M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Menurut Noam Chomsky, selain teror yang dilakukan oleh individu atau kelompok, ada pula terorisme negara (state terrorism), namun juga ada terorisme pemerintah (government terrorism) yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya sendiri. Itulah klasifikasi dan/atau jenis-jenis teror menurut asumsi Chomsky.
Kalau yang berlangsung di level global –di Timur Tengah misalnya— Ini termasuk jenis terorisme negara atas negara. Jadi, kata “teroris” itu hanya isu semata. Artinya, cuma awalan. Entah itu isu al Qaeda yang kini telah “bubar,” entah Jabhal al Nusra di Suriah, ataupun ISIS, dan lain-lain sekali lagi, ia (teroris) cuma isu belaka. Kenapa? Karena pasca isu muncul di publik akan ditindak-lanjuti dengan tema atau agenda yang sudah dipersiapkan dengan berbagai narasi logis.
Contoh nyata adalah serangan 9-11 di New York dekade 2000-an. Silahkan dicermati, usai peristiwa 9-11 — isu teroris al Qaeda pun ditebar ke publik global oleh George W Bush, dan kemudian ditindak-lanjuti dengan agenda berikutnya yakni serbuan koalisi militer Barat pimpinan Amerika Serikat (AS) ke Afghanistan.
Pun demikian pula kasus Irak di zaman Saddam Husein. Isunya senjata pemusnah massal, agendanya ternyata penyerbuan koalisi militer pimpinan AS. Jadi, setelah ada isu pasti muncul tema sebagai lanjutan dari isu tersebut. Itulah sekilas pola state terrorism. Teror sebuah negara terhadap negara lain.
Dan bagi keduanya —kasus Afghanistan dan Irak— Barat ternyata memiliki hidden agenda atau agenda tersembunyi yang merupakan skema kolonialisme yakni mencaplok sumber daya alam (energi) negara dimaksud. Retorikanya, “Mungkinkah akan muncul isu al Qaeda ataupun isu senjata pemusnah massal apabila Irak dan Afghanistan hanya penghasil korma saja?”
Geopolitik menyiratkan, bahwa tahapan kedua modus tadi —isu dan agenda— hanyalah sebuah geostrategi guna meraih apa yang disebut geoekonomi (dalam hal ini adalah energi). Singkat kata, dari perspektif geopolitik, isu teroris cuma modus belaka. Tak lebih. Ia hanya sarana untuk meraih tujuan yang lebih besar.
Dari pengalaman empirik ini, kemudian muncul modus baru yakni “isu sebagai pola” dan “isu sebagai metode”. Apakah itu? Isu sebagai pola contohnya adalah kasus di atas (Afghanistan dan Irak). Dengan kata lain, tebaran isu akan ditindak-lanjuti dengan agenda/tema yang berujung penancapan skema kolonialisme yakni mencaplok geoekonomi negara target. Jadi, entah isu yang ditebar memunculkan kontroversi baik di internal maupun eksternal, negara kolonial tidak peduli. Jalan terus. Akan tetapi, isu sebagai metode berbeda. Ini cuma dipakai memancing reaksi publik. Test the water. Artinya, jika isu yang dilempar menimbulkan resistensi atau penolakan publik, isu pun “ditarik” kembali. Agenda (dan skema) batal diluncurkan. Sebaliknya, jika isunya yang ditebar “ditelan” oleh publik, maka akan diteruskan dengan agenda lanjutan.
Pertanyaannya kini, rentetan terorisme akhir-akhir ini di republik tercinta, itu modus isu sebagai pola atau isu sebagai metode; apakah publik kita tergolong “menolak” atau justru “menelan” mentah-mentah?
Namun apapun modusnya. Peristiwa telah terjadi. Korban banyak berjatuhan. Rest in peace/RIP untuk para bhayangkara dan warga masyarakat yang menjadi korbannya. Semoga para arwah diberikan tempat yang layak di sisi-Nya. Amin…