Morsi mengenai sosok orang nomor satu militer pilihannya ini. Apa yang mendasari Morsi begitu yakin bahwa al Sisi akan setia dan mendukung secara maksimal kekuasaannya selaku kepala negara dan pemerintahan? Ataukah penunjukkan al Sisi justru sejatinya menggambarkan secara nyata bahwa sedari awal Morsi sepenuhnya berada dalam kendali kekuasaan militer Mesir?
Apapun dasar pertimbangan Morsi melantik al Sisi sebagai Panglima Angkatan Bersenjata sekaligus Menteri Pertahanan dan Ketua Dewan Jenderal, jabatan al Sisi sebelumnya seharusnya sudah mengindikasikan bahwa orang ini merupakan perwira militer yang cukup berkelas sebagai politisi militer.
Sebagai Direktur Intelijen Militer dan Pengintaian (Military Intelligence and Reconnaissance), sebenarnya harus dibaca sebagai indikasi bahwa orang ini punya akses dan sumberdaya manusia yang cukup kuat sebagai modalitas politiknya kelak se sebagai figur politik nasional Mesir.
Dalam perpolitikan Mesir di mana peran militer merambah ke berbagai sektor kehidupan masyarakat, maka para perwira militer yang punya rekam jejak aktif di bidang intelijen dan pengintaian, bisa dipastikan figur tersebut punya akses politik ke berbagai elemen masyarakat maupun organisasi-organisasi sosial-budaya dan bahkan keagamaan. Yang pada perkembangannya kemudian memiliki jalinan kontak dengan beberapa aktor-aktor kunci dari berbagai elemen masyarakat baik sipil maupun militer. Baik yang berkecimpung di birokrasi pemerintahan maupun dari kalangan swasta.
Menyusul lengsernya Morsi dan lumpuhnya Ihwanul Muslimin berikut sayap politiknya Partai Kebebasan dan Keadilan, maka pertanyaannya kemudian bagaimana haluan politik al Sisi? Mengingat salah satu kecaman Suriah adalah kecenderungan kuat Morsi untuk main mata dengan Amerika Serikat, menjadi logis jika berkembang pertanyaan apakah al Sisi akan menerapkan haluan politik yang berbeda dengan yang ditempuh Morsi dan Ihwanul Muslimin?
Kalau menelisik riwayat pendidikannya di kemiliteran, nampaknya al Sisi pun bisa dibilang merupakan binaan Amerika yang tentunya berada dalam kendali pengawasan CIA dan DIA (Intelijen Militer/Pertahanan) AS.
Betapa tidak. Pada 1992 tercatat pernah belajar di General Command and Staff Course dan  Joint Command and Staff College, Inggris. Lantas pada 2006, pernah berkesempatan juga belajar di US War College. Setidaknya dari dua riwayat pendidikan di Inggris dan AS ini, rasa-rasanya mustahil pihak Pentagon akan meloloskan perwira potensial ini untuk belajar di Amerika dan Inggris jika tidak bisa dijamin akan jadi salah satu petinggi angkatan bersenjata yang pro dan sehaluan dengan kebijakan strategis Washington.
Tapi ya kita lihat saja nanti. Kadang, Politik itu merupakan seni untuk bermain dua sisi. Dan al Sisi, dengan pengalamannya yang lebih banyak bergelut sebagai perwira staf politik dan intelijen daripada sebagai perwira tempur, bisa jadi memang inilah sosok kepemimpinan politik militer yang memang dibutuhkan Mesir saat ini.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com