Membaca Isu Anarko dari Perspektif Asymmetric Warfare

Bagikan artikel ini

Sebagai peneliti geopolitik di Global Future Institute (GFI), Jakarta, sebenarnya saya agak ogah membuat telaah tentang dinamika politik Tanah Air. Kenapa? Selain dipastikan bakal menyenggol person dan/atau institusi tertentu —sungkan, kata wong Jowo— juga faktor kentalnya “politik glamour” yang ditampilkan oleh para elit. Kurang greget bahkan bikin gemas.

Pertanyaannya, “Apakah politik glamour itu?” Yaitu dinamika politik yang terlihat mewah atau wah di atas permukaan, tetapi sebenarnya miskin substansi, tidak menyentuh kepentingan nasional RI. Itu intinya. Jadi, “Glondangan”, kata sanepo Jawa. Berisik tetapi tidak asyik. Gaduhnya hampir tak bertepi namun hanya untuk oligarki. Mending mencermati geopolitik global. Lebìh menarik dinamikanya. Ada pergeseran signifikan pada konstelasinya terutama perubahan power concept dalam perilaku geopolitik para adidaya khususnya geliat korporasi yang telah menegara.

Akan tetapi, tatkala isu anarko sindikalis ditebar ke publik bersamaan dengan isu pelepasan narapida di tengah fenomena coronavirus disease 2019 atau Covid-19, naluri (peneliti) asimetris menggeliat gelisah. Entah kenapa. Ada apa dan mau dibawa kemana negeriku tercinta?

Tulisan kecil ini cuma membaca situasi ke depan berbasis isu-isu yang berkembang. Bukan memprediksi apalagi meramal situasi. Tidak ada maksud menggurui siapapun terutama para pihak yang berkompeten. Ulasan ini cuma analisa sumir belaka. Tak bukan.

Ya. Bermula dari diskusi terbatas di GFI (12/4) pimpinan Hendrajit tentang isu anarko. Ada pointers yang bisa dipetik pada diskusi tersebut, antara lain:

Pertama, anarko adalah kelompok sayap kiri yang mengasosiasikan dirinya sebagai kaum Trotzkis, penganut anarkisme ala Michail Bankunin, kelompok pseudo sosialis namun dalam kendali golongan neoliberal, proto komunis atau embrio komunis (belum komunis total secara ideologis kecuali dalam hal radikalisme saja). Beberapa kelompok di atas tadi menyatu sebagai konsorsium;

Kedua, anarko memang eksis tetapi ideologinya “ngambang“. Makanya mereka rentan menjadi alat permainan dimana mereka sendiri justru tidak menyadari;

Ketiga, mengingat watak anarko yang ngambang, selain rentan menjadi sasaran false flag operation atau operasi bendera palsu, juga dalam praktik, anarko kerap jadi arena proxy bagi/antar komunitas intelijen yang mengabdi pada korporasi dan/atau golongan mapan;

Keempat, sekali lagi, anarko itu wataknya ngambang. Bila ke kanan maka ia ke kanan sekali, sebaliknya jika ke kiri maka ke kiri hingga mentok. Bahkan boleh jadi yang kanan bisa terpelanting ke kiri, atau sebaliknya. Intinya, rentan dijadikan false flag operation;

Kelima, kaum anarko di Indonesia sudah ada sejak tahun 1947 sewaktu mereka mendesak agar Sutan Sjahrir dibebaskan dari penculikan;

Keenam, kaum anarko sindikalis merupakan simbol dari kekacauan ideologi. Istilahnya KARAOKE, Kanan-Kiri: OKE. Di AS dan Eropa Barat, contohnya, ada kelompok rasis dan ultra kanan tetapi rujukan dalam gerakan justru Vladimir Ulyanov Lenin, Rosa Luxemburg, Pleckanov, Leon Trotzky dan Mao Zhedong, dimana nama-nama tersebut justru mentor para kader sosialis sayap kiri. Pun sebaliknya, ada kelompok sayap kiri namun tanpa dosa membaca buku Mein Kampf karya Adolf Hitler atau karya-karya Benito Mussolini dimana terkandung sentimen anti-Yahudi serta dukungan kebijakan rasisme;

Ketujuh, anarko sindikalisme ialah cabang dari anarkisme yang berkonsentrasi kepada pergerakan buruh. Prinsip dasar anarko ada tiga hal: (1) solidaritas kaum pekerja, (2) aksi langsung, dan (3) swa-kelola kaum pekerja. Mereka meyakini bahwa “aksi langsung”, yaitu aksi yang secara langsung memperoleh keuntungan sebagai lawan aksi (kontra) tak langsung, seperti memilih perwakilan dalam pemerintahan, dan seterusnya

Kedelapan, di Indonesia, kelompok ini tersebar di Jakarta, Bandung, Yogyakara bahkan hingga Kalimantan dan kota besar lainnya. Dalam bahasa Bung Karno, kaum anarko disebut sebagai kaum destruksi tanpa konstruksi. Mereka bukan reformis, tak pula revolusioner. Sekali lagi, ngambang tidak menginjak bumi.

