Rancangan Undang-Undang Pembatasan Perbankan Otto Warmbier, Para Aktor Adikuasa, dan Ideologi Kemandirian Korea Utara

Bagikan artikel ini

Hendrajit dan Sudarto Murtaufiq, Peneliti Senior Global Future Institute (GFI)

Amerika Serikat nampaknya semakin gencar memotori gerakan embargo dan isolasi terhadap Korea Utara menyusul semakin agresifnya Presiden Kim Jong-un dalam mengembangkan persenjataan nuklirnya. Selain menempatkan dan menyebarkan Sistem Pertahanan Anti-Rudal atau yang kita kenal dengan Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) di Korea Selatan. Rabu lalu, beberapa senator Partai Republik dan Demokrat, telah bersepakat untuk memberlakukan sebuah sanksi ekonomi baru kepada Korea Utara,

Menariknya, manuver para Senator AS dari kedua parttai besar yang bermarkas di Capitol Hill Washington tersebut terjadi hanya selang beberapa hari menjelang kunjungan pertama Presiden Donald Trump ke Republik Rakyat Cina. Lawatan pertama ke kawasan Asia sejak resmi menduduki Gedung Putih awal tahun ini.

Di antara sejumlah sanksi yang ditujukan kepada Korea Utara antara lain, Rancangan Undang-Undang Pembatasan Perbankan Otto Warmbier yang Melibatkan Korea Utara 2017. Undang-Undang tersebut diberi nama Warmbier berdasarkan nama seorang pelajar AS yang meninggal setelah dipenjara di Korea Utara.

Pemberlakuan Undang-Undang tersebut bisa dibaca sebagai manuver politik AS untuk memperluas sanksi yang sudah ada sebelumnya seraya memperkuat pengawasan Kongres atas sanksi terhadap pemerintahan Korut pimpinan Presiden Kim Jong-un.

Kalau kita cermati secara jeli UU yang diprakarsai oleh para Senator AS tersebut tidak saja membawa dampak buruk bagi pemerintah dan rakyat Korea Utara, melainkan juga Cina, yang dalam beberapa tahun belakangan ini, dipandang oleh Pentagon sebagai pesaing utama AS di Asia Pasifik.

Kalau kita cermati secara mendalam, UU ini juga akan menjatuhkan sanksi kepada lembaga keuangan asing, seperti bank-bank Cina yang dituding oleh Washington telah memberikan layanan kepada setiap orang yang menjadi target. Padahal yang dimaksud  para Senator AS itu adalah para pihak yang dipandang berbahaya dan ancaman bagi AS.

Tentunya yang jadi sasaran RUU yang dimotori para Senator Kongres AS tersebut  adalah para pihak yang membantu  Korea Utara dalam melawan AS.  Mereka-mereka inilah yang akan jadi sasaran sanksi baik yanf diterapkan oleh Kongres AS, perintah eksekutif kepresidenan, atau resolusi Dewan Keamanan PBB. Ketiganya merupakan suatu instrument tunggal yang dimainkan atas arahan kebijakan dari pemerintah AS. Untuk mengisolasi dan mengembargo pemerintah dan rakyat Korea Utara.

Rancangan UU sanksi baru itu akan meminta Trump, atau presiden AS lainnya di kemudian hari, untuk memberi tahu komite kongres mengenai niat untuk menghentikan atau menangguhkan sanksi tersebut. Sehingga hal Ini juga mengharuskan presiden menyampaikan laporan berkala mengenai sistem untuk transaksi perizinan dan penjelasan singkat untuk Kongres oleh pemerintah.

Sepertinya Partai Demokrat dan Partai Republik kali ini kompak dan bipartisan untuk menghadapi pemerintahan Korea Utara pimpinan Kim Jong-un. Sehingga hal ini menggambarkan bahwa manuver militer AS dengan menempatkan THAAD di Korea Selatan maupun manuver politik-hukum para Senator Demokrat dan Republik, sejatinya merupakan sikap dan perilaku geopolitik AS dalam menghadapi perkembangan eskalasi konflik yang semakin menajam di Asia Pasifik, utamanya Semenanjung Korea.

RUU ini mengingatkan saya pada Foreign Relations Authorization Act (FRAA) yang dikeluarkan Kongres AS beberapa tahun lalu, agar siapapun presiden AS di Gedung Putih, secara berkala membuat Progress Report kepada Kongres terkait situasi dan kondisi di Papua atau Irian Barat, di Indonesia. RUU tersebut kala itu diprakarsai oleh beberapa anggota Kongres yang tergabung dalam Kaukus Melanesia.

Bedanya, kalau FRAA ditujukan kepada pemerintah Indonesia dengan menginternasionalisasi isu Papua di berbagai forum internasional, dalam hal RUU Pembatasan Perbankan Otto Warmbier, sejatinya ditujukan terhadap pemerintah Cina, termasuk bank-bank Cina yang melekat dengannya, untuk melakukan tekanan-tekakan  lebih kuat untuk menghentikan aksi Pyongyang.

Pertanyaannya, apakah gerakan ini cukup efektif dengan memaksa Cina menekan dan menghentikan Korea Utara? Sebab jangan-jangan AS salah baca dalam memandang konstalasi hubungan Cina-Korea Utara dalam beberapa tahun terakhir ini.

Pandangan bahwa Cina yang sesungguhnya berkuasa memegang kendali diplomatik atas Korea Utara salah besar, kata Jin Canrong, seorang profesor hubungan internasional di Universitas Renmin di Beijing.  “Tidak pernah ada hubungan bawahan antara kedua belah pihak. Tidak pernah. Terutama setelah berakhirnya Perang Dingin, Korea Utara jatuh ke dalam situasi yang sulit dan tidak dapat memperoleh cukup bantuan dari Cina, jadi mereka bertekad untuk menolong diri mereka sendiri.”

Sepertinya, watak ideologis Korea Utara yang bertumpu pada kemandirian inilah yang mengundang kekhawatiran sesungguhnya dari negara-negara adikuasa seperti AS, Uni Eripa, Jepang, dan mungkin pada perkembangannya, juga Cina.

Korea Utara punya doktrin yang bernama “Juche” yang bisa kita artikan sebagai Kemandirian. Atau Berdikari kalau dalam konsepsi Presiden Pertama RI Sukarno. “Juche” merupakan ideologi kemandirian Korea Utara, yang merupakan gabungan dari Marxisme dan nasionalisme kuat, yang diajarkan pendiri negara itu, Kim Il-sung, kakek pemimpin Korea Utara sekarang.

Kim Il-sung mengajarkan kepada rakyatnya untuk menancapkan dalam alam sadar mereka akan pentingnya ultranasionalisme dan self-reliance atau kemandirian. Dengan demikian, maka wajar ketika hampir seluruh penduduk Korea Utara begitu yang loyal pada negara dan pemimpin mereka. Loyalitas ini sampai tercermin pada dimasukkannya hari lahir Kim Il Sung dan Kim Jong Il sebagai hari libur nasional.

Dari kredo Juche inilah, Korut mengembangkan teknolohi nuklirnya sendiri dan bahkan mampu memberikan ancaman serius, terutama kepada Amerika Serikat menyusul serangkaian uji coba peluru kendali antar benua oleh Pyongyang belum lama ini, yang dapat terbang hingga sekitar 10.000 kilometer dan diperkirakan menjangkau beberapa bagian dari daratan utama AS.

Bukan itu saja. Bahkan, baru-baru ini Korut berhasil mendapat kemajuan dalam pengembangan bom hidrogen yang akan dimuat dalam ICBM, demikian menurut laporan KCNA, kantor berita resmi Korut.

“Bom-H, yang kekuatan peledaknya dapat disesuaikan dari puluhan hingga ratusan kilo ton, merupakan senjata termonuklir bersifat multifungsi dengan kekuatan perusak yang hebat, meskipun diledakkan bahkan di tempat yang tinggi untuk serangan EMP (Electromagnetic Pulse) super kuat guna menyerang sesuai dengan sasaran strategis,” kata KCNA.

“Semua komponen bom H merupakan buatan dalam negeri dan semua prosesnya… dilakukan atas dasar Juche, sehingga memungkinkan negara untuk menghasilkan senjata nuklir yang kuat sebanyak yang diinginkan,” kata KCNA mengutip pernyataan Jong-un.

Dengan demikian, teranglah sudah bagaimana Juche menjadi entitas hidup dan selalu mengilhami dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah Korut.

Melihat fakta di atas, maka Korut seolah tidak ambil pusing andaikan Cina, yang selama ini menjadi mitra dagang utamanya, memutus hubungan kerjasamanya. Mengingat sejak dulu, hubungan kedua negara tidak sedekat antara bibir dan gigi.

Sepertinya inilah yang sangat mengkhawatirkan negara-negara maju dan mapan seperti AS, Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan bahkan juga Cina. Sehingga Korut menjadi sasaran aksi embargo dan isolasi internasional yang diprakarsai oleh AS dan sekutu-sekutunya baik dari Eropa maupun Asia seperti Jepang dan Korea Selatan.

Namun yang disadari atau tidak dalam perhtungan geopolitik AS, bahwa perilaku geopolitik AS tersebut pada perkembangannya justru akan memicu meningkatnya eskalasi konflik global di Semenanjung Korea maupun Asia Pasifik.

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com