Amerika Serikat dalam upayanya untuk menembus pertahanan angkatan bersenjata Republik Rakyat Cina, menempatkan rudal jarak menengah (ground-based intermediate range missiles) di negara-negara kawasan Asia nampaknya merupakan prioritas utama.
Mungkinkah negara-negara di Asia yang terikat ke dalam perjanjian kerjasama militer dengan AS setuju membiarkan wilayah kedaulatannya sebagai pangkalan militer AS untuk menempatkan rudal jarak menengahnya? Nampaknya tak satupun dari Liima negara Asia yang telah mengadakan Pakta Pertahanan dengan AS seperti Jepang, Korea Selatan, Australia, Thailand dan Filipina, yang akan setuju menerima kehadiran militer Negara Paman Sam itu.
Padahal penempatan rudal jarak menengah lewat adanya pangkalan militer dalam pandangan Pentagon nampaknya sangat vital untuk memepertahankan Taiwan dari kemungkinan invasi Cina ke Taiwan.
Maka itu saat ini AS mengalami kesulitan untuk membujuk negara-negara di kawasan Asia Tenggara agar bersedia menjadikan wilayah kedaulatannya untuk penempatan rudal jenis jarak menengah. Kelima negara tersebut hanya setuju untuk penempatan jenis-jenis peralatan militer lainnya.
Bahkan sangat mustahil bagi Thailand, Filipina dan Korea Selatan untuk menyetujui penempatan rudal jarak menengah AS tersebut di kedua negara yang tergabung dalam ASEAN tersebut. Bahkan Australia dan Jepang pun, terlepas hasratnya yang begitu besar untuk membentuk persekutuan militer dengan AS, sangat kecil kemungkinannya untuk setuju jika negaranya dijadikan pangkalan penempatan rudal jarak menengah oleh pihak militer asing.
Menurut Jeffrey Hornung, analis politik senior dari Rand Corporation, sebuah think-thank yang dibentuk kementerian pertahanan AS (Pentagon), dalam rencana investasi berjangka waktu 6 tahun yang telah diajukan ke kongres AS pada Februari lalu, Komando Militer Indo-Pasifik AS telah menegaskan bahwa apa yang mereka sebut ground-based weapons yang mana tentunya termasuk jenis rudal jarak menengah, sangatlah vital bagi strategi pertahanan AS untuk menembus sistem pertahanan angkatan bersenjata Cina.
Baca:
U.S. faces uphill battle to place ground-based missiles in Asia
Menurut strategi pertahanan AS, ground-based weapons sangat vital untuk menghadapi invasi Cina di mata-rantai kepulauan yang membentang dari daratan Jepang, Okinawa, Taiwan hingga Filipina.
Nampak jelas bahwa desakan pihak AS kepada negara-negara sekutunya di Asia-Pasifik seperti Jepang, Korea Selatan, Thailand, Filipina dan Australia, didasarkan pada motivasi geopolitik militer.
Motivasi geopolitik militer AS untuk mendominasi kembali kawasan Asia Pasifik semakin menguat dengan keputusan sepihak AS pada 2019 untuk membatalkan Perjanjian Senjata Nuklir Jarang Menengah (Intermediate Nuclear Forces Treaty) yang ditandatangani oleh Presiden AS Ronald Reagan dan Presiden Uni Soviet Gorbachev pada 1987. Sehingga AS mempunyai peluang untuk mengembangkan dan mengerahkan persenjataan nuklir berjarak jangkau 500 hingga 5500 km secara bebas di kawasan Indo-Pasifik tanpa terikat lagi dengan perjanjian INF AS-Rusia 1987.
Namun demikian strategi pertahanan AS tersebut sangat tergantung kesediaan dan persetujuan negara-negara sekutunya di Asia untuk menerima secara permanen penempatan rudal-rudal jarak menengah yang tentunya bermuatan senjata nuklir di dalamnya. Sepertinya negara-negara Asia sekutu AS, setidaknya lima negara Asia yang saya sebut di atas, menolak penempatan rudal jarak menengah tersebut di negaranya masing-masing.
Padahal bagi AS khususnya Pentagon, strategi membendung Cina erat kaitannya dengan kekhawatiran Washington tentang proyek strategis yang diterapkan pemerintah Cina yaitu Belt and Road Initiative (BRI). Proyek ini diluncurkan sebagai bagian dari model pembangunan damai sebagaimana visi pemerintahan di Beijing.
(Abhiram Singh Yadav, Indo-Pasifik Sebuah Konstruksi Geopolitik. Jakarta: PT Elex Media Komutindo, 2022).
Seperti terungkap melalui pernyataan salah satu pejabat Cina, BRI memberikan tiga manfaat utama bagi Cina yaitu memperkuat stabilitas regional, meningkatkan keamanan energi Cina, dan mengembangkan pengaruh di kawasan Eropa dan Asia. Artinya, BRI diluncurkan untuk integrasi Eurasia yang lebih baik serta untuk menciptakan diversifikasi rute perdagangan sumber daya energi.
Menariknya, pendekatan Cina yang berfokus pada Soft Power non militer seperti skema BRI inilah yang justru memicu kekhawatiran AS dan sekutu-sekutunya yang tergabung dalam NATO. Anehnya, AS dan sekutu-sekutunya di Asia yang tergalang lewat pakta pertahanan QUAD (AS, Australia, Jepang, India), bereaksi terhadap meluasnya pengaruh Cina di Asia lewat proyek BRI tersebut dengan pendekatan Hard Power atau peningkatan eskalasi kekuatan militernya alih-alih pendekatan Soft Power.
Dan sepertinya, pendekatan Hard Power AS nampaknya menghadapi hambatan yang cukup serius, setidaknya di dua negara yang tergabung dalam ASEAN yaitu Thailand dan Filipina. Sejak pemerintahan militer pimpinan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha merebut kekuasaan pemerintahan sipil pada 2014 lalu, Thailand dalam politik luar negerinya cenderung menjalin hubungan yang erat dengan Cina. Sehingga praktis pemerintah Cina berhasil mencegah Thailand membuat Pakta Persekutuan Militer dengan AS.
Begitu pula semasa pemerintahan Presiden Filipina Rodrigo Duterte, sekutu tradisional AS tersebut malah menjalin hubungan mesra dengan Cina. Sehingga menyulitkan upaya AS membujuk pemerintah Filipina agar setuju mengizinkan negaranya sebagai basis militer untuk menempatkan rudal jarak menengahnya.
Bahkan Presiden Ferdinand Marcos Jr yang menggantikan Duterte, meskipun mengakui pentingnya persekutuan pertahanan antara Manila dan Washington, namun ia juga menegaskan pentingnya menjalin persahabatan dengan negara-negara lainnya di tengah semakin sengitnya persaingan global AS vs Cina.
Melihat tren global di kawasan Asia Tenggara ini, Indonesia sebagai negara ASEAN dan negara terbesar di Asia Tenggara, kiranya perlu mengingatkan kembali konsepsi ZOPFAN ASEAN. ZOPFAN, Zone of Peace, Freedom and Neutrality (kawasan damai, bebas, dan netral di ASEAN). Secara garis besar, ZOPFAN merupakan deklarasi yang bertujuan untuk menciptakan keamanan. Stabilitas kawasan adalah tujuan utama dari dibuatnya perjanjian mengenai kawasan damai, bebas, dan netral ini.
Dengan demikian, konsepsi ZOPFAN ASEAN harus jadi pedoman bagi negara-negara yang tergabung dalam ASEAN, termasuk Indonesia, agar mampu mencegah kawasan Asia Tenggara sebagai ajang Proxy War antara AS vs Cina, dua negara adikuasa yang saat ini sedang terlibat persaingan global yang cukup sengit dan memanas di kawasan Asia- Pasifik.
Bukan itu saja. Indonesia dan ASEAN pun harus memperingatkan negara-negara mitra strategis di luar lingkup ASEAN, bahwa ketika salah satu negara sekutu AS di Asia setuju negaranya sebagai basis militer penempatan rudal jarak menengah AS seperti Terminal High Altitude Area Defense (THAAD), maka hal itu sama saja memicu reaksi pemerintah Cina untuk meningkatkan eskalasi kekuatan militer dan persenjataan strategisnya di kawasan Asia Pasifik, utamanya Asia Tenggara.
Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute