Dongeng Kecil tentang Kepemimpinan Politik
Merujuk pertanyaaan di awal dongeng kecil ini, apakah pemimpin dilahirkan atau diciptakan? Jawabannya adalah: “Dua-duanya”. Pemimpin itu dilahirkan, juga diciptakan. Ia dilahirkan oleh situasi serta kondisi pada masanya, serta diciptakan melalui mekanisme —sistem politik— era berjalan.
Pola kepemimpinan pada masa Orla, misalnya, kerap kali menampilkan sosok lapangan yang dugdeng dan mumpuni. Mengetahui benar jalannya hukum (‘sesuatu’) peristiwa; sedangkan di masa Orba menyuguhkan sosok pemimpin yang memiliki kharakter, berkualitas, dan profesional; sementara di era kini (Orde Reformasi) memunculkan kepemimpinan dadakan, karbit alias instan. Kenapa? Nyaris para pemimpin di era sekarang diproduksi oleh industri pencitraan cq lembaga survei, sementara ‘bahan baku’-nya, selain pencitraan itu sendiri, hyperreality, juga data-data yang diolah tidak nyata alias (realitas) semu. Ya. Bukankah pencitraan itu realitas semu? Garbage In Garbage Out (GIGO). Sampah masuk, sampah keluar.
Kenapa semakin kemari, paradigma kepemimpinan justru melorot lagi longgar, tidak seketat dulu?
Seperti sepintas diulas di muka, kepemimpinan itu dilahirkan situasi yang tengah berkembang dan diciptakan melalui mekanisme —sistem politik— yang dianut kala itu.
Tak dapat dipungkiri, pasca-UUD 1945 diamandemen empat kali (1999-2002) oleh kaum reformis (gadungan), sistem politik atau konstitusi kita berubah individualis dan liberal. Poin ini kerap disampaikan berulang-ulang oleh Pak Try Soetrisno, Wapres RI ke-6, di setiap acara terkait kebangsaan entah beliau sebagai keynote speaker, ataupun opening speech dalam rangka menggugah kesadaran segenap anak bangsa serta generasi penerus. Singkat cerita, di era sekarang ini, kepemimpinan yang dibidani oleh aroma liberal-kapitalistik maka cenderung menampilkan sosok dealer, bukan leader. Ulangi sekali lagi, sistem di era kini cenderung membidani apa yang disebut dealer, bukan leader. Sosok penjual, bukannya pemimpin.
Bayangkan, apabila kepemimpinan di setiap lini baik di level bawah, staf, maupun top management bermental dealer. Mental pedagang (salesman/girl). Maka, seumpama NKRI itu show room dengan aneka komoditas, apa-apa yang bisa dijual — bakal dijualnya melalui beragam modus dan dalih. Wajar bila naluri sales demikian, kenapa? Karena ia dilahirkan memang untuk menawar-nawarkan barang dagangan.
Para dealer cuma berharap rente alias fee. Yang penting cuan masuk. Ada komoditas yang ‘dijual’ terang – terangan (terbuka) ataupun secara sembunyi-sembunyi. Jalan Tol misalnya, atau Pelabuhan Udara, terbukti beberapa Bandara dan ruas Jalan Tol ditawar-tawarkan bahkan dijual kepada swasta dan asing secara terbuka atas nama investasi. Boleh dibayangkan, jika aset-aset strategis bangsa yang merupakan simpul transportasi nasional justru dimiliki oleh swasta (asing). Lantas, bagaimana nasib aset-aset strategis lain yang dilego secara diam-diam melalui mekanisme yang tidak dipahami (diketahui) oleh khalayak awam?
Kita benchmark sejenak. Tempo doeloe, China pernah menyerahkan pelabuhan lautnya kepada Inggris setelah kalah perang dalam Perang Candu I (1839 – 1842 ) dan Perang Candu II (1856 – 1860). Lalu, melalui traktat — China menyerahkan sebelas pelabuhannya kepada Britania Raya. Learning point yang bisa dipetik, bahwa upaya mempertahankan pelabuhan laut oleh China dilakukan via peperangan militer sengit, tidak lewat jalur yang ‘landai-landai’ saja, apalagi dijual?
Demikian pula di Sudan. Ini isu paling aktual. Negeri kaya sumber daya alam itu sekarang timbul gejolak di internal negaranya, oleh karena terdapat beberapa jenderal sepakat menyerahkan pelabuhan laut kepada negara asing di satu sisi, sementara jenderal lainnya menentang hal dimaksud. Apa boleh buat, pecahlah perang di antara faksi militer di Sudan sampai sekarang belum reda sehingga menelan korban sipil sekitar 400-an jiwa.
Inilah selintas dongeng tentang pergeseran paradigma kepemimpinan di republik ini sejak mulai zaman Orla, Orba hingga ke Orde Reformasi kini. Tidak ada maksud membanding-bandingkan antara model kepemimpinan yang satu dengan lainnya karena latar serta filosofi kelahirannya memang berbeda. Tetapi, manfaat dari peran dan fungsi kepemimpinan tersebut yang seharusnya diambil hikmahnya.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
Tamat
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments