Membaca Semakin Agresifnya Postur Militer Jepang Dalam Konteks QUAD Sebagai Skema Persekutuan Militer ala NATO versi Asia Pasifik

Bagikan artikel ini

Di tengah semakin memanasnya persaingan militer AS vs Cina di kawasan Asia Pasifik, persekutuan militer antara AS dan Jepang nampaknya semakin kokoh dan solid untuk mengantisipasi krisis dan kontigensi di masa depan. Khususnya dalam mengantisipasi potensi konflik yang semakin menajam antara AS vs Cina di kawasan Asia Timur, persekutuan militer AS-Jepang dipersiapkan untuk membendung kemungkinan serangan tentara Pembebasan Rakyat Cina (China’s People Liberation Army/PLA) ke Jepang maupun Taiwan.

AS maupun Jepang nampaknya menaruh kekhawatiran terhadap peluncuran sistem pertahanan anti rudal yang dilancarkan tentara Cina sebagai reaksi terhadap kunjungan Ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Taiwan beberapa waktu yang lalu. Dengan demikian baik AS maupun Jepang dalam skema persekutuan militernya kemudian menitikberatkan pentingnya mengintegrasikan angkatan udara dan sistem pertahanan anti-rudal atau Integration of Alliance Integrated air and missile defense (IAMD).

AS dan Jepang nampaknya sangat khawatir kemampuan tempur Cina dalam menggunakan rudal balistik, rudal jelajah, senjata-senjata hypersonic dan pesawat nir-awak. Apalagi kekuatan tempur Roket Cina yaitu PLA Rocket Force (PLARF) sempat menembakkan serentetan rudal-rudal -rudal ke atas perairan Taiwan dan Jepang. Bahkan untuk kali pertama rudal-rudal Cina mendarat di Zona Ekonomi Ekslusif Jepang (EEZ).

Baca:

Strengthening Integrated Air and Missile Defense for the Japan-US Alliance

Sebagai konsekwensi dari semakin keruhnya situasi keamanan di Asia Timur menyusul meningkatnya kekhawatiran terhadap postur militer Cina yang semakin agresif, maka AS dan Jepang telah membahas strategi militer untuk melancarkan serangan balasan terhadap Cina dengan mendayagunakan rudal-rudal jarak jauh atau long-range missiles.

Ditinjau dari sudut pandang geopolitik, secara geografis Jepang memang sangat berdekatan dengan Cina. Sehingga mengintegrasikan angkatan udara dengan sistem pertahanan anti-rudal untuk menangkal serangan rudal-rudal balistik maupun rudal-rudal jelajah Cina yang sudah disiagakan di wilayah-wilayah Cina yang berbatasan langsung dengan Jepang. Sehingga Jepang sangat penting memiliki sistem pertahanan anti rudal jarak jauh yang berbasis di laut atau sea-based long-range missile defense, pesawat tempur buru sergap atau airborne interceptor aircraft, serta sistem partahanan rudal darat. Kesemuanya itu terintegrasi ke dalam apa yang disebut sebuah komando tunggal Command and Control Battle Management and Communications (C2BMC). Konfigurasi arsitektural militer tersebut berada dalam kendali komando Japanese Air Self-Defence Force (JASDF).

 

Will China-Taiwan tensions ignite an arms race? – DW – 08/05/2022

 

Terkait strategi pertahanan Jepang mengembangkan rudal jarak jauh untuk menangkal potensi ancaman serangan dari Cina, Kementerian Pertahanan Jepang telah menandatangani kontrak dengan Mitsubishi Heavy Industries untuk memproduksi secara massal rudal jarak jauh yang dimulai tahun ini hingga 2027 mendatang.

Dalam Strategi Keamanan Nasional Baru Jepang yang sudah diumumkan pada Desember 2022 lalu, rudal-rudal jarak jauh tersebut ditujukan untuk mengembangkan kemampuan pre-emptive sehingga militer Jepang. Jepang juga telah memutuskan untuk memperbarui rudal Type 12 yang bisa diluncurkan dari darat untuk menargetkan kapal di laut. Serta rudal balistik hipersonik untuk pertahanan pulau-pulau terpencil.

Seperti terungkap melalui pengumuman Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida pada Desember 2022 lalu, Jepang berencana meningkatkan pengeluaran anggaran militernya sehingga memungkinkan Jepang punya kemampuan melancarkan serangan balik.

Namun di sini pula aspek krusial dari Strategi Keamanan Nasional Baru Jepang. Kemampuan melancarkan serangan balik berarti mampu menyerang langsung wilayah-wilayah negara lain jika terjadi keadaan dararut dalam keadaan tertentu.

 

The U.S.-Japan Security Alliance | Council on Foreign Relations

 

Adapun terkait rudal jelajah Jepang, Jepang juga akan membeli 400 rudal jelajah Tomahawk dari AS. Dengan begitu, rudal Type 12 maupun rudal jelajah Tomahawk buatan Amerika yang mampu menjangkau target sejauh 1600 kilomater, bisa dipastikan akan dibaca Cina sebagai perubahan postur militer Jepang yang semula denfesif sejak pasca perang dunia II, saat ini telah bertransformasi menjadi postur militer yang agresif.

Maka sangat besar kemungkinan akan memicu Cina untuk juga meningkatkan postur militernya secara lebih agresif. Sehingga pada perkembangannya akan mengancam stabilitas dan keamanan kawasan Asia Timur dan Asia Pasifik pada umumnya.

Terancamnya stabilitas dan keamanan regional Asia Pasifik semakin nyata dengan terbentuknya persekutuan empat negara (AS, Australia, Jepang dan India) yang popular dengan sebutan QUAD. Seturut dengan fakta bahwa QUAD dibentuk dengan menggunakan retorika anti-Cina atau untuk membendung meluasnya pengaruh Cina, maka kiranya masuk akal jika QUAD dipandang sebagai sebuah skema persekutuan militer ala NATO versi Asia Pasifik parallel dengan Strategi Indo-Pasifik AS sebagai blok politik-ekonomi dan perdagangan negara-negara di kawasan Asia dan Pasifik yang diprakarsai Washington pada 2017 lalu.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute

 

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com