Membedah Skema Kapitalisme Global, sebagai Sumbu dari Liberalisme Politik Ketatanegaraan dan Ketahanan Nasional

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Disajikan dalam Seminar Nasional Pra Munas/Konferensi Besar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Kamis 13 September 2012. 

Suatu kehormatan besar bagi saya pribadi maupun Global Future Institute (GFI), diundang pada acara seminar pra Munas dan Konbes NU pada pagi dan siang hari ini, 13 September 2012. Tema yang diajukan panitia sungguh menarik dan menantang. Dampak Liberalisme Politik Ketatanegaraan dan Ketahanan Nasional.

Maka terkait tema tersebut, maka izinkan saya untuk membedah isu tersebut dari sisi hulu yang mengakibatkan liberalisme politik, ekonomi dan sosial-budaya sudah selayaknya kita pandang sebagai ancaman nasional.  Sisi hulu atau induk yang menjadi akar krisis nasional saat ini, harus kita mulai dengan membedah skema kapitalisme global Amerika Serikat. Berikut Metode dan Pola Kolonialisasi yang menyertainya.

CATATAN PENGANTAR

The Power of Oil: Skema Keramat Elit AS dan Sekutu

Isyarat Guilford dalam buku Energy Policy (1973) berintikan, apabila menyangkut minyak maka lebih kental nuansa politik (90%) dan 10% sisanya perihal teknis minyak itu sendiri. When it comes to oil is 90% all about politics and 10% its about oil it self. 

Dijelaskan oleh Dirgo D. Purbo, konsultan dan pakar perminyakan Indonesia, bahwa 10% teknis itu meliputi data produksi, production ratereservoir pressuredrilling dan lainnya. Semua hal teknis cuma sekedar aspek pada tataran subsurface, sedang masalah politik berada di surface (permukaan). Jelas sudah, bahwa aspek minyak senantiasa mewarnai kebijakan pemerintahan dimanapun baik luar maupun dalam negeri, terutama kebijakan kelompok negara penghasil minyak, apalagi bagi negara-negara yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi terhadap minyak (negara industri).

Tulisan dibawah ini adalah kajian sederhana dalam rangka mencermati dinamika power of oil sebagai penyebab “panas”-nya suhu politik global.

Tak bisa dipungkiri, gejolak yang melanda Jalur Sutra (Timur Tengah dan Afrika Utara) oleh media-media mainstream milik Barat dipotret sebagai “Musim Semi Arab” atau Arab Spring. Musimnya demokrasi. Kelahirannya mirip ketika media Barat dulu menamai gejolak massa era 2000-an di Eropa Timur (Pakta Warsawa) dengan sebutan “Revolusi Warna”.

Dalam perspektif politik global, Arab Spring ataupun Revolusi Warna hanyalah TEMA guna mengelabuhi publik serta semacam legitimasi bagi aksi-aksi kolonialisme yang hendak dijalankan oleh suatu negara.

Ya. Ada hidden agenda dibalik open agenda. Sebagai contoh tatkala Arab Spring merambah ke Iran, seketika tema pun berganti. Temanya berbeda sewaktu aksi massa menggoyang Tunisia, Yaman dan Mesir. Pergantian tema di Iran tampak mencolok dari sebelumnya soal korupsi, menegakkan demokrasi dan melawan pemimpin tirani berubah total menjadi “isue nuklir”.

Pada akhirnya, hidden agenda melalui gerakan massa dapat diungkap para peneliti dari Central for Research on Globalization (CRG), Kanada, bahwa sesungguhnya telah tergambar sebelumnya tentang roadmap dari Desain Militer Global di Pentagon bertajuk “Penaklukan Dunia”. Roadmap tersebut dimulai dari Irak, Suriah, Lebanon, Libya, Iran, Somalia dan Sudan.  Sedang menurut dokumen Sentral Komando 1995 yang dideklasifikasikan AS, target pertama memang Irak. Tampaknya “target pertama” telah dikerjakan oleh Bush Jr tahun 2003 di Negeri 1001 Malam.

Penelitian Tony Cartalucci dari CRG mengungkap, ternyata National Endowment for Democracy (NED) berada dibalik semua gerakan massa bertitel Revolusi Warna di Eropa Timur dan Musim Semi di Jalur Sutra yang kini terjadi.

Ia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menerima kucuran dana sekitar 100 juta USD dari Kongres AS, termasuk Freedom House (FH) mendapat bagian uang dari pemerintah terutama dari Departemen Luar Negeri. Selain NED dan FH tadi, juga terdapat LSM lain mengoperatori gerakan seperti International Republican Institute (IRI) dan National Democratic Institute (NDI) dan lain-lain.

Singkat kata, penelitian Cartalucci menyebut bahwa LSM Otpor-lah yang dulu bermain di Eropa Timur berkedok LSM pelatihan gerakan tanpa kekerasan, sedangkan di Jalur Sutra adalah Central Applied Non Violent Action and Strategic (CANVAS). Keduanya anak organisasi dari NED, sang LSM spesial ganti rezim. Lambang dan simbol gerakan pun sama yakni Tangan Mengepal atau Kepalan Tinju.

Ditambahkan oleh Cartalucci, bahwa Otpor  membubarkan diri setelah berhasil memporak-porandakan Eropa Timur, akan tetapi satu dekade kemudian ia muncul kembali dengan nama CANVAS dan sekarang menjadi operator gejolak massa di Jalur Sutra. Hebat! Methode non kekerasan yang ia mainkan mampu membuat lengser Ben Ali di Tunisia, Mobarak di Mesir dan Saleh di Yaman.

Ada hal-hal yang layak dicermati di Jalur Sutra, yaitu perubahan dari smart power menjadi hard power dalam skala terbatas. Misalnya di Syria. Manakala smart power gagal membuat jatuh Bashar al Assad ala gerakan massa, pola pun ditingkatkan menjadi “perang sipil”. Luar biasa! Syria dikepung dari negara-negara yang berbatasan teritori dengannya. Misalnya dari Libanon berasal di kota Ersal, dari Turki bersumber di Hakkari dan dari Al Mafraq, sebuah daerah yang dijuluki sebagai “kota konspirasi” di Jordania. Para pemberontak telah dilatih sebelumnya oleh CIA, MI-6 dan Mossad, agen-agen intelijen milik AS, Inggris dan Israel.

