Jurus Mabuk di Tengah Kota

Bagikan artikel ini

Tiba-tiba, nama Nurdin Ismail alias Din Minimi terdengar menasional bahkan mungkin mengglobal, ketika Kepala Badan Intelijen Negara (Ka BIN) menerima langsung penyerahan senjata dari  Beberapa pertanyaan dan hipotesa menyeruak, “Siapa sesungguhnya Din dkk; mengapa Ka BIN sampai turun langsung ke Aceh; ada hubungan apa antara BIN dengan Din; bagaimana status Din dkk dimata aparat keamanan setempat (Polri/Polda dan Kodam di Aceh)?”

Catatan sederhana ini tak hendak mengkomentari (rencana) amnesti (pengampunan) —hak prerogratif Presiden— terhadap kelompok ini, atau tak juga bermaksud menggurui para pakar dan pihak-pihak yang berkompeten. Mohon tidak ada syak wasangka yang nantinya dapat menimbulkan kondisi saling curiga, dsb padahal niat penulis semata-mata hanya ingin berkontribusi dalam upaya penyelesaian permasalahan bangsa.

Semenjak Din dkk “berkiprah” di Aceh, masyarakat dan aparat keamanan (Polisi dan TNI) menilai bahwa kelompok ini bukanlah separatis yang merongrong kewibawaan baik pemerintah daerah maupun pusat, tetapi mereka sekedar pelaku kriminal murni atau sering disebut dengan istilah Kelompok Kriminil Bersenjata (KKB). Kenapa? Ada 14 laporan polisi terkait tindak kriminal yang dilakukan oleh kelompok Din Minimi. Kiprahnya sudah meresahkan masyarakat dan para investor di Aceh.

Jumlah kelompok Din sebelum mereka menyerahkan diri, sebenarnya tinggal 20-an orang —bukan ratusan seperti yang diopinikan media— karena sebelumnya, sekitar 28 anggota Din telah ditangkap oleh Polri. Sisa 20-an tadi telah ditetapkan dalam deret daftar pencarion orang (DPO) oleh Polri setempat.

Secara posisi, kelompok ini sebenarnya sudah “terdesak”, selain Polri itu sendiri secara internal juga menargetkan bahwa sebelum 2016 masalah Din dkk harus sudah selesai, atau tertangkap semua.

Langkah Polri cq Polda Aceh terbilang maksimal dan sukses. Betapa proses penyidikan 28 anggota Din hampir usai semua. 26 berkas dianggap lengkap (P-21) oleh Kejaksaaan, dan 2 berkas lain masih proses guna melengkapi kekurangan. Senjata yang disita sebanyak 24 pucuk dan 4.600 amunisi.

Melihat fakta dan kenyataan di atas, langkah BIN mengajak Din dkk untuk “turun gunung” dengan syarat akan diberikan amnesti, sudah tentu mengundang kontoversi disana-sini. Mengabaikan peran aparat keamanan daerah. Tak kurang Effendi Simbolon, anggota Komisi I DPR-RI mengkritisi rencana ini. Ia mengkhawatirkan, bahwa pemberian amnesti ini justru menyuburkan separatisme di daerah. Juga mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Ka BAIS), Soleman B Ponto menyatakan, “Amnesti (untuk Din dan kelompoknya) kehancuran bagi Aceh”. Menurutnya, amnesti untuk anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sudah selesai, dan itu diberikan sebagai bagian dari pelaksanaan damai berdasarkan MoU Helsinki. Pemberian amnesti terhadap anggota GAM dulu dipandang wajar dan dibenarkan oleh aturan internasional, sebab GAM itu organisasi kombatan. “Jika terjadi perundingan atau perdamaian, maka berlaku (salah satunya) amnesti,” kata Ponto.

Ya, “perlawanan” rakyat mengatasnamakan GAM terhadap pemerintah pusat sudah usai di negeri ini. Mekanisme penyerahan senjata pun sudah berakhir pada 31 Desember 2005 dimana telah diserahkan sekitar 1.018 pucuk senjata.

