Membaca Perilaku Geopolitik di Jalur Sutera (6)

Bagikan artikel ini
Arab Spring, “Perang Asimetris” ala Barat
Sekarang membahas Musim Semi Arab atau populer disebut Arab Spring. Masih ingat kasus ‘tewas’-nya Osama bin Laden akibat diterjang peluru Navy SEAL, pasukan elit AS? Catatan sederhana ini, tidak akan membahas kontroversi mengapa ‘mayat’-nya dibuang ke laut, atau tidak menyoal kenapa penyerbuan raja teroris global itu disiarkan media dan dinikmati publik layaknya menonton sinetron, dan lain-lain.
Dari perspektif intelijen, skenario tewasnya Osama hanya sebuah “TANDA,” bahwa selain disudahi atau diakhirinya pagelaran War on Terror (WoT), juga sebagai titik pembuka daripada perubahan model operasi Barat sebelumnya adalah hard power beralih ke/menuju smart power — dari pengerahan militer terbuka menjadi nirmiliter, “tertutup” via aksi massa. Betapa di mata Barat, WoT gagal karena malah menimbulkan krisis global dengan awalan krisis ekonomi negara-negara yang terlibat (sharing) perang di Irak dan Afghanistan. Itulah poin-poin cermatan (out of the box) berbasis patern evidencecircumstance evidence, dan hasil pointers diskusi terbatas di GFI, Jakarta.
Musim Semi Arab dimulai pada Pemerintahan Obama (2010). Pertanyaannya, “Obama dari partai apa?” Tentu ia dari Demokrat yang didukung industriawan jasa dan finance serta dalam pola kolonialismenya cenderung memakai asymmetric warfaredaripada pengerahan militer yang membutuhkan restu (resolusi) internasional, lagi cenderung high cost. Menurut Menhan RI Ryamizard, asymmetric warfare itu peperangan murah dibanding perang militer, namun daya hancurnya melebihi serangan bom atom.
Ya. Arab Spring adalah gelombang aksi massa menurunkan rezim-rezim berkuasa berpintu (isue-isue) kemiskinan, demokratisasi, korupsi, pemimpin tirani, HAM, dan lain-lain. Tidak boleh dipungkiri, bahwa bahan-bahan isue tersebut itu riil dan nyata berlangsung di Jalur Sutera. Sasaran aksi adalah mengganti rezim serta elit penguasa di beberapa Negara Islam semacam Tunisia, Libya, Mesir, Yaman, Iran, Syria, dan lain-lain. Relatif sukses memang, karena mampu mendemokratisasi dan melakukan de-Islamisasi di beberapa negara, termasuk sukses melengserkan beberapa kepala negara secara non militer. Akan tetapi di tengah hiruk-pikuk gerakan tersebut muncul fenomena dengan apa dinamai ‘Kebangkitan Islam’. Inilah yang tidak disangka-sangka. Pola asimetris Barat pun out of control (lepas kendali). Rakyat tidak cuma ingin ganti rezim (boneka) tetapi mau ganti sistem pula.
Kudeta Mesir merupakan contoh atas lepasnya Arab Spring oleh kendali Barat. Mohamed Morsi misalnya, jelas ia adalah presiden (‘boneka Barat’) hasil kreasi gerakan massa, tetapi toh dijungkalkan kembali oleh Junta Militer pasca aksi massa yang telah menjatuhkan Hosni Mobarak, presiden sebelum Morsi. Pertanyaannya, “Kenapa AS menutup mata terhadap aksi militer Mesir terhadap Morsi, malah Jenderal Abdul Fatah al Sisi, pimpinan kudeta mendapat dukungan beberapa negara (kelompok GCC) Arab yang justru pro Barat?”
Di puncak kekuasaannya, al Sisi terlihat semakin ‘liar’ —di mata AS— karena merangkai hubungan ekonomi dengan Rusia, musuh ideologis Paman Sam. Inilah circumstance evidence atas lepasnya kendali assymmetric warefare yang dihampar asing di Jalur Sutera. Dan hal ini pulalah yang justru jarang diberitakan secara gempita oleh para awak media mainstream milik (dan berafiliasi ke) Barat.
Gerakan massa kreasi Barat dianggap kurang berhasil di Libya dan Syria, terutama di Iran yang dinilai gagal total. Kenapa demikian, sebab terdapat masif penolakan mayoritas rakyat atas provokasi Arab Spring. Namun Barat tak kalah licik, kualitas gejolak ditingkatkan bukan sekedar aksi massa, namun dinaikkan menjadi pemberontakan bersenjata atau perang sipil (civil war). Maka hybrid operation pun dimulai. Perang kombinasi. Artinya, meski aksi massa dan perang propaganda masih berlanjut, amunisi-amunisi pun sekarang ikut diletuskan.
