Membaca Pilpres 2024 Dari Perspektif VUCA – BANI

Bagikan artikel ini
Memperkirakan dinamika politik jelang Pemilu 2024 khusus tahapan pemilihan presiden (pilpres), entah melalui pilihan diksi, frasa, ataupun narasi, terutama terkait kondisi koalisi antarpartai; friksi di internal partai politik masing-masing; atau saling hujat di antara pendukung bakal capres dst, betapa semakin terasa ‘keterpecahan’ dan keterbelahan (social enclave) anak bangsa ini.
Mungkin pilihan diksi yang agak tepat menggambarkan perkiraan pilpres dimaksud, antara lain:
Jalan buntu? Mati pikir? Deadlock? Amburadul? Dikocok-kocok? Entah apalagi dan kemana pilpres 2024 akan berujung.
Di satu sisi, kajian para kritikus serta pengamat politik dalam menggambarkan kondisi ini kerap melenceng. Ngglewar. Kebanyakan hanya sok tahu. Padahal sebenarnya tidak memahami hakiki situasi. Publik disodori opini yang berbasis persepsi (bila tak boleh disebut fiksi alias mengarang bebas). Ibarat tiga orang buta menjelaskan bentuk gajah. Yang kebagian pegang telinga tentu menerangkan lain dengan pemegang ekor gajah. Demikian pula yang pegang perut si gajah. Berbeda-beda. Sebenarnya sich tidak keliru, karena yang diterangkan masih bagian dari gajah. Namun, hanya sepenggal-sepenggal. Jika terkait ujud utuh (narasi) gajah, maka kurang akurat. Yang dominan justru persepsi. Ini sekedar prolog kecil dari judul di atas.
Kita masuk ke perspektif alias sudut pandang. Masih ingat tentang VUCA? Kurun waktu sebelum Covid-19 melanda populer istilah VUCA. Itulah era, dimana keadaan ditandai dengan:
1. Bergejolak (volatility). Perubahan sangat cepat tanpa ada pola konsisten guna membantu proses (berpikir) baik beradaptasi maupun cara antisipasi.
2. Ketidakpastian (uncertainty). Adanya konflik di pelbagai belahan bumi, bencana alam, kekurangan pangan, climate change, dan seterusnya menimbulkan ketidakpastian baik pertumbuhan ekonomi, hubungan antarnegara dan lain-lain.
3. Rumit (complexity). Kenapa? Bahwa antara penyebab masalah dan akibatnya saling terkait sehingga membentuk interkoneksi dari beberapa faktor serta variabel, sehingga tantangan kedepan sulit diprakirakan.
4. Membingungkan (ambiguity). Ketika sebuah entitas mengalami kesulitan mengambil keputusan atau bingung mengembangkan pola dan model solusi akibat terlalu banyak penafsiran, persepsi dan seterusnya, itulah ambiguitas.
Nah, keempat variabel tadi (VUCA) menjadi faktor yang mutlak kudu dicermati setiap entitas atau organisme dalam dinamika apapun terutama di dunia bisnis dan (geo) politik.
Mundur sejenak. VUCA kali pertama dikenal pada 1987-an dalam ‘Teori Kepemimpinan’-nya Warren Bennis dan Burt Nanus. Dekade 1990-an silam, banyak pihak mengadopsi konsep VUCA guna menggambarkan situasi dan kondisi apapun khususnya atmosfer politik, bisnis, keamanan global dan lain-lain dalam rangka menggambarkan fluktuatif kondisi serta unpredictable. VUCA dinilai sebagai transformasi yang tidak bisa diduga, sangat cepat, membingungkan, dan rumit.
Namun, merebaknya Covid-19 membuat istilah VUCA tidak lagi relevan. Kenapa begitu? Menurut Jamais Cascio, Antropolog asal Amerika, bahwa VUCA hanya bisa menggambarkan kondisi sebelum pandemi Covid-19, contohnya, disrupsi teknologi, atau ketidakstabilan (geo) politik global, dan lain-lain.
Apa boleh buat, pandemi Covid-19 menuntut adanya pemahaman baru yang lebih tajam memotret situasi dan konsep tersebut kemudian disebut dengan istilah “BANI”.
Jadi, ketika usai pandemi kita masih memakai istilah VUCA, memang tak keliru. Tetapi, konsep tersebut sudah mulai menggelincir ke masa lalu. Bukan tidak akurat, hanya out of date bila digunakan dalam kondisi pasca-pandemi Covid.
Lantas, apakah BANI itu? Ya. Ia kepanjangan dari Brittle (rapuh), Anxiety (kekhawatiran), Non-Linier (tak linier), dan incomprehensible (sulit dipahami).
Secara konsepsi, bergesernya Era VUCA ke BANI, maka istilahnya pun berubah. Volatility misalnya, kini berganti brittle. Hal ini untuk mendiskripsi kondisi yang tampak stabil di atas permukaan, tetapi rapuh lagi mudah hancur di bawah permukaan, tanpa bisa diantisipasi.
Kemudian anxiety dianggap cerminan uncertainty. Timbulnya rasa kekhawatiran, takut, kecemasan dan seterusnya terhadap sesuatu yang sifatnya tidak pasti. Orang dan/atau entitas, organisme lainnya cenderung lari dari masalah. Dan tatkala harus mengambil keputusan cenderung subjektif, bahkan irrasional.
Dan dalam kondisi yang kompleks lagi rumit, kerap kali pengambilan keputusan bersifat non-linier. Terlepas hasil akhirnya bagaimana. Bukan tidak fokus, namun situasi yang memaksanya demikian.
Konsekuensi dari ketiga kondisi di atas (brittle, anxiety, non linier)_ ialah ketidakpahaman (incomprehensif).
Sesuai judul di atas, bagaimana kondisi pilpres 2024 nanti ditinjau dari sudut BANI?
Bersambung ..
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com