Membaca Perilaku Geopolitik di Jalur Sutera (5)

Bagikan artikel ini

Siapa Perancang Perang

Kendati tidak sedikit tokoh perancang perang, namun dalam catatan ini —khusus konflik permanen di dunia muslim— penulis ingin menampilkan George H Bush sebagai salah satu sosok pemrakarsa. Bush senior (Sr) menjabat Wakil Presiden AS (1981-1989) selama dua periode, lalu menjadi Presiden AS meski hanya satu periode (1989-1993), namun kiprahnya membuka pintu perang di dunia muslim relatif berhasil melalui Perang Teluk II antara Irak-Kuwait tahun 1990-an.

Ketika Bush Sr terganjal —dalam pemilihan presiden— oleh Bill Clinton (1993-2001), perang di dunia muslim seolah-olah berjalan lambat. Memang. Secara fisik, pada era Clinton berkuasa terlihat ‘peran’ AS seakan-akan cuma di Afghanistan dan Sudan saja. Sebenarnya tidaklah demikian, sebab petualangan Paman Sam ingin menguasai Jalur Sutera di masa Clinton pun semakin intens tetapi dengan pola dan modus berbeda. “Politik praktis itu bukan yang tersurat melainkan apa yang tersirat,” kata Pepe Escobar, wartawan senior Asia Times (2007). Demikian juga dengan manuver Clinton mengurai Garis Hidup Imperialisme (Jalur Sutera).

Perlu dipahami bersama, bahwa hamparan sebuah skenario peperangan oleh siapapun Presiden AS, bila ia berasal dari Partai Republik niscaya memakai hard power atau perang militer, regular, dll. Kenapa? Betapa Partai Republik didukung banyak konglomerat berbasis industri strategis. Sedangkan modus perang yang dicetuskan pemimpin dari Partai Demokrat cenderung menggunakan smart power, (non) nirmiliter, irregular, atau populer disebut asymmetric warfare (peperangan asimetris), karena di-back up industriawan jasa, barang dan finance. Ini hasil cermatan GFI selama ini berbasis circumstance evidence (bukti keadaan) patern evidence (bukti pola) atas metode peperangan yang digelar oleh Barat.

Mentor dari Partai Demokrat ialah Zbigniew Brzezinski, sedang mentor Partai Republik adalah Henry Kissinger. Dan keduanya, (disinyalir) dalam komado Dinasti Rochefeller. Dengan demikian, siapapun Presiden AS sebenarnya cuma wayang, karena ia berada dalam kendali sang dalang (mentor) selain mekanisme formal semacam persetujuan parlemen dan kongres. Dan jangan dilupakan, di atas sang mentor masih ada “pemilik hajatan” yang meremot jalannya perang di balik layar. Tanpa perlu syak wasangka atau kecurigaian, untuk asumsi tadi memang masih perlu kajian sereta diskusi lebih detail guna mencapai akurasi postulat. Untuk sementara kita abaikan dulu, mari lanjutkan catatan ini.

Merujuk pergantian Bush Sr di atas, Clinton berasal dari Demokrat, maka jelaslah bahwa kebijakan AS —soal kolonialisme— lebih berpola smart power daripada hard power. Pada masa Clinton berkuasa, terkesan agak mengabaikan Timur Tengah tetapi kuat ‘merangkul’ Asia. Meski tujuan sama yaitu demokratisasi sistem serta de-Islamisasi, hanya modus dan polanya yang berbeda.

Ia menggandeng James Riyadi, donaturnya di masa kampanye 1992 dan 1996. Bahkan 1997-an sempat heboh ‘Lippo Gate’ karena Riyadi dianggap melanggar batas maksimum sokongan dana kampanye. Tidak boleh dielak, selain Riyadi berada di balik Clinton juga disinyalir bercokol Dinasti Rothchild-Rockefeller selaku ‘pemilik hajatan’ sesuai isyarat di muka.

Konon keduanya, aktif menyokong gerakan demokratisasi di Indonesia untuk melengserkan Pak Harto sebagai pintu utama untuk mengontrol ekonomi serta mencengkeram SDA milik bangsa Indonesia secara lebih dalam. Ya. Dipicu aksi ‘borong dolar’ ala George Soros dan isu-isu KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme), penggelaran asymmetric warfare oleh Barat bertajuk “gerakan reformasi” di Bumi Pertiwi terbilang sukses. Pak Harto lengser, lalu 70-an produk undang-undang (UU) bahkan UUD 1945 pun dibuat dan direvisi untuk pro asing. Catatan Karen Brooks, penulis Amerika menyatakan bahwa gerakan Arab Spring sebenarnya meniru modus gerakan massa 1998-an di Jakarta.

Selanjutnya, tatkala Bush yunior (Jr) naik di kursi Presiden AS era 2001-an, maka perang di dunia muslim hasil kreasi Bush Sr, ayahnya — dibuka kembali. Tragedi World Trade Center (WTC), 11 September 2001 adalah pintu bagi AS dan NATO memasuki Afghanistan secara militer melalui isue al Qaeda. Doktrin Preemtive Strike yang dibidani oleh Samuel P Huntington pun diglobalkan, walau kurang berhasil karena banyak negara menolak. Ketika invasi militer Barat di Afghanistan dinilai sukses, Barat melanjutkan penyerbuan ke Irak (2003) melalui stigma (pintu) ‘senjata pemusnah massal’. Apa boleh buat, hingga Saddam Hussein digantung oleh Bush ternyata dalih tadi —senjata pemusnah massal— tidak terbukti sama sekali, namun toh Irak terlanjur porak poranda.

Sampai hari kini, Negeri 1001 Malam, Irak seperti “tak bertuan” akibat ulah Barat. Kriminal, kemiskinan, dan konflik horizontal merebak dimana-mana. Dalam praktek tata sosial ekonomi  di Timur Tengah sendiri secara umum, terutama pengamalan nilai-nilai Islam manakala AS dalam kuasa Bush Jr, sepertinya terabaikan. Inilah ujud de-Islamisasi oleh kekuatan asing di Jalur Sutera. Nilai-nilai Islam disingkirkan diganti nilai luar, local wisdom dihancurkan —- dan sudah barang tentu, nilai Islam tidak lagi mendominasi sistem politik dan ekonomi melainkan hanya sekedar tradisi, budaya, dan lain-lain. Sungguh menyedihkan.

Bersambung ke 6 ..

Mentor Partai Demokrat, Zbigniew Brzezinski, Mentor dari Partai Demokrat? Jagonya Smart Power?

Mentor Partai Republik, Henry Kissinger

Inikah si Pemilik Hajatan?

Penulis: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com