Membaca Dampak Kebijakan Trump terhadap Korea Utara di Asia, Termasuk Indonesia

Bagikan artikel ini

Sudarto Murtaufiq, Peneliti Senior Global Future Institute (GFI) Jakarta

Peringatan Donald Trump bahwa pihaknya bisa mengambil tindakan sepihak untuk menghilangkan ancaman nuklir Korea Utara telah memicu kekhawatiran di kalangan pengamat isu internasional di Asia mengenai implikasi pecahnya konflik antara Korea Selatan, Jepang dan China melawan Korea Utara.

“China memiliki pengaruh besar terhadap Korea Utara. Dan China akan memutuskan apakah membantu Korea Utara, atau tidak,” kata Mr. Trump kepada Financial Times dalam sebuah wawancara di Oval Office. “Jika China tidak mau menyelesaikan (persoalan nuklir) Korea Utara, kami akan melakukannya.”

Komentar presiden AS tersebut muncul beberapa minggu setelah Rex Tillerson, Menlu Amerika Serikat, menyatakan dalam sebuah kunjungan ke Asia bahwa kebijakan AS perihal “kesabaran strategis telah berakhir”. Tillerson mengatakan, Washington tidak akan mengesampingkan opsi apapun untuk menanggapi provokasi Korea Utara.

Trump tidak menjelaskan opsi sepihak apa yang akan dia pertimbangkan, namun para analis mengatakan bahwa AS akan memulainya dari serangan dini (pre-emptive) terhadap Korea Utara sampai melakukan pembicaraan diplomatik langsung.

Shi Yinhong, seorang ahli kebijakan luar negeri di Universitas Renmin di China, mengatakan bahwa AS mempertimbangkan secara serius serangan militer terhadap Korea Utara, yang dia katakan adalah sebuah langakah yang tidak akan didukung oleh China.

Langkah semacam itu akan menimbulkan konsekuensi serius, kata Shi. “Salah satu pertanyaan yang tidak dapat jawab oleh AS atau Korea Selatan adalah, jika mereka menyerang Korea Utara, bagaimana mereka akan melindungi rakyat Seoul dari serangan artileri (Korea Utara)?”

Namun, para pakar lainnya, termasuk banyak di AS, percaya bahwa peringatan Trump ditujukan untuk menekan Beijing agar mengambil tindakan lebih keras untuk menghadang ambisi nuklir Pyongyang.

“Ini adalah tindakan tawar-menawar Trump, sembari memperingatkan Beijing dan Pyongyang bahwa dia bisa sama irasionalnya dengan Korea Utara. Saya pikir semua kemungkinan ada di atas meja dan semua interpretasi atas komentarnya mungkin dilakukan,” kata Bong Young-shik, peneliti di Institute for North Korea Studies di Universitas Yonsei di Seoul.

“Ketidakpastian yang dihadapi AS terhadap kebijakan Korea Utara dapat memberikan pengaruh besar bagi Washington dalam menghadapi Beijing dan Pyongyang,” katanya.

Belum lama ini, Hyeonseo Lee, seorang pembelot Korea Utara yang terkemuka, menyambut baik sikap AS yang dia katakan dapat mendorong China untuk bertindak: “Saya merasa memiliki sedikit harapan. Saya tidak berharap terlalu banyak, tapi entah bagaimana saya merasa setidaknya jika benar-benar Amerika akan mengambil tindakan itu adalah jawaban terbaik. ”

Washington memandang Korea Utara sebagai ancaman yang paling dekat bagi AS, menyusul peringatan Barack Obama kepada Trump sebelum dia menjadi presiden mengenai kemajuan yang telah dilakukan Pyongyang dalam mengembangkan rudal jarak jauh dan senjata nuklirnya.

Meski begitu, kata Paul Haenle, penasihat Asia untuk George W Bush dan Obama, strategi Trump untuk Korea Utara “tidak berbeda” dengan dua pendahulunya sebagai presiden AS.

“Idenya adalah Anda memperbaiki masalah ini dengan kita atau kita harus melakukannya sendiri – dan akibatnya tidak akan Anda sukai,” katanya. “Ini hanya lebih mendesak sekarang karena Kim Jong Un dan seberapa cepat dia bergerak dalam program rudal dan nuklirnya.”

Tidak ada tanggapan resmi dari China atas komentar Trump. Di Seoul, pejabat Korea Selatan bahkan menganggap peringatan Trump tidak akan memberikan dampat besar dan hanya menguap belaka.

“AS, Korea Selatan dan tetangga kita semua sadar akan pentingnya menyelesaikan masalah nuklir Korea Utara,” kata kementerian unifikasi Seoul, belum lama ini. “Mereka semua sepakat bahwa pengaruh China sangat penting dalam menyelesaikan masalah ini sehingga Washington berperan aktif dalam hal ini berdasarkan pemahaman bersama.”

Beberapa analis memperkirakan AS akan menerapkan sanksi ekonomi yang lebih keras terhadap Korea Utara, daripada secara serius melancarkan opsi militer, mungkin dengan memperluas boikot sekunder terhadap perusahaan-perusahaan China yang melakukan hubungan bisnis dengan Korea Utara.

Bulan lalu, perusahaan telekomunikasi China ZTE mengaku bersalah atas tuntutan pidana karena melanggar sanksi AS terhadap Korea Utara dan Iran dan setuju untuk membayar denda sebesar 1,2 miliar USD, hukuman sanksi terbesar yang dikenakan terhadap perusahaan China oleh Washington.

Setelah dua uji coba nuklir dan lebih dari 20 peluncuran rudal tahun lalu, Beijing menjadi lebih keras pada Pyongyang akhir-akhir ini, sembari mengambil langkah berani untuk melarang impor batubara dari Korea Utara hingga akhir tahun.

Namun, Beijing lebih memilih pendekatan yang lebih lentur untuk menangani Korea Utara, sembari mengusulkan agar Washington terlibat dalam perundingan perjanjian damai dengan Pyongyang dan menangguhkan latihan militer gabungan Korea Selatan-AS sebagai pengganti pembekuan operasi nuklir dan rudal Korea Utara.

“Beijing berkewajiban untuk memberikan isyarat-isyarat dalam kaitannya dengan peringatan Washington. Ini bisa menjadi kesepakatan bagus bagi Beijing jika bisa mendapatkan beberapa konsesi dari Washington mengenai hubungan perdagangan atau ekonomi bilateral atau Laut China Selatan, dengan menyerahkan hubungan dengan Korea Utara,” kata Bong.

Sementara sejulah pakar lainnya meragukan apakah Beijing memiliki pengaruh signifikan atas Pyongyang meskipun diakuinya ada ketergantungan perdagangan Korea Utara terhadap Cina. “China telah melakukan banyak hal, mempertaruhkan hubungannya dengan Korea Utara. Hanya ada satu alat yang tersisa untuk China – untuk sepenuhnya menghentikan pasokan minyak Korea Utara. Tapi tidak ada yang bisa menjamin akan ada pihak-pihak yang bisa memaksa Kim Jong Un untuk menghentikan program nuklirnya,” kata Shi.

Euan Graham, seorang analis keamanan di Lowy Institute, sebuah think-tank di Sydney, sepakat bahwa “asumsi bahwa China dapat menyalakan dan mematikan lampu di Korea Utara mungkin terlalu sederhana”.

Dia berpendapat, seperti Bong, bahwa China akan melihat keinginan Trump untuk bekerja sama dalam masalah Korea Utara sebagai pembuka untuk mengamankan konsesi lain dari AS, mungkin atas masalah-masalah seperti Laut Cina Selatan.

Bagaiman Dampaknya bagi Indonesia

Harus diakui, sebagimana dikemukakan sebelumnya bahwa para pengamat isu internasional, termasuk pemimpin dunia mengingatkan risiko terjadinya pertempuran di Semenanjung Korea yang bisa berujung pada perang nuklir antara Korea Utara dan Amerika Serikat.

Respons negara-negara di kawasan Asia Timur, sebut saja Jepang bahkan meminta kepada warganya agar selalu berlatih mencari tempat perlindungan, seandainya pecah perang nuklir terjadi. Terlebih pemimpin Korea Utara Kim Jong-un sangat marah melihat provokasi yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump dengan mengirimkan kapal perangnya ke perairan Korea Selatan belum lama ini.
Manakala kapal perang AS ini tetap beroperasi di perairan tersebut, Kim Jong-un mengancam akan menyerang AS dan Australia dengan segala alutsista yang mereka miliki. Ancaman itu tentu bukanlah isapan jempolmengingat Korea Utara telah berhasil mengembangkan senjata berhulu ledak nuklir yang sejak akhir dekade 90-an. Harus diakui, benih-benih konflik ini sebenarnya sudah dimulai sejak pemerintahan Barack Obama. Tahun lalu, AS menempatkan sistem pertahanan peluru kendali di Korsel. Pyongyang yang tidak terima bahkan berulang kali melakukan uji coba misil dan juga bom nuklir.

Korut kembali melakukan uji coba rudal jarak jauh bertepatan dengan ulang tahun militernya yang ke-85 belum lama ini. Meski uji coba tersebut gagal, seperti biasa hal tersebut berbuntut ketegangan yang membuat banyak pihak cemas, termasuk di Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara yang lain.

Situasi panas di Semenanjung Korea sebenarnya sudah terlalu biasa. Toh Korut dan Korsel secara resmi masih berperang sejak setengah abad terakhir. Tapi kali ini nampaknya kita boleh sedikit khawatir. AS buru-buru mengirim empat kapal selam nuklirnya—termasukUSS Michigan—ke perairan Korea Selatan. Trump baru-baru ini menyatakan semua opsi—termasuk serangan militer akan menjadi opsi yang akan diambil AS terhadap Pyongyang—demi sebuah ambisi, yaitu menghentikan nuklir Korut. Awal tahun ini Kim Jong-un mengklaim rudal balistik antar-benua mereka yang diberi kode sandi KN-08 memiliki daya jelajah hingga 11.500 kilometer. Rudal itu kabarnya memasuki pengembangan tingkat akhir. Informasi inilah yang membuat banyak kalangan AS ketar-ketir. Presiden Trump sampai nge-tweet “Ambisi Nuklir Korut tidak bisa dibiarkan!”

Korut yang terletak di Benua Asia itu sudah mengancam bukan hanya AS, tapi juga Australia, negara tetangga kita di belahan selatan. Membayangkan skenario terburuk dari kekacauan di Korea, sekonyol apapun itu, artinya masuk akal. Imbas peperangan tersebut bisa saja merambah Asia Tenggara. Lantas jika ketegangan tersebut berujung pada perang nuklir apakah Indonesia sudah siap dengan semuanya?

Muradi, pengamat militer dari Universitas Padjajaran menyatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan bisa berbuat apa-apa andai perang (nuklir) itu benar-benar terjadi.

“Tidak ada yang bisa kita lakukan. Indonesia tidak menyiapkan diri menghadapi perang nuklir karena percaya prinsip luar negeri kita bebas aktif,” katanya seperti dilansir vice.com. “Secara faktual dan kontekstual Indonesia tidak siap [menghadapi perang nuklir].”

Dengan kata lain, ketika pecah konflik di Semenanjung Korea, Indonesia belum bisa berbuat banyak, terlebih dalam memediasi terjadinya perundingan secara damai di antara pihak yang bertikai dalam hal ini AS versus Korea Utara.