Kisah ini bukan rekaan atau khayalan belaka. Februari lalu, kami dari Global Future Institute mengangkat satu artikel terkait bantuan diam-diam Inggris terhadap para pemberontak Syiria. Inggris dan salah satu negara satelitnya, Qatar, dilaporkan telah melancarkan operasi khusus guna membantu para pemberontak Suriah di Kota Homs, 162 kilometer dari Damaskus. Ada dugaan kedua negara itu mempersenjatai Pemberontak Suriah.

Seperti dilaporkan DEBKAfile dan sumber-sumber intelijen, pasukan khusus ini tidak terlibat dalam pertempuran langsung dengan pasukan Suriah. Namun mereka berperan sebagai penasihat strategi, mengatur serangan serta komunikasi bagi para pemberontak serta memberikan bantuan terkait senjata, amunisi serta memasok kebutuhan logistik. Sebagaimana berita yang dilansir oleh DEBKA, kedua pasukan militer asing dari Inggris dan Qatar tersebut telah menyiapkan empat titik yang akan menjadi target operasi mereka. Keempat titik penting itu berada di bagian utara distrik Homs Khaldiya, bagian timur Bab Amro, dan di utara Bab Derib dan Rastan.

Dari fakta tersebut di atas, maka praktis Inggris dan Qatar, dan tentu saja juga atas dukungan sepenuhnya dari negara negara yang tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk, maka tak pelak ini merupakan bagian dari Operasi militer secara terbuka.  Karena sejauh ini Inggris dan Qatar memang secara resmi diketahui merupakan dua negara yang sangat mendukung dilakukannya tindakan militer terhadap Suriah.

Kuasa Minyak di Balik Skema Strategis AS-Inggris

Manuver Inggris dan Qatar membantu para pemberontak Syiria melawan Pemerintahan Bashar al Assaad, memang harus ditelusur melalui skema strategis AS-Inggris dalam menguasai ladang minyak di kawasan Timur Tengah. Skema kerjasama strategis tersebut dirancang dua konglomerat Amerika-Inggris Rockefeller dan Rothschild sejak 1979, menyusul runtuhnya kerajaan Iran di bawah kepemimpinan Shah Reza Pahlevi. Sebagai buntut dari diberlakukannya nasionalisasi perusahaan-perusahaan minyak asing di Iran, beberapa pengusaha minyak Amerika dan Eropa dipaksa untuk mencari basis kekuatan dan pengaruh baru di Timur Tengah.

Maka, beberapa perusahaan besar seperti Exxon Mobil, Texaco, BP Amoco dan Royal Dutch/Shell, yang berada dalam kepemilikan Rockefeller dan Rothschild, mulai merancang sistem pengamanan menyeluruh untuk mengamankan penguasaan mereka akan minyak mentah di kawasan teluk. Maka, Arab Saudi yang dikuasai dinasti Ibnu Saud dijadikan sebagai basis dan markas operasi politik-ekonomi-intelijen-militer dari kekuatan-kekuatan korporasi tersebut.

Dan Arab Saudi, menjadi aktor sentral diterapkannya skema strategis AS-Inggris di Timur Tengah tersebut. Konsesi yang diberikan Arab Saudi dengan adanya perlindungan militer dari persekutuan negara-negara yang kemudian tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk tersebut adalah, negara-negara barat mendapatkan pasokan minyak mentah dengan harga semurah mungkin.

Sebagai konsekuensi dari kerjasama itu, muncullah beberapa perusahaan kontraktor pertahanan negara-negara barat memberi pelatihan militer terhadap angkatan bersenjata Arab Saudi. Beberapa perusahaan tersebut antara lain Inggris-AS memang mempertaruhkan segalanya di Timur Tengah, karena 66,5 persen cadangan minyak mentahnya memang berada di kawasan tersebut. Beberapa perusahaan tersebut antara lain SAIC, Booz Hamilton, TRW dan Vinnel Corp.

Dan 42 persen di antaranya, berada di keenam negara Arab di kawasan teluk tersebut. Sementara di Arab Saudi sendiri, terdapat 60 ladang minyak dan gas bumi yang menghasilkan 10 juta barel per hari. Inilah yang kemudian dibentuk Dewan Kerjasama Teluk dengan pilar 6 negara Arab : Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Bahrain, Uni Emirat Arab dan Oman. Dari keenam negara tersebut, kecuali Oman, merupakan negara OPEC (Negara-Negara Pengekspor Minyak).

Itulah sebabnya ketika Presiden Libya Moammar Ghadaffi mulai memperlihatkan perlawanannya terhadap skema strategis AS-Inggris di Timur Tengah, maka dilancarkanlah “Perang Sipil” di Libya, dengan dukungan diam diam dari AS, Inggris dan Italia. Karena tiga perusahaan besar minyak yang merasa secara langsung kepentingan strategisnya terancam di Libya adalah British Petroleum (Inggris) France Oil Company (Perancis), dan Eny (Italia). Tak heran, jika Perang Sipil di Libya secara langsung dimotori oleh Inggris, Perancis dan Italia melalui NATO.

Tema Bisa Berubah, Skema Tetap

Berbeda dengan “keroyokan” NATO terhadap Libya yang berbekal resolusi PBB nomor 1973, untuk draft resolusi terhadap Syria dan Iran selalu gagal terjegal veto Cina dan Rusia. Perlu digaris bawahi disini bahwa sukses terbitnya resolusi di Libya karena peran dari LSM lokal (komprador) sekitar 70-an LSM yang berafilisasi dengan NED membuat “laporan palsu” atau rekayasa laporan kepada PBB.

Tak kurang Prof Michel Chossudovsky, Pendiri dan Direktur CRG dan Finian Cunningham, peneliti CRG mengingatkan, jika kelak perang nuklir diluncurkan, seluruh Timur Tengah/ Asia Tengah akan masuk ke dalam suatu kebakaran besar! (The Globalizaton of War: The “Military Roadmap” to World War III, www.globalresearch.ca).

Merujuk hal di atas, sesungguhnya “sebuah tema” apapun istilah —bisa berubah— tergantung situasi lapangan, baik melalui modus-modus, stigmaisasi maupun operatornya. Di Irak misalnya, stigma pertama ialah senjata pemusnah massal, kemudian berubah melawan pemimpin tirani dan sebagainya. Ketika Saddam digantung, stigma pun berubah menjadi menjaga stabilitas. Ya, “stigma begerak” memang bagian dari methode kolonial AS di muka bumi.

Gambaran lain tentang betapa the power oil begitu vital bagi suatu negara adalah membandel atau (durhaka)-nya Jepang atas ajakan AS untuk mengembargo Iran. Jepang membangkang kepada AS karena yakin kepentingan (minyak)-nya bakal terganggu jika menghentikan impor minyak. Apa tidak terhenti industri-industri di Jepang, kendati ia telah mampu menciptakan energi alternatif selain minyak? Demikian juga Kamboja, dan esok entah negeri mana lagi menyusul. Korea merupakan contoh nyata, ketika ia ikut-ikutan mengembargo Iran, justru kini “mengemis” ke Saudi Arabia untuk pasokan minyak guna menjalankan industrinya.

Mungkin berita teraktual ialah memanasnya kembali suhu politik antara Inggris dan Argentina soal —kasus lama— kepulauan. Inggris menyebutnya Fakland, sementara Argentina menamai Malvinas. Penyebabnya jelas, gara-gara perusahaan Inggris menemukan ladang minyak baru di pulau sengketa tersebut. What lies beneath the surface of Malvinas or Fakland. Inilah yang kini terjadi. Kalau orang Rusia bilang democracy but look for oil.  Sungguh ejekan Beruang Merah kepada AS sangat pas, tepat sasaran!

Maka entah melalui pola hard power (invasi militer), soft (diplomasi) atau smart power (gerakan massa) yang “dimainkan” oleh AS di banyak negara, muaranya sudah dapat ditebak yakni minyak, minyak dan minyak sebagai tujuan.

Siapapun Presiden di AS sandinya tetap “the power of oil”. Ya. The power of oil merupakan doktrin bahkan telah menjadi “skema keramat” yang tidak akan berubah sampai kapanpun pada kedua partai (Republik dan Demokrat).

Selanjutnya masih menurut Dirgo, rincian doktrin sakti yang mutlak diterima tanpa kritik oleh kedua partai adalah sebagai berikut:

(1) Oil fuels more than automobiles and airplane. Oil fuels military power, national treasuries and international politics; (2) No longer a commodity to be bought and sold within the confines of traditional energy supply and demand balances; (3) A determinant of well-being, of national security and international power for those who possess this vital resource and the converse for those do not.

Dengan demikian, segala macam pola, model dan geliat apapun yang dikembangkan oleh AS di belahan bumi, rujukannya selalu minyak, minyak dan minyak yang ditekankan dalam doktrin nasional serta dihembuskan kuat-kuat sebagai “kepentingan nasional”. Wajar ketika Pepe Escobar, wartawan senior Asia Times berasumsi bahwa politik praktis memang bukan apa yang tersurat, melainkan apa yang tersirat. Jika Bush berbicara soal hak azasi manusia (HAM), maka yang ia dimaksud adalah minyak dan gas alam (Asia Times, 27/9, 2007).

Maka bersiaplah bagi negara yang dituding oleh AS ada pelanggaran HAM, atau dituduh dengan stigma-stigma lain (korupsi, demokrasi dan lainnya) secara tersirat bermakna, bahwa terdapat sumberdaya alam (tambang) yang tengah dan hendak diincarnya!

Menyitir penggal ini: (“Kini, jalur Sutra telah diklaim meluas melewati Selat Malaka, Lautan India, Teluk Aden dan masuk ke Laut Mediterania via Laut Merah – Terusan Suez dan seterusnya. Konsekuensi yang timbul ialah komoditas dagang yang melewati pun semakin beragam, seperti emas, minyak, rempah-rempah, besi, gading, tanaman dan lain-lainnya”).

Pertanyaannya adalah, kenapa Jalur Sutra tempo doeloe hanya melalui daratan saja, sedang kini merambah ke perairan —menurut Dirgo D Purbo, pakar perminyakan Indonesia— itulah New Road Silk (Jalur Sutra Baru), dimana Selat Malaka menjadi bagiannya. Konon katanya, tapi saya justru menyakini bahwa raja-raja nusantara dahulu yang menguasai jalur perairan. Luar biasa. Mungkin era Sriwijaya dan Majapahit. Namun tidak ada referensi pasti, silahkan diabaikan. Ada tembang yang sering dinyanyikan oleh  Ferdiansyah  Ali: “Nenek moyangku seorang pelaut, Gemar mengarung luas samudra, Menerjang ombak tiada takut, Menempuh badai sudah biasa ..”

LIBERALISME sebagai ANCAMAN POLITIK GLOBAL

Mengurai Skema, Langkah dan Modus Operasi Amerika Serikat Sebagai Superpower

Satu hal yang kiranya perlu jadi catatan penting di sini, bahwa unsur inti yang memandu kebijakan luar negeri Amerika Serikat tidak boleh semata-mata dijelaskan melalui peran Presiden/Wakil Presiden, Central Intelligence Agency (CIA), Dewan Keamanan Nasional, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan saja.

Ternyata ada supertop leader dibelakang layar. Kendati kuantitas person nya terbilang kecil, tetapi mampu memainkan remot organisasi “tanpa bentuk” dari kejauhan. Itulah illuminati internasional. Gerakan di bawah tanah penabur semangat zionisme. Ia adalah ibu kandung sekaligus bidan bagi setiap amoeba konspirasi global. Layaknya ibu, maka bayi-bayi lucieferian conspirations, freemasonry dan sebagainya berasal dari rahimnya. Entah siapa besok dilahirkan lagi.

Memang Theodore Herzl (1860-1904) adalah Godfather dari gerakan ini. Tetapi siapa yang tidak paham klan Rothchilds dinasti Yahudi terkaya penyumbang zionisme tanpa reserve; adakah keturunannya telah putus dan punah di jagad ini? Retorika ini tidak untuk dijawab agar tulisan ini dilanjutkan.

Yang jelas, di era kontemporer abad 20, derivasi atau rincian dari jaringan siluman ini bisa ditelusur kembali melalui asal muasal dari Skull and Bones, para mahasiswa Universitas Yale yang direkrut untuk bergabung menjadi anggota komunitas rahasia yang jejak kesejarahannya akan berujung di Iluminati dan Freemason.

Untuk menjelaskan kaitan jaringan Skull and Bones dengan para pemain kunci di balik politik luar negeri Amerika Serikat, kita bisa menelusur dengan memperhatikan sumbu dari mata-rantai ini, yakni Prescott Bush, yang juga merupakan alumni yang tergabung dalam Skull and Bones.

Ketika di Yale, Prescott Bush menjalin persahabatan akrab dengan beberapa tokoh kunci seperti Samuel Pryor, pemilik Remington Arms Company serta Avril Harriman, putra dari EH Harriman, pemilik dan bos kereta api. Melalui ayahnya, Avril kemudian memperoleh firma investasi bernama Harriman and Company.

EH Harriman inilah yang kemudian mengangkat George Herbert Walker, yang belakangan menjadi ayah tiri Prescot,  setelah ayahnya, George Bush Sr, meninggal untuk menjalankan firmanya.

Inilah mata rantai yang tidak pernah putus hingga dekade-1990-an. Setidaknya, Avril Harriman selalu menjadi tokoh sentral dalam setiap proses pembuatan kebijakan luar negeri AS.

Pada perkembangannya kemudian, jaringan siluman yang dirintis oleh Prescot Bush dan Herbert Walker Bush, merupakan derivasi atau rincian di level Manpower yang berada di bawah kendali Dinasti Rockefeller, Rotchild dan JP Morgan.

Skema kerjasama strategis yang dirancang dua konglomerat Amerika-Inggris Rockefeller dan Rothschild itu bermula sejak berabad lalu dalam kerangka persekutuan strategis di bawah skema White Anglo Saxon Protestant (WASP) yang pada dasarnya merajut persekutuan tradisional antara Amerika Serikat dan Inggris.

Melalui konglomerasi mereka berdua, praktis mereka mengusai beberapa perusahaan besar bidang Migas seperti Exxon Mobil, Texaco, BP Amoco dan Royal Dutch/Shell. Tak heran jika mereka berdua sangat mempengaruhi dan menyetir haluan politik luar negeri Amerika Serikat untuk menguasai dan mengamankan negara-negara kawasan Teluk, Timur Tengah, Afrika dan Asia, yang memiliki kandungan sumberdaya alam bidang minyak dan gas.

Salah satu contoh ekstrim betapa besar pengaruh kedua konglomerat ini, terbukti ketika berhasil mendesak Inggris menghadiahkan Yahudi sebuah negara bangsa bernama Israel. Melalui campur tangan pengusaha Inggris Rothschild inilah yang kemudian mendorong pemerintah Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour yang mendukung berdirinya tanah air bagi Yahudi di tanah Palestina.

Bagi Rothschild, tujuan utamanya bukan mendukung Yahudi, melainkan penguasaannya atas kawasan minyak di Timur Tengah. Menyusul kekalahan Imperium Ottoman Turki, beberapa negara arab kemudian jatuh ke tangan Inggris seperti Irak, Jordan dan Arab Saudi lewat dinasti Ibnu Saud. Begitulah.

Jejak-jejak jaringan siluman Rockefeller dan Rotschild ini bisa ditelusur melalui keterlibatan dan peran strategis tim sukses dan jaringan George W Bush dalam merancang Project for The New American Century (PNAC) & Its Implication 2002 tersirat, yang di dalam cetak biru politik luar negeri AS tersebut secara jelas tergambar bagaimana kekuatan korporasi global yang dimotori oleh Rockefeller dan Rotchild tersebut berupaya membentuk kekaisaran dunia.

Menariknya lagi, besarnya gurita pengaruh kedua konglomerat Amerika tersebut, bahkan dua partai besar Amerika Partai Republik dan Partai Demokrat, praktis berada di dalam genggaman mereka berdua melalui peran sentral David Rockefeller, yang ditugasi khusus mengkader dua Menpower tingkat tinggi yang bertugas sebagai Arsitek Politik Luar Negeri America: Henri Kissinger, Menteri Luar Negeri Era Kepresidenan Richard Nixon dan Gerald Ford, dan Zbigniew Brzezinski yang sampai hari ini masih berperan dan berada di belakang semua proses pembuatan kebijakan politik luar negeri Presiden Barrack Obama.

Dan kedua partai tersebut sejatinya menjalankan misi yang sama yaitu menciptakan hegemoni global Amerika untuk mendirikan : satu pemerintahan global dibawah kendali AS (One World Government) – satu nilai tukar global yaitu US dollar – dan satu ajaran (agama) tunggal yakni sekuler universal.

Skema Kapitalisme Global Superior

Tak bisa dipungkiri. Produk unggulan yang dijajakan ialah kapitalisme dengan berbagai format dan model. Melalui reformasi, demokratisasi, HAM, transparansi, sekulerisasi dan berapa “sasi-sasi” lagi bakal lahir dari perut sang kapitalis. Ia menyemai nilai-nlai “keamerikaan” (Barat) via budaya, seni, gaya hidup, iklim politik dan sebagainya melalui media-media serta berbagai cara.

Kekayaannya hasil jarahan. Terutama rampasan Perang Dunia ll (kedua). Maka AS seringkali dijuluki “negara perampok”. Sedangkan kekayaan lainnya bersumber dari berbagai bisnis properti (hotel, hyper/super market dsb), usaha jenis makanan dan minuman khas Amerika, tambang emas, minyak dan gas bumi di negeri boneka dan jajahan baik di Asia termasuk di Timur Tengah dan di Afrika.

Tak kalah penting ialah money loundry yaitu penggandaan seri-seri dollar yang ditebarkan pada berbagai belahan bumi dengan kualitas “bodong”. Asli tetapi palsu. Ia memiliki aset materi dan non materi. Aset non materi seperti pola pemikiran yang mendewakan logika. Westernisasi merasuk pada life stylekomunitas negara lain di berbagai dimensi berlabel “American Minded“.

Adapun aset materi berupa antek-antek atau agennya yang direkrut dari beragam warna kulit, etnis dan golongan. Penetrasinya lewat jalur seni budaya, sejarah, sosial politik, pendidikan, ekonomi bahkan agama, termasuk fungsi-fungsi pemerintahan di suatu negara. Sejatinya antek itu “anjing”-nya Amerika. Budak kapitalis. Pelacur politik level transnasional.

Pabrik senjata dan teknologi perang adalah mesin andalan penambah pundi-pundinya. Maka berbagai cara ditempuh guna membuat konflik terjadi dimana-mana. Agar teknologi dan mesin perang dagangannya laris terjual habis.

Mesin pundi-pundi berikutnya adalah jaringan berbagai media cetak, elektronik, atau industri layar lebar dikuasai. Disamping sebagai alat promosi teknologi perang, juga sarana membuat stigma “keheroikan Amerika”. Makanya film-film sekelas Rocky, Rambo dan seterusnya dibuat berseri guna membakar jiwa warganya yang merasa sebagai bangsa champions di muka bumi, tetapi sekaligus menutupi kegagalan invasi militernya di beberapa negara.

