Membaca Ulang Gagasan-Gagasan Segar Dr Soedjatmoko Tentang Ketidakadilan Tata Dunia Internasional

Bagikan artikel ini
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Rekam Jejak Dr Soedjatmoko Sebagai Diplomat Intelektual
Di era 1980-an, era ketika saya masih jadi mahasiswa, Dr Soedjatmoko punya reputasi luas sebagai seorang cendekiawan yang mana karya tulisnya tersebar di berbagai media massa dalam dan luar negeri. Sedemikian rupa minat perhatiannya yang begitu luas dalam bidang kebudayaan, sehingga pria kelahiran Sawahlunto 10 Januari 1922 itu diakui secara luas sebagai budayawan.
Soedjatmoko merupakan jebolan Sekolah Tinggi Kedokteran Ika Daigaku yang tergabung dalam komunitas Mahasiswa Prapatan-10, sebuah asrama yang dijadikan tempat bermukim para mahasiswa kedokteran yang kelak di era kemerdekaan, berubah jadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, di Salemba, Jakarta Pusat.
Koko, begitu kawan-kawan akrabnya menyapa, bersama Soedarpo Sastrosatomo, akhirnya dipecat dari sekolah kedokteran karena membangkang perintah penguasa kolonial Jepang untuk digunduli kepalanya. Namun, seperti ramalan Bung Karno ketika sekitaran 1943 sempat bertemu dengan kedua anak muda ini ketika ada pertemuan dengan para pimpinan pemuda-mahasiswa di Cikini 71, Koko dan Darpo kelak bakal jadi “orang besar.”
Ramalan Presiden pertama RI itu ternyata memang jitu. Sudarpo kelak jadi pengusaha pelayaran yang cukup berhasil, sedangkan Koko selain pernah diberi amanah oleh Presiden Suharto jadi Duta Besar di Amerika Serikat pada 1968-1971, pada September 1980 Koko bahkan semakin memantapkan reputasinya sebagai intelektual kaliber internasional, dengan menjabat sebagai Rektor Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Tokyo, Jepang. Ironis memang, pada 1940-an pihak Jepang memecat dirinya sebagai calon dokter. Namun 4 dekade kemudian, Koko malah jadi orang nomor satu di sebuah perguruan tinggi antar-bangsa di Jepang.
Banyak gagasan-gagasannya terkait berbagai isu strategis baik sosial-budaya, politik, dan bahkan lingkungan hidup dan etika sosial. Namun dalam tulisan saya pada kesempatan kali ini, akan coba saya fokuskan pada minat perhatiannya yang tak kalah luas di bidang hubungan internasional maupun hubungan kebudayaan antar bangsa.
Menelisik kembali rekam jejaknya sejak awal kemerdekaan, meskipun sejak diberhentikan dari Sekolah Kedokteran pada masa penjajahan Jepang, Koko bintang keberuntungannya malah semakin bersinar. Pada 1947 misalnya, ketika bangsa Indonesia sedang berjuang mempertahankan kemerdekaannya dari Belanda yang berniat menjajah kembali Indonesia menyusul kekalahan Jepang terhadap Sekutu, Koko dikirim ke Lake Success, New York, mewakili Indonesia di PBB. Pada 1966, ketika Suharto menggantikan Sukarno sebagai Presiden, Koko lagi-lagi diberi amanah sebagai wakil Indonesia di PBB pada 1966. Yang kemudian pada 1968, Suharto menunjuk dirinya sebagai Duta Besar RI untuk AS.
Berarti, wawasan dan analisis internasionalnya boleh dibilang sangat mumpuni, baik dari segi intelektual maupun pengalamannya sebagai pemain kunci di bidang kebijakan luar negeri. Apalagi Koko tercatat pernah menjadi penasehat Menteri Luar Negeri Adam Malik.Bahkan bukan itu saja, pada 1978 Koko menerima penghargaan Ramon Masaysay untuk Hubungan Internasional. Boleh jadi, atas dasar pertimbanga itu, dua tahun kemudian Koko terpilih sebagai Rektor Universitas PBB di Tokyo, Jepang.