Mengapa demikian? Karena Indonesia belum pernah merilis protokol menghadapi skenario perang nuklir di kawasan. Faktor lain yang mengkhawatirkan adalah kondisi alutsista milik Indonesia yang dinilai ketinggalan zaman, meskipun anggaran pertahanan tetap yang paling tinggi dalam APBN.

“Jika head-to-head dengan Malaysia atau Singapura masih kalah jauh dari segi modernitas. Kita cuma bisa head-to-head dengan Vietnam. Kita sedikit di bawah Filipina dan Thailand,” kata Muradi.

Alutsista kita masih mengandalkan perdagangan terutama dari Korea Selatan, Iran dan Rusia, imbas dari embargo penjualan kelengkapan militer AS sepanjang kurun 1995-2005. Indonesia, ambil contoh, tak memiliki kapal induk pengangkut jet tempur. Kapal selam baru pun baru akan datang dari pabrikan di Korea Selatan tahun ini. Pecah perang di Semenanjung Korea bisa membuat Indonesia gagal punya kapal selam baru.

Di matra udara, Indonesia masih mengandalkan hibah dari AS berupa F-16 berusia tua yang terus dipaksakan terbang. F-16 milik TNI AU beberapa kali tergelincir, sehingga tak bisa digunakan lagi karena sparepart-nya mahal dan harus didatangkan langsung dari negeri pembuatnya.

Faktor lain yang membuat Indonesia tak siap menghadapi risiko peperangan di kawasan adalah ideologi pertahanan nasional yang dianut pemerintah. Muradi menyatakan Indonesia mengadopsi Sistem Pertahanan Semesta (Sishanta), prinsip militer untuk mengerahkan seluruh masyarakat jika diperlukan, yang diadopsi sejak Dwi Komando Rakyat (Dwikora) 1962.

“Kita itu terakhir kali perang beneran kan tahun 1975 di Timor Timur. Pertahanan kita berbasis teritorial, mengandalkan pulau-pulau besar. Kita terbiasa dengan perang model gerilya, head-to-head. Kita terbantu karena negara kita kepulauan,” ujarnya. “Saya ibaratkan sistem pertahanan kita itu seperti total football. Jadi undang dulu musuh masuk, ketika sudah masuk, lantas dipukul ramai-ramai secara total. Kan pertahanan kita namanya Sistem Pertahanan Semesta (Sishanta) jadi ya semua warga dikerahkan, total warfare.”

Berbeda dengan Muradi, pengamat militer dari Universitas Indonesia, Connie Rahakundini Bakrie, bahkan menganggap perang nuklir Korut vs AS peluang terjadinya sangat kecil, mendekati nol persen. Dia mengatakan ketegangan di semenanjung Korea hanyalah manuver politik pemerintahan Trump untuk merangkul Cina.

“Korea Utara dijadikan common enemy agar hubungan AS dan Cina langgeng. Selama ini mereka saling membutuhkan tapi juga kadang berkonflik,” ujar Connie.

Connie menampik jika ketegangan Korut-AS akan berimbas pada situasi keamanan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Kalaupun nanti pecah perang, semua pihak akan menghindari penggunaan hulu ledak nuklir. Selain itu, menurut Connie perang di Semenanjung Korea sebentulnya dalih lain untuk merangsang peningkatan belanja industri pertahanan. Dia curiga AS hendak menggenjot perekonomian mengandalkan ekspor persenjataan. Desas-desus perang adalah prasyarat terbaik agar bisnis senjata kembali naik daun.

“Trump bagaimanapun juga adalah businessman. Dia melihat sesuatu dari segi ekonomi. Dan sektor pertahanan adalah yang paling menghasilkan uang. Kampanye militer AS di Timur Tengah bisa dibilang gagal, jadi Trump perlu menciptakan perang baru. Ini akan membuat sekutu AS mempersiapkan diri [untuk membeli alutsista], termasuk Australia, Korsel, dan Jepang,” ujar Connie.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com