Yang menarik hingga kini, masyarakat global tidak banyak yang tahu tentang kehancuran militernya di Iraq dan Afghanistan. Dunia kurang paham (atau para pakar ekonomi tidak jujur) bahwa krisis ekonomi AS yang mengakibatkan krisis global dimana-mana, sesungguhnya berakar-masalah dari besarnya budget perang yang belum kembali, hasil “sumbangan” para usahawan pemilik saham akibat konsekuensi politik proteksi yang dimainkan. Inginnya untung justru buntung. Dalam konteks ini, harus diakui AS adalah pakarnya memutar-balikan fakta. Raja edit sekaligus counter berita. Ingat kasus WikiLeaks yang ternyata dibelakangnya adalah New York Times.

AS membentuk “kelompok ahli”. Jago lobi-lobi dan punya daya tawar tinggi terhadap lingkungan global. Contohnya American-Isarel Public Affair Committee (AIPAC), American-Jewish Committee (AJC), kelompok Neo-Kons/kaum Hawkish, dan Privat Military Company (PMC) terutama PMC Halliburton, Vinnel Company, DynCorp serta Blackwater Security yang berperan significant saat Bush Jr berkuasa. Suburnya PMC bermula dari rasionalisasi separuh personel militer, oleh karena usai perang dingin AS menganggap tidak ada lagi musuh yang nyata. Para ex serdadu ditampung oleh PMC-PMC dengan cover kontraktor militer, tetapi sesungguhnya mereka ialah para tentara bayaran.

Mengenali Metode dan Pola Kolonialisasi VOC Gaya Baru

Tatkala “mencaplok” negara target, AS menggunakan beberapa pola dan metode, antara lain :

(1) Stigma dan Penyesatan Opini

Awal “masuk” ke wilayah target yang dianggapnya potensial melalui propaganda. Membentuk stigma buruk di daerah yang akan diinvasi. Propaganda terbaru adalah terorisme, melawan pimpinan otoriter, senjata pemusnah massal, program nuklir, penjahat perang karena melakukan genosida dst.

Sedangkan propaganda sebelumnya soal demokratisasi, supremasi hukum, keterbukaan, liberalisasi atau kebebasan, HAM dsb dimana hingga kini isue tersebut masih efektif menggoyang tatanan sosial dan etika negara-negara. Ia menyediakan space pengkhianatan putra-putri suatu bangsa terhadap toempah darahnya sendiri.

(2) Taktik Belah Bambu dan Adu Domba

Pola ini diterapkan AS guna mengobrak-abrik negara target dimanapun. Catatan untuk Asia lewat  federasi dan konflik horizontal (etnis, agama dst). Meskipun secara konsep dikatakan berhasil tetapi untuk Indonesia dinyatakan kurang maksimal, entah sebab apa.

(3) Cuci otak

Mendidik anak (baca: anteknya) bangsa untuk meraih jenjang S-1, S-2 dan S-3 Obyek penelitian diarahkan agar bagaimana “melemahkan” negaranya sendiri dari sisi internal.

Ia merajut jaringan bidang apa saja. Baik jalur politik, agama, sejarah, pendidikan, fungsi polisi maupun tentara dimasukinya. Tidak sedikit para anteknya diorbit menjadi pakar nasional atau tokoh internasional, diberikan award berkelas dunia. Betapa lucu. Ada sosok penghianat digelari pendekar HAM di negara yang dikhianatinya, padahal matinya dibunuh aparat karena hendak menjual rahasia negara kepada pihak asing. Memilukan.

Ada juga anteknya yang menjadi  pejabat negara, atau tokoh agama, bapak bangsa dst. Hal itu mudah baginya, sebab ia menguasai media serta kaya raya.

(4) Membentuk Koloni dan Federasi

Contoh di Indonesia via otonomi daerah sebagai penghalusan Negara Federal yang doeloe ditolak banyak kalangan. Negara dilemahkan dari sisi dalam. Para politikus diberi mainan dalam negeri berupa demokrasi dan multi partai. Seolah-olah ada gegap dinamika namun sebenarnya hampa makna. Rakyat sibuk berhura-hura di jalan raya, sementara eksekutif dan legestatif asyik bersama “mengutil” uang negara.

(5) Politik Proteksi

Setiap kegiatan bisnis, terutama untuk skala global dengan komoditi unggulan selalu di-back up militer guna keberhasilan tujuan. Makanya Freeport di Papua seakan-akan ada “negara dalam negara”. Dijaga ketat oleh pasukan entah dari mana. Masyarakat di sekitar cuma penyaksi. Ketika warga mengais sisa-sisa rezeki di pinggiran sungai, justru  ditangkapi polisi.

(6) Perang di Luar Kawasan (Proxy War)

Ia memperbanyak pangkalan militer di lain negara dan juga kapal induk. Harus diakui AS adalah raja kapal induk dunia. Mempunyai 13 buah (info terbaru 20 buah). Amphibius Ship/kapal induk kecil 7 buah. Sedangkan Jet Carrier diantaranya 11 bertenaga nuklir dan 2 konvensional. Bandingkan dengan Inggris yang cuma mempunyai 3 buah, Perancis 2 buah, sedangkan Rusia 1 buah. Bila diibaratkan orang, maka kedua kaki AS ialah puluhan kapal induk serta ratusan kapal selam canggih siap laga.

Sekadar gambaran kekautan Angkatan Laut Amerika, berikut beberapa rincian yang berhasil dihimpun Tim Riset Global Future Institute.

Ambil sebagai sekadar gambaran, kekuatan Armada Ketujuh Amerika Serikat.

Armada Ketujuh memiliki 40-50 kapal perang, 350 pesawat terbang, serta 50.000 pelaut dan marinir. Dan, hampir separuh masa dalam setahun kapal-kapal itu meronda. Dari atas kapal USS Blue Ridge (LCC 19), sang komandan memimpin langsung operasi militer, pelatihan awak, dan misi persahabatan dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Yang berarti melakukan kontrol dan kendali penuh pada negara-negara satelitnya di Asia Pasifik.

Bukan itu saja. Kekuatan militer Amerika di matra laut dan udara bisa ditelesur sejak era 1940-an.

1. Kapal Perang Kelas Iowa

Dalam kurun waktu tahun 1939 hingga 1942 seidaknya telah 4 unit kapal perang kelas Iowa. Kapal perang jenis ini dibutuhkan oleh pemerintah Amerika pada tahun 1939 sebagai senjata pemukul pamungkas untuk mengendalikan kekuatan armada laut di kawasan Samudera Pasifik saat berlangsungnya Perang Dunia II.

Sejatinya pemerintah Amerika merencanakan membuat 6 kapal perang jenis ini, tapi karena mengingat besarnya biaya yang dibutuhkan pada waktu itu maka diputuskan hanya membuat 4 kapal saja. Kapal jenis Iowa memulai tugas untuk seluruh unit armadanya pada tanggal 22 Pebruari 1943 , dan kini kesemua unitnya telah memasuki masa pensiun pada bulan Maret 2006. Biaya pembuatan 1 kapal pada waktu itu (1943) adalah sekitar 1,8 Milyar USD (sekitar 17 Trilyun Rp). Biaya sebenarnya tentunya dirahasiakan, tetapi ini adalah kalkulasi dari beberapa pengamat ekonomi pada waktu itu yang telah memperhitungkan faktor inflasi dan depresiasi mata uang Dollar. Dengan dibuatnya 4 kapal senilai 1,8 Milyar USD, berarti biaya totalnya adalah 7,2 USD. (sekitar Rp.68 Trilyun ).

2. Expeditionary Fighting Vehicle

Masih ingat momen debat antara 2 kadidat presiden Amerika John Mc Cain dan Barrack Obama saat kampanye presiden membincangkan anggaran departemen pertahanan?

Ingatkah anda ketika John Mc Cain bicara tentang program pembuatan kendaraan amphibi yang menyedot anggaran begitu besar yang dikutip dari pembayar pajak?

Mengapa hal ini menjadi sangat menarik perhatian? Tidak lain karena besarnya biaya yang dianggarkan untuk membuat 1 mesin tempur ini. Proyek pembuatan kendaraan amphibi ini sejatinya sudah diawali sejak tahun 1970-an dan berlanjut hingga hari ini.

Dengan body kendaraan dari almunium penuh, mampu mengarungi samudera dan superior saat bertarung di darat. Kendaraan ini dikendalikan 3 orang dan mampu membawa 17 personel. Total biaya yang sudah dikeluarkan hingga saat ini adalah 15,9 Milyar USD (sekitar 140 Trilyun Rp). Belum ada 1 pun amphibi ini yang telah jadi dan bertugas resmi di US Defence, hanya berupa prototip yang masih terus disempurnakan dan dikembangkan. Pihak US Defence masih belum puas dengan performa kendaraan ini karena hanya bisa beroperasi maksimal selama 4,5 jam.

3. Kapal Selam Nuklir Kelas Ohio

Kapal selam nuklir kelas Ohio ini merupkan penerus dari seri Kapal Selam Nuklir sebelumnya, seperti Kelas Trident. Kapal Selam ini diawaki oleh 155 crew. Pembuatan kapal selam ini sangatlah rahasia, apalagi reaktor nuklirnya, tidak ada satupun dokumen yang bisa terlacak. Tapi, yang jelas, semua perangkat penggerak kapal selam ini berikut sistem mekanis penunjang kehidupan di dalamnya (pemisah air menjadi udara, pemurni air laut) didesain untuk mampu beroperasi hingga 100 tahun usia kapal selam. Apa artinya?

Misalkan kapal selam ini diisi penuh bahan makan, dan berlayar mengelilingi samudera, maka kapal selam ini baru berhenti bila bahan makanannya habis, bukan karena bahan bakarnya habis. Biaya pembuatan kapal selam ini adalah sekitar 2 Milyar USD (sekitar 19 Trilyun Rp.) per unitnya. Saat ini Amerika memiliki 18 unit kapal selam nuklir kelas Ohio. Jadi, total senilai 18 Milyar USD (sekitar Rp.165 Trilyun )

4. Kapal Induk Kelas Nimitz

Pemberian nama Kapal Induk Kelas Nimitz diberikan untuk mengenang pahlawan Amerika Marinir Penerbang Admiral Chester W. Nimitz. Semua kapal induk Amerika rata-rata dinamai pahlawan dari kalangan militer, dan Presiden US sperti USS John. Stennis, USS Carl Vinson, dan USS Ronald Reagan. Dengan diperkuat reaktor nuklir sebagai motor penggeraknya, Kapal Induk USS Nimitz pertama kali memperkuat armada Angkatan Laut Amerika pada 3 Mei 1975. Hingga saat ini terdapat 10 unit kapal induk kelas Nimitz yang beroperasi. Dengan panjang sekitar 400 meter, dan diawaki 5700 personel, daya jelajah kapal induk ini sama dengan kapal selam kelas Ohio, mampu berlayar mengelilingi samudera tanpa henti. Biaya pembuatan 1 kapal induk ini adalah sekitar 4,5 Milyar USD (sekitar 40 Trilyun Rp), sehingga bila ditotal harga seluruh armada kapal ini adalah 45 Milyar USD (sekitar Rp.400 Trilyun ).

5. Pembom Siluman B-2

Selama bertugas, tidak satupun dari armada pesawat ini ditembak jatuh musuh. Pesawat ini sudah diproduksi sebanyak 21 unit, dimana 1 unit telah jatuh bukan karena pertempuran di pangkalannya, Guam. Secara undang-undang, Amerika tidak akan menjual pesawat siluman (B-2 Spirit, F-22, F-117) ke negara manapun.

Biaya pembuatan pesawat ini mulai dari ide, prototip hingga produksi 1 pesawat adalah 23 Milyar USD (sekitar 205 Trilyun Rp.). Tetapi, harga 1 pesawat ini adalah 1,3 Milyar USD (sekitar 10,5 Trilyun Rp.). Bila 21 unit pesawat yang siap beroperasi ke seluruh penjuru dunia manapun dikali 1,3 Milyar USD plus biaya Riset senilai 23 USD, maka kesemuanya itu senilai 50,3 Milyar USD (sekitar Rp.490 Trilyun Rp).

(7) Doktrin Pre-emtive Strike

Artinya serangan dini. Suatu negara boleh diserang/diinvasi militer cukup dengan sebuah asumsi. Doktrin ini lahir karena phobia (rasa takut berlebihan tanpa dasar) terhadap Islam. Bahkan doktrin ini pernah disosialisasi kepada dunia dengan menumpang ratifikasi doktrin PBB setiap dua tahun sekali. Tapi syukurlah konsep itu ditolak banyak negara.

