Membaca Perilaku Geopolitik di Jalur Sutera (7)

Bagikan artikel ini

Indonesia Dijadikan Pagar di Selatan?

Tampaknya Indonesia hendak dijadikan “pagar selatan” oleh BRICS dan SCO via ‘cucuk’-nya, Cina. Indikasi ini terlihat dari tampilan China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA), atau konsepsi Silk Road Economic Belt dan Maritime Silk Road Point (program kemaritiman)-nya. Adrenalin Cina sempat kencang berdesir tatkala Jokowi menawar-nawarkan potensi perairan Indonesia di berbagai forum. Birahi politik Cina menggelegak ketika ditawari membangun infrastruktur dan suprastruktur Poros Maritim Dunia oleh Jokowi. “Pucuk dicinta ulam tiba,” ini berkah Cina, atau bencana geopolitik bagi Indonesia?

Dalam perspektif hegemoni Naga —sebutan lain Cina— pesanan ribuan kapal laut oleh Indonesia selain bakal menghidupkan dan membesarkan industri kapalnya, juga kelak ‘pagar selatan’ akan kokoh ketika republik ini ‘membuka’ Poros Maritim Dunia, meskipun mutlak harus diwaspadai adalah langkah-langkah Paman Sam yang dipastikan memiliki hidden agenda di perairan kita, kenapa? Sebab bersama Australia dulu, AS sempat mengusulkan agar dibuka ALKI IV —lintasan pelayaran arah timur ke barat— tetapi ditolak oleh Indonesia karena sarat dengan kepentingan asing.

 

Poros Maritim Dunia

Kajian GFI, Jakarta, bahwa bila Poros Maritim Dunia dibuka tanpa basis serta landasan kekuatan internal sendiri, justru akan menimbulkan kontra produktif bagi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Deklarasi Djuanda,” pagar NKRI di perairan niscaya roboh selain diterjang gelombang investasi, juga kapal-kapal asing kelak akan mengacak-acak rumah serta halaman (perairan) Indonesia atas nama ‘poros maritim dunia’.

Sebelum Tol Laut —sebutan lain Poros Maritim Dunia— diluncurkan, seyogyanya genggam dulu TRISAKTI (mandiri secara ekonomi, berdaulat secara politik dan berkepribadian dalam berkebudayaan)-nya Bung Karno, atau paling minimal sudah mempunyai sistem pengamanan dan pengawasan yang teruji, handal, modern dan terpercaya atas eksistensi tiga ALKI yang sudah ada. Tanpa bekal Trisakti dan sistem pengamanan handal, maka sebagaimana disinyalir oleh pakar kelautan, DR Y Paonganan, — Indonesia seperti memberi akses kamar pribadi kepada maling di rumahnya, kelak istrinya pun dicuri!

Cina, selaku “cucuk” SCO dan BRICS pun merangkai pertalian ke Thailand, Kamboja dan  Laos guna ‘memperkuat’ pagar selatan. Salah satu pertimbangan politis Cina kenapa ia mendukung kudeta di Thailand, karena Myanmar dan Vietnam lebih condong ke Barat terutama ketika Aung San Suu Kyi menjadi corong asing mampu mempompa demokratisasi di Myanmar. Betapa sebelumnya Cina merupakan investor terbesar, tetapi tatkala gelombang demokrasi membadai di Myanmar, ia pun berpaling ke Barat cq AS dan Eropa. “Ibarat memukul angin,” kosong diperoleh Cina, sebab proyek dan beberapa investasinya dibatalkan, dihentikan dengan aneka dalih.

Berbasis pengalaman atas ‘kekalahan’-nya di atas, gerak geostrategi Cina semakin gesit dan lihai. Terkait pagar-pagar kawasan misalnya, ia sengaja memilih Thailand sebagai sekutu untuk memperkuat pagar selatan karena secara geografi, posisi Thailand di antara Vietnam dan Myanmar yang tengah dijalin oleh AS dkk. Inilah jurus “Naga memecah batu karang,” karena rajutan politik yang dijalin Barat terhadap kedua negara (Vietnam dan Myanmar), akan terganggu dengan keberpihakan Thailand kepada Cina. Dengan kata lain, upaya AS menerabas pagar selatan melalui Myanmar dan Vietnam terganjal oleh Negeri Gajah Putih. Apalagi Cina kini tengah mempersiapkan Terusan Isthmus yang kelak bila beroperasi akan menjadi sumber devisa baru bagi Thailand, selain langkah itu berpotensi mematikan ‘Selat Malaka’-nya Singapura yang sangat pro Barat.

Kra Thailand/Terusan Isthmus yang berpotensi berpotensi mematikan Selat Malaka

Tujuan Cina merangkul Thailand, Laos dan Kamboja tidak lain dan tak bukan, semata-mata demi mengamankan energy security-nya di Laut Cina. Kenapa demikian, betapa hampir 80% ekspor impornya melalui jalur perairan tersebut. Laut Cina itu ‘jalur kehidupan’ si Naga. Dan rajutan aliansi terhadap ketiga negara di atas, sekurang-kurangnya bisa mengamankan SISI TIMUR Laut Cina Selatan, meskipun SISI BARAT-nya belum dapat dikuasai sebab Philipina dan Malaysia (Sabah dan Sarawak) sulit dikendalikan. Mengapa?

Philipina adalah satelit Paman Sam semenjak dahulu dengan pangkalan militer AS bercokol di Subic, dan lainnya. Malaysia pun demikian. Selain menjadi bagian Commonwealth —eks jajahan Inggris— ia tergabung dalam Five Power Defence Arrangements (FPDA) bersama-sama Australia, Inggris, Selandia Baru dan Singapura. FPDA dibentuk di London, 16 April 1971. Dan semasa peperangan di Irak dan Afghanistan kemarin, Malaysia juga tergabung dalam International Security Assistance Force (ISAF), “NATO”-nya Asia Tenggara.

Bersambung ke 8 ..

Penulis: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com