Pertanyaannya sederhana, ”Apakah tindak kriminil Din dkk sangat menggangu pemerintah pusat; adakah kiprahnya nyaring terdengar hingga ke berbagai pelosok negeri sebagaimana GAM dulu?” Tidak! Jujur harus dikatakan, bahwa penulis sendiri mendengar adanya KKB bernama Din Minimi di Aceh setelah ramai di media sosial/online tentang penyerahan senjata dari Din dkk kepada Ka BIN.

Kembali menurut Ponto, kerja BIN harusnya tak terlihat. Mestinya mengkedepankan Polri dan TNI di daerah, bukan mengkedepankan diri sendiri, apalagi sampai mengabaikan Polda Aceh dan Kodam Iskandar Muda. Padahal Polda tengah mengejar DPO. Ponto mempertanyakan, “Apakah mereka sudah merasa sedemikian terdesak, sehingga ingin menyelamatkan diri? Dan satu – satunya yang bisa menyelematkan dirinya adalah “tuan”-nya sendiri. ”Kaulah yang memulai, kaulah yang mengakhiri,” ujar Ponto menirutkan syair sebuah lagu.

Mengkaji masalah Din dkk dari perspektif geopolitik memang terlalu tinggi, karena motifnya non politis, bukan imperialisme, bukan pula tentang kolonialisme, dll namun sekedar motif ekonomi belaka. Murni kriminil. Akan tetapi tatkala Pak Sutiyoso, Ka BIN turun menerima penyerahan senjata secara langsung dari kelompok tersebut — hal ini justru menarik untuk dikaji lebih luas lagi, tidak sepotong-sepotong.

Sebagaimana isyarat Pak Ponto, Ka BAIS (2011-2013), bahwa langkah BIN lazimnya tak nampak, lebih mengkedepankan aparat daerah, dsb. Maka fenomena tersebut sekurang-kurangnya memunculkan retorika publik, bahwa yang tengah dikerjakan Pak Sutiyoso itu langkah BIN selaku “mata dan telinga” negara, atau sekedar syahwat politik pribadi yang dilembagakan? Inilah yang menarik untuk diulas lebih dalam.

Secara geopolitik, ada tiga daerah di Indonesia yang masih dinilai “merah” meski intensitasnya jauh menurun dibanding dekade sebelumnya yakni Papua, Aceh dan Poso. Di Papua ada Organisasi Papua Merdeka (OPM), di Poso ada Santoso, dkk dan di Aceh sebenarnya kondusif, hanya dengan “turun gunung”-nya Din dkk seolah-olah Aceh bergolak kembali. Dan Ketiganya, dinilai oleh aparat keamanan baik daerah maupun pusat sebagai kelompok kriminil bersenjata (KKB), bukan separatis sebagaimana GAM sebelum ada MoU Helsinki. Artinya, konsepsi penanggulangan oleh negara atas keberadaan KKB tersebut ialah mengkedepankan Polri dibantu TNI. Jadi bukannya operasi militer, atau ditetapkan Daerah Operasi Militer (DOM) seperti dulu lagi. Inilah mapping awal kondisi keamanan Indonesia secara simetris.

Maka merujuk hal di atas —sekali lagi— langkah Sutiyoso sungguh menarik dikaji bersama. Apakah ia sengaja melempar “bola salju” pada daerah yang dianggap “merah” agar preseden tersebut diikuti oleh kelompok Santoso dan OPM? Bagaimana dengan tebaran ancaman oleh Puron Wenda dan Enden Winimbo, pimpinan KKB-OPM bermarkas di Lany Jaya, yang mengajak perang secara terbuka dengan TNI- Polri di Papua?

Apa boleh buat. Sesuai judul tulisan tak ilmiah ini, jurus mabuk sepertinya tengah dimainkan di tengah kota. Mabuk identik dengan tak sadar diri, sedang maksud ‘di tengah kota’ artinya kondisi aman dan damai di daerah dimana aturan dan hukum positif berjalan secara normal. Lalu, siapa lakon yang mabuk?

Entahlah, sedang saya sendiri tengah mabuk. Mabuk oleh cinta-Nya …

Penulis: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com