Soedjatmoko Tentang Tata Dunia Baru  
Dalam sebuah buku yang merangkum beberapa tulisan penting Soedjatmoko yang bertajuk Asia di Mata Soedjatmoko, ada satu tulisan menarik di bawah judul “Hubungan Kebudayaan Internasional untuk Hari Depan.” Menarik di sini Koko menyinggung tentang persoalan pelik di balik konsepsi Tata Dunia Baru yang berlangsung saat ini:
“Ketidakstabiltan tata dunia internasional yang makin menguat saat ini dengan sendirinya juga mempengaruhi hubungan antar kebudayaan. Di samping itu, hubungan kebudayaan juga dipengaruhi oleh perbedaan kemampuan berbagai negara untuk memanfaatkan sistem komunikasi internasional. Dengan demikian jelas bahwa masalahnya bukanlah jurang antar tingkat kekayaan, atau antar tingkat ilmu pengetahuan dan teknologi, ataupun antara kesempatan-kesempatan yang terbuka antara si kaya dan si miskin. Namun pada hakekatnya jurang yang terbentuk terjadi antar tingkat kekuasaan yang berbeda.” 
Di balik kegusarannya terhadap ketimpangan kekuasaan antar negara-negara adikuasa versus  negara-negara berkembang, ada kesan kuat bahwa Koko sangat optimis bahwa hanya melalui kebudayaan lah, Tata Dunia Internasional yang berkeadilan bisa terwujud. Mari simak pandangan Soedjatmoko selanjutnya:
“Sebenarnya apa yang dapat dicapai oleh hubungan kebudayaan?  Hubungan kebudayaan memang tidak bisa mencegah atau mengatasi peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah. Namun hubungan-hubungan itu dapat meningkatkan kemampuan manusia untuk tidak dapat terseret oleh penggunaan kekerasan pada suatu persengketaan, karena lebih disadari betapa kedua belah pihak sedang menghayati nilai-nilai budaya yang sama. Hubungan kebudayaan juga dapat mempertinggi kesabaran manusia akan saling ketergantungan total semua negara, semua bangsa, dan seluruh umat manusia.” 
Maka itu, Koko menaruh harapan pada para ilmuwan yang menaruh keprihatinan besar pada terhadap kemanusiaan, untuk bisa memberi gambaran dan kejelasan ihwal mengapa telah terjadi ketimpangan internasional dan global saat ini. Koko mendambakan adanya keterpaduan antara kemampuan analitis dan ketulusan normatif. Agak muluk memang peristilahan yang beliau rumuskan. Namun begitulah obsesi intelektualnya.
Namun di sinilah tahapan menarik dari konsepsinya tentang ketulusan normatif. Menurut Koko, ketulusan normatif itu bisa diambil alias dirujuk dari Semangat Bandung 1955, yaitu Justice and kebebasan. Keadilan dan Kemerdekaan. Untuk seorang cendekiawan yang selama ini dicap simpatisan Sutan Sjahrir dan kader Partai Sosialis Indonesia (PSI) meski secara resmi tak pernah menjadi anggota PSI, mengaitkan gagasan besarnya soal Tata Dunia Baru dengan Dasa Sila Bandung 1955, buat saya merupakan sebuah kejutan yang cukup menggembirakan.
Dengan begitu, Koko sangat obsesif untuk mengarahkan pengembangan Ilmu Sosial untuk diabdikan untuk mengatasi persoalan keadilan dan kebebasan. Saya di situlah poin pentingnya. Sehingga Ilmu Sosial tidak hanya berfungsi mencatat apa yang terjadi dan mengapa terjadi. Namun Ilmu Sosial juga harus mengembangkan pengetahuan yang berguna untuk mengubah dunia, demi memperbaiki mutu kehidupan manusia.
Sehingga ilmu sosial harus bisa mengembangkan studi makro-sosiologis, mendalami kultur dan kondisi geopolitik berbagai wilayah, demi menghasilkan konsepsi holisitik mengenai pembangunan ekonomi, sosial dan politik.
Dengan begitu, para ilmuwan sosial harus berusaha menjadi public philosophers, yang mampu menjadi “kunci” yang memungkinkan anggota masyarakat mengembangkan pemahaman mereka sendiri mengenai keadaan di sekililingnya.
Ketika saat ini kita sedang mendambakan munculnya ledakan gagasan-gagasan baru yang inovatif sebagai landasan untuk membangun Tata Dunia Baru yang lebih berkeadilan antara negara-negara maju/adikuasa terhadap negara-negara berkembang di kawasan Asia-Afrika-Timur Tengah dan Amerika Latin, gagasan Soedjatmoko yang sudah beliau tulis beberapa dekade yang lalu, rasa-rasanya masih tetap relevan pada masa kini, bahkan tetap menginspirasi kita semua.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com