(8) Invasi Militer (Hard Power)

Inilah methode unggulan. Sejalan karakter hawkish para man power (tenaga ahli)-nya yang menempatkan kekerasan sebagai sikap utama dalam mencapai tujuan. Misalnya, pada suatu daerah target yang kaya sumber daya alam (emas, minyak dan gas bumi), maka langkah awal ditimbulkan stigma. Entah dicap membiayai teroris, sarang teroris, memproduksi senjata pemusnah massal dst. Kemudian dikeroyok beramai-ramai dengan sekutunya (NATO dan ISAF). Setelah dikuasai dibuat pemerintahan boneka, dirampok segala sumber daya alam di daerah melalui bargaining dengan sekutu dan kaum entrepreneur. Kemudian dipeta-peta dibuat “kapling-kapling”. Jika invasi militer berjalan sukses maka seperti lebaran, mereka bagi-bagi jajanan.

(9) Perang Candu

Strategi ini merupakan alternatif. Artinya antara invasi militer dan perang candu bisa berjalan serentak. Boleh duluan atau belakangan. Tergantung analisa intelijen. Yakni membuat marak candu, minuman keras dan narkoba di daerah sasaran sebagai alat termurah merusak bangsa. Tujuanmya membuat lumpuh generasi muda di negara target agar tidak timbul gejolak politik. Contoh perang boxer di China doeloe, para pemuda diracuni candu oleh imperalis sehingga tidak punya daya lawan terhadap penjajahan negerinya.

Hal yang wajar ketika AS amat antusias menguasai ladang-ladang opium dan mafia jaringannya di Afghanistan, oleh karena selain itu bagian strategi dan metodenya, juga disebabkan invasi militernya ke Iraq belum menghasilkan apa-apa. Belum sebarel pun minyak terangkut dari bumi 1001 malam, justru kebangkrutan kini di depan mata.

(10) Provincial Recontruction Team (PRT)

Sebenarnya ini metode tua era 1970-an. Istilahnya barang baru stock lama. Dahulu kala pola ini ditinggalkan karena dianggap lambat dalam penguasaan wilayah. AS yang dikuasai unsur berkarakter hawkish lebih menyukai invasi militer daripada metode ini. Invasi dinilai lebih cepat meraih hasil daripada PRT, meskipun resiko yang ditimbulkan adalah budget besar dan dukungan (legitimasi) internasional. Metode lama ini dibangkitkan kembali, oleh karena invasi militer tidak menjamin keberhasilan misi dan “modal usaha” belum tentu kembali.

Catatan penting dari Iraq: kendati invasi militernya dianggap illegal oleh PBB namun ia tak perduli. Jalan terus. Dan PBB pun cuma bisa termangu-mangu.

PRT bergerak lewat provinsi-provinsi dalam berbagai bidang. Tujuan  utamanya adalah menjerat masyarakat agar tergantung kepada suatu kaum, golongan atau sekelompok orang. Masyarakat dibentuk menjadi “parasit”. Hidup menumpang tidak punya pijakan. Tidak ada jiwa juang apalagi daya lawan. Menjadi mainan segelintir orang.

Operasional PRT mensyaratkan kepemilikan modal. Atau sekurang-kurangnya sosok berpengaruh di daerah. Entah itu berdarah biru, saudagar besar, jawara, agamawan, intelektual, paranormal, organisasi massa atau terutama lembaga swadaya (LSM) dst. Yang pokok suara sosok tersebut mampu “merekat”-kan masyarakat sekitarnya.

Inti PRT membuat tandingan atau bayangan bagi pemerintah daerah. Mempunyai kepolisian sendiri. Ada tentara dan administrasi sendiri. Daerah dieksploitasi. Kewilayahan dieksplorasi. Penggusuran lahan dan tanah warga adalah modus yang merambah disana-sini. Menumpang hiruk-pikuk politik dimana-mana. Ia abaikan rasa kemanusiaan. Jerit rakyat pun sepoi terngiang, terlindas deru mesin penggusur dengan simbol supremasi hukum.

Banyak sudah praktek PRT di berbagai negara. Di Brazil, Afghanistan, Pakistan dsb termasuk di Indonesia. Dalam sisi lain, ia sering juga disebut smart power atau implementasinya sering disebut “revolusi warna” ketika ia sukses kelompok negara Eropa Timur/Pakta Warsawa dekade 2000-an doeloe. PRT itu ibarat kota di dalam kota. Dalam konteks global istilahnya: Absente of Loard. Mengubah posisi rakyat menjadi tuan yang tidak berpijak pada tanahnya sendiri. Tanah air tinggal airnya, tanahnya direngut entah oleh siapa.

Beberapa waktu lalu, marak ditampilkan raja-raja nusantara. Itulah pesona masa lalu dalam warna abu-abu. Artinya bisa hitam juga bisa putih bagi negeri ini. Sesungguhnya kearifan lokal (local wisdom) bukan sekedar spirit kedaerahan guna tampil beda dengan yang lain, tetapi maknanya ialah kemampuan-kemampuan daerah membangun jati diri bangsa menggunakan potensi lokal. Baik yang bersifat fisik maupun nilai-nilai. Ia bukanlah sekedar pameran kejayaan masa lalu, namun yang utama adalah menggali nilai-nilai lama pengiring kejayaan negeri tercinta.

Hipotesa muncul: bahwa kebangkitan local wisdom tanpa ada pijakan yang terang lagi jelas, memunculkan peluang bagi asing untuk merajut bangsa ini ke lobang PRT. Berkedok capacity building (pembangunan kemampuan), empowerment (pemberdayaan) dan sejenisnya, namun tidak jelas arah serta rujukannya.

Cerdas arah kebangkitannya. Agar  tidak terjebak oleh manis PRT yang hakikinya ialah preman-preman pembangunan. Yakni preman “terselubung” berwajah kaum agama, pejabat negara, tokoh adat, sejarahwan, pengusaha atau siapa saja termasuk aparatnya sendiri. Ciri-ciri utamanya menjual isi negara dan mengubah dinamika warga menjadi parasit pada toempah darahnya sendiri. Mengubah perilaku warga menjadi bangsa pecundang di muka bumi.