Pada tahap inilah, Moamar Gadhafi terpancing. Ia mengerahkan pesawat-pesawat tempurnya guna menghajar pemberontak sehingga kocar-kacir. Isue pelanggaran HAM dirangkai oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di internal Libya (sekitar 70-an LSM) yang berafiliasi ke asing mengopinikan bahwa “Gadhafi melanggar HAM.” Mungkin karena sudah setingan, tanpa selang lama PBB pun menerbitkan resolusi bertajuk Zona Larangan Terbang (No Fly Zone) kepada NATO sebagai eksekutor. Meski resolusi berbunyi no fly zone (larangan terbang), namun Libya dibombardir hingga porak-poranda. Gadhafi dikabarkan “tewas” melalui media mainstream. Dan gilirannya, SDA-nya pun dikapling-kapling asing. Inilah skema kolonialisme, termasuk penjarahan harta Gadhafi di luar negeri berkedok pembekuan aset, dll. Pertanyaannya kini, “Negara atau elemen global mana berani bersuara, atas nama kebenaran — kemana larinya aset-aset Ghadafi sekarang?” Apakah larangan terbang identik dengan bombardir? Dunia membisu seribu bahasa.
Lain Ghadafi, lain pula Bashar al Assad mengelola eskalatif situasi. Menghadapi perubahan aksi Barat di Syria, respon Bashar al Assad terlihat cool. Ia tidak terpancing (hybrid war) sebagaimana Ghadafi mengelola eskalatif situasi. Separatis diayun (dan dikontra) dengan kekuatan militer secara proporsional. Itulah yang berlangsung secara masif hingga kini di Syria. Secara fisik sepertinya Arab Springbeserta model hybrid war-nya di Timur Tengah dan Afrika Utara masih menyisakan Pakistan dan Iran, dimana kondisi kedua negara tersebut relatif stabil baik aspek politik, ekonomi dan sosial maupun keamanan.
SCO dan BRICS Membangun Pagar Kawasan?
Mundur sejenak ke dekade 2000-an. Tampaknya isue sentral geopolitical shift(pergeseran geopolitik) dari Atlantik ke Asia Pasifik awal abad ke 21, disikapi secara cerdas oleh Cina dan Rusia. Mereka mendirikan Shanghai Cooperation Organization(SCO) tahun 2001-an beranggotakan selain Cina dan Rusia itu sendiri, juga ada Kazakhstan, Kirgistan, Tajikistan dan Uzbekistan. Topik-topik awal pertemuan SCO berkisar kerjasama (membangun kepercayaan) di masing-masing perbatasan, kemudian berkembang sesuai kebutuhan untuk menjalin kerjasama pada bidang keamanan, politik, diplomatik, ekonomi, perdagangan dan lain-lain.
Pada tahun yang sama (2001) pula, Cina dan Rusia kembali merajut aliansi antarkawasan bahkan lintas benua via forum BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan). Tidak dapat dipungkiri, bahwa lahirnya BRICS bersamaan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara G-8, sedang ekonomi anggota BRICS berkembang pesat bahkan hampir separuh pertumbuhan ekonomi 2000-2008 dikuasai oleh BRICS.  Dan tidak menutup kemungkinan, di tengah geliat politik sekarang ini, kedua forum baik SCO maupun BRICS bakal merangkai diri sebagai pakta pertahanan lintas benua. Bisa jadi.
Banyak kalangan mensinyalir, kelahiran BRICS dan SCO terinspirasi oleh NEFOS-nya BK tempo doeloe. Maka menjadi paradoksal tatkala Indonesia sendiri, hingga kini justru asyik bersolo karir di panggung global. Tidak mempunyai pakta pertahanan atau aliansi dengan siapapun. Ada tiga kemungkinan, “Indonesia merasa sebagai superpower sejati tanpa perlu aliansi dan pakta pertahanan, atau sebab mendarah-dagingnya politik bebas aktif, atau karena para elit belum sadar geopolitik global?”
Tatkala Barat tengah bergaduh-ria dengan Arab Spring-nya di Timur Tengah dan Afrika Utara (penggalan Jalur Sutera), berbasis ‘pengalaman kekalahan’ di masa Perang Dingin — khususnya Cina-Rusia— kuat menyetir laju geostrategi SCO dan BRICS guna membendung pengaruh kapitalisme Barat di berbagai penjuru dunia.
Dukungan mereka terhadap Iran misalnya, boleh dibaca sebagai langkah BRICS dkk untuk Negeri Para Mullah menjadi PAGAR di sebelah barat. Putin menebar hegemoni (BRICS)-nya hingga ke Jenderal as Sisi di Mesir dalam hal ekonomi. Cina juga menjalin ekonomi dengan Iran. Lagi-lagi, akan tidak menutup kemungkinan kelak berdiri pakta pertahanan secara permanen berbasis aliansi Mesir-BRICS-SCO-Iran, dan lain-lain. Apakah nantinya termasuk juga Indonesia?
Korea Utara pun dijadikan “pagar” di sebelah timur oleh BRICS-SCO. Bahkan Cina tengah memprovokasi Korea Utara dan Taiwan untuk bergabung menjadi bagian provinsinya. Di tengah pergumulan hegemoni global, tampaknya tawaran Cina dipertimbangkan oleh Korea Utara dan Taiwan. Inilah yang kini berproses. Bagaimana dengan “pagar-pagar selatan” made in BRICS dan SCO di Asia Tenggara?
Bersambung ke 7

Inilah target Arab Spring dan Hybrid War di Jalur Sutera?

Shanghai Cooperation Organization (SCO) dibentuk 2001 di Shanghai

BRICS, aliansi lintas kawasan yang dibiani oleh Cina an Rusia

Penulis: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com