Itulah butiran diskusi terbatas di GFI soal anarko sindikalisme. Mungkin belum lengkap, masih perlu kritik dan masukan para pembaca sekalian.

Dari perspektif asymmetric war yang berpola: Isu – Tema/Agenda – Skema atau ITS, apabila ada manuver murni dari kelompok anarko sindikalis ini, sesungguhnya mereka tengah menjalankan tahap (pola) ketiga-tiganya, entah anarko sebagai isu, atau anarko selaku tema/agenda maupun sebagai skema. Kenapa? Ya. Selain ngambang, tanpa konsep dan cenderung mengkedepankan tindak anarkis sebagai aksi secara langsung. Makanya kaum anarko ini rentan “ditunggangi”, riskan dijadikan arena proxy dalam koridor false flag operation.

Ketika beredar fenomena narapidana (napi) dan isu anarko secara berdekatan di tengah gelombang “lockdown” yang poin utamanya adalah melemahkan pertumbuhan ekonomi baik mikro ekonomi maupun skala makro di berbagai negara, kedua isu tersebut —anarko dan napi— seperti hendak dibenturkan dengan asumsi bakal ada chaos, penjarahan, kerusuhan dan lain-lain akibat massa panik karena rasa kecemasan, pengangguran dan kelaparan yang kian menggelembung di tengah masyarakat.

PP 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) beserta turunannya memang jalan tengah yang bijak dan strategis daripada murni menerapkan lockdown sesuai clue dari WHO. Kenapa? Lockdown di Wuhan memang efektif karena diback up infrastruktur kesehatan dan kesejahteraan yang optimal, tetapi di India, di Afrika Selatan, praktik lockdown justru kontra produktif. Selain jumlah pengangguran bertambah, deret kemiskinan naik, ada penjarahan, kriminal, muncul pula anarkisme. Hal ini mencerminkan, bahwa tak ada satu teori/metode yang dapat diterapkan pada segala situasi atau bisa menghadapi semua masalah. Juga, tidak satu masalah dapat diatasi dengan semua teori.

Pada situasi semacam ini, negara cq pemerintah dituntut mampu mengidentifikasi permasalahan, kemudian merumuskan alternatif penyelesaian melalui teori/metode yang relevan dan efektif. Inilah yang kerap disebut dengan istilah teori kontinjensi atau pendekatan situasional.

Mundur sejenak. Ya. Sebelum terbit PP soal PSBB, memang terjadi pro kontra tentang mana yang harus diterapkan: darurat sipil atau darurat kesehatan? Meski perdebatan pun akhirnya reda setelah terbit PSBB, namun hal tersebut menyisakan “ganjelan” di publik khususnya perbedaan argumen. Darurat sipil semodel Perpu 1959 mengarah kepada penertiban dengan dalih keamanan/ketertiban umum, sedang darurat bencana/kesehatan model UU 24/2007 dan UU 6/2018 inti arahnya ialah menjamin kebutuhan dasar rakyat. Sudah barang tentu, penetapan darurat masing-masing akan berbeda dalam penanganan. Darurat sipil cenderung represif, darurat kesehatan arahnya edukatif dan rehabilitatif.

Kesimpulan sumirnya, penerapan lockdown tanpa kesiapan infrastruktur kesehatan dan kesejahteraan akan cenderung kontra produktif sebagaimana di India, Afrika Selatan dan lain-lainl. Dan praktik lockdown niscaya berjalan sukses seperti di Wuhan, misalnya, jika negara yang bersangkutan memiliki infrastrutur kesehatan, kesejahteran dan aparat keamanan yang optimal.

Di ujung bacaan terhadap anarko sindikalisme dari sudut asymmetric warfare, ada retorika menarik sebagai penutup tulisan ini, “Bahwa ditebarnya isu anarko dan isu napi secara bersamaan di tengah terpaan Covid-19 yang mewabah, lalu kemana akumulasi isu tersebut hendak berlabuh?”

Let them think let them decide!

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com