Ya, Kemungkinan II adalah Cina. Mengapa Cina, lantas apa motivasinya? Ada beberapa alasan, antara lain misalnya:
1) terungkapnya Sheri Yan —ratu sosialita Australia— yang kuat diduga adalah agen atau mata-mata Cina. Ia ditangkap oleh agen FBI pada Oktober 2015 di New York;
2) ditangkapnya Weng Wanzhou, FCO Huawei oleh otoritas Kanada atas order Paman Sam;
3) terbit dan beredarnya buku-buku yang mengurai model “silent invasion” ala Cina yang ditulis oleh Gart Alexander dan Clive Hamilton; dan
4) munculnya kesadaran serta penolakan rakyat di Vietnam dan seterusnya, selain akibat tsunami TKA Cina yang merebut lapangan kerja warga lokal, juga faktor jebakan utang dengan segala konsekuensi ketika jatuh tempo. Kedaulatan negara minimal berkurang akibat akuisisi aset-aset strategis dan seterusnya.
Hal-hal di atas, setidak-tidaknya menginspirasi beberapa negara ingin berlepas diri dari gelombang invasi senyap Cina yang bermodus utang infrastruktur, atau ingin mengungkap siapa “sosok boneka”-nya seperti halnya kasus di Thailand (Thaksin), atau di Australia (Sheri Yan) dan seterusnya.
Tampaknya top manajemen OBOR membaca atmosfer dan fenomena ini. Adakah operasi senyap telah bocor? Entahlah. Tetapi setidaknya sudah tercium muncul kesadaran bangsa-bangsa di Jalur Sutra Baru di satu sisi, sedang anak panah OBOR telah dilepas dari busurnya pada sisi lain. Selain sulit untuk ditarik kembali, OBOR tak bisa ditarik kembali. Artinya, tak mungkin OBOR dihentikan, namun kesadaran publik yang harus segera digerus atau dialihkan agar tidak menjadi kendala bagi kelanjutan program di kemudian hari. Memang terbaca meski samar, usai AS meninggalkan ruang konflik di Suriah, isu ISIS pun hambar. Kurang laku. Publik global perlu “permainan baru” agar kesadaran yang muncul kembali (tergerus) teralihkan.
All warfare is deception, kata Sun Tzu, semua peperangan adalah tipuan. Butuh strategi dan taktik ‘mengecoh langit menyeberangi lautan’. Persepsi dan logika publik perlu dikocok-kocok kembali. Contohnya, bila opini publik selama ini tergiring pada stigma bahwa terorisme identik dengan Islam (radikal), maka isu di NZ telah menimbulkan ruang diskusi baru, isu-isu baru, dialog dan asumsi-asumsi baru. Seperti isu bangkitnya supremasi ras putih, misalnya, atau dialog sentimen perang salib, radikalisme agama dan ras semodel Ku Klux Klan dan seterusnya. Kondisi semacam ini justru diharapkan oleh Cina terus menggelombang (snowball process). Sekali lagi, opini dan persepsi publik kembali diaduk-aduk, dikocok-kocok. Pelaku teror dipilih ras kulit putih (nonmainstream) menyerang jamaah masjid, ini merupakan kontra isu atas kelaziman subjek dan objek terorisme selama ini yakni “muslim menyerang gereja”.
baca kembali: Membaca Penembakan di New Zealand dari Perspektif Geopolitik (2)
Sampailah pada ujung catatan ini. Meski masih prematur namun dapat dijadikan simpul awal melihat kasus di NZ, yaitu:
Pertama, bila yang berlangsung adalah Kemungkinan I, niscaya agenda lanjutan usai isu ditebar adalah pergeseran pasukan ke NZ dengan skema kuno: “Membendung gerak laju Cina” di Pasifik Selatan; dan
Kedua, bila yang berlangsung adalah Kemungkinan II, maka agenda lanjutan ialah deception atau penyesatan, pengalihan secara terus menerus dan seterusnya sedang skemanya adalah: “OBOR berjalan sesuai tahapan”.
Barangkali, inilah bacaan sementara geopolitik atas isu penembakan di NZ. Kendati sentimen ras dan agama itu hidup serta berkembang di publik global, namun isu sentimen tidak menjadi bahasan utama, karena selain untuk menghindari trap geostrategi ala Barat yang selama ini bermain-main di ranah persepsi publik, juga bahasan sentimen nantinya malah bisa menyulut kegaduhan baru berbasis persepsi yang justru menjauhkan dari akurasi kajian.
Apa boleh buat. Tulisan ini cuma analisa, bukan text book. Artinya masih akan muncul kemungkinan-kemungkinan lain selain Kemungkinan I dan II di atas. Dan penulis sangat menyadari keterbatasan fakta, data serta informasi yang berkembang terutama keterbatasan kemampuan serta wawasan, sehingga analisa ini belumlah final. Karena minimnya data, analisa ini hanya berpijak pada pola-pola yang kerap terjadi di panggung geopolitik global.
Dan sesungguhnya kebenaran apapun sifatnya cuma nisbi, relatif dan bergerak sesuai tuntutan zaman. Tesis akan memunculkan antitesis, dan antitesis membidani sintesis dan seterusnya. Tak ada maksud menggurui siapapun terutama pihak-pihak yang berkompeten dibidangnya. Hanya sharing pemikiran tentang apa yang telah terjadi berbasis kredo geopolitik guna mendekati kebenaran sejati, yakni kebenaran-Nya.
Terima kasih.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Studi Kawasan dan Geopolitik Global Future Institute (GFI)