LIBERALISME sebagai ANCAMAN SOSIAL-BUDAYA

Jurus Sakti “PECAH BELAH” SESAMA KELOMPOK ISLAM ala RAND Corporation

Entah bocor, atau sengaja dibocorkan guna membentuk opini, atau cuma sekedar deception, atau lainnya — entahlah! Yang jelas, dekade 2003-an muncul dokumen RAND Corporation berjudul:”CIVIL DEMOCRATIC ISLAM: Partners, Resources and Strategies”.

RAND Corp adalah Pusat Penelitian dan Kajian Strategis tentang Islam di Timur Tengah atas biaya Smith Richardson Foundation, berpusat di Santa Monica-California dan Arington-Virginia, Amerika Serikat (AS). Sebelumnya ia perusahaan bidang kedirgantaraan dan persenjataan Douglas Aircraft Company di Santa Monica-California, namun entah kenapa beralih menjadi think tank (dapur pemikiran) dimana dana operasional berasal dari proyek-proyek penelitian pesanan militer.

Garis besar dokumen Rand berisi kebijakan AS dan sekutu di Dunia Islam. Inti hajatannya adalah mempeta-kekuatan(MAPPING), sekaligus memecah-belah dan merencanakan konflik internal di kalangan umat Islam melalui berbagai (kemasan) pola, program bantuan, termasuk berkedok capacity building dan lainnya.

Sedang dokumen lain senada, terbit Desember tahun 2004 dibuat oleh Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat (National Inteligent Council) atau NIC bertajuk Mapping The Global Future. Tugas NIC ialah meramal masa depan dunia.

Tajuk NIC di atas pernah dimuat USA Today, 13 Februari 2005 — juga dikutip oleh Kompas edisi 16 Februari 2005.

Inti laporan NIC tentang perkiraan situasi tahun 2020-an. Rinciannya ialah sebagai berikut: (1) Dovod World: Kebangkitan ekonomi Asia, dengan China dan India bakal menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia; (2) Pax Americana: Dunia tetap dipimpin dan dikontrol oleh AS; (3) A New Chaliphate: Bangkitnya kembali Khilafah Islamiyah, yakni Pemerintahan Global Islam yang bakal mampu melawan dan menjadi tantangan nilai-nilai Barat; dan (4) Cycle of Fear: Muncul lingkaran ketakutan (phobia). Yaitu ancaman terorisme dihadapi dengan cara kekerasan dan akan terjadi kekacauan di dunia — kekerasan akan dibalas kekerasan.

Jujur harus diakui, ke-empat perkiraan NIC kini riil mendekati kebenaran terutama jika publik mengikuti “opini global” bentukan media mainstream yang dikuasai oleh Barat.

Isi dokumen NIC di atas menyertakan pandangan 15 Badan Intelijen dari kelompok Negara Barat. Tahun 2008 dokumen ini direvisi kembali tentang perkiraan atas peran AS pada tata politik global. Judulnya tetap Mapping The Global Future, cuma diubah sedikit terutama hegemoni AS era 2015-an diramalkan bakal turun meski kendali politik masih dalam cengkeraman.

Tahun 2007, Rand menerbitkan lagi dokumen Building Moderate Muslim Networks, yang juga didanai oleh Smith Foundation. Dokumen terakhir ini memuat langkah-langkah membangun Jaringan Muslim Moderat pro-Barat di seluruh dunia. Baik Rand maupun Smith Foundation, keduanya adalah lembaga berafiliasi Zionisme Internasional dimana para personelnya merupakan bagian dari Freemasonry-Illuminati, sekte Yahudi berkitab Talmud.

Gerakan tersebut memakai sebutan “Komunitas Internasional” mengganti istilah Zionisme Internasional. Maksudnya selain menyamar, atau untuk mengaburkan, juga dalam rangka memanipulasi kelompok negara non Barat dan non Muslim lain. Pada gilirannya, kedua dokumen tadi diadopsi oleh Pentagon dan Departemen Luar Negeri sebagai basis kebijakan Pemerintah AS di berbagai belahan dunia.

Berikut ialah inti resume dari Agenda dan Strategi Pecah Belah yang termuat pada kedua dokumen tersebut, antara lain:

Pertama, Komunitas Internasional menilai bahwa Dunia Islam berada dalam frustasi dan kemarahan, akibat periode keterbelakangan yang lama dan ketidak-berdayaan komparatif serta kegagalan mencari solusi dalam menghadapi kebudayaan global kontemporer;

Kedua, Komunitas Internasional menilai bahwa upaya umat Islam untuk kembali kepada kemurnian ajaran adalah suatu ancaman bagi peradaban dunia modern dan bisa mengantarkan kepada Clash of Civilization (Benturan Peradaban);

Ketiga, Komunitas Internasional menginginkan Dunia Islam yang ramah terhadap demokrasi dan modernitas serta mematuhi aturan-aturan internasional untuk menciptakan perdamaian global;

Keempat, Komunitas Internasional perlu melakukan pemetaan kekuatan dan pemilahan kelompok Islam untuk mengetahui siapa kawan dan lawan, serta pengaturan strategi dengan pengolahan sumber daya yang ada di Dunia Islam;

Kelima, Komunitas Internasional mesti mempertimbangkan dengan sangat hati-hati terhadap elemen, kecenderungan, dan kekuatan-kekuatan mana di tubuh Islam yang ingin diperkuat; apa sasaran dan nilai-nilai persekutuan potensial yang berbeda; siapa akan dijadikan anak didik; konsekuensi logis seperti apa yang akan terlihat ketika memperluas agenda masing-masing; dan termasuk resiko mengancam, atau mencemari kelompok, atau orang-orang yang sedang dibantu oleh AS dan sekutunya;

Keenam, Komunitas Internasional membagi Umat Islam ke dalam Empat Kelompok, yaitu:

(1) Fundamentalis: kelompok masyarakat Islam yang menolak nilai-nilai demokrasi dan kebudayaan Barat Kontemporer, serta menginginkan formalisasi penerapan Syariat Islam;

(2) Tradisionalis: kelompok masyarakat Islam Konservatif yang mencurigai modernitas, inovasi dan perubahan. Mereka berpegang kepada substansi ajaran Islam tanpa peduli kepada formalisasinya;

(3) Modernis: kelompok masyarakat Islam Modern yang ingin reformasi Islam agar sesuai dengan tuntutan zaman, sehingga bisa menjadi bagian dari modernitas;

(4) Sekularis: kelompok masyarakat Islam Sekuler yang ingin menjadikan Islam sebagai urusan privasi dan dipisah sama sekali dari urusan negara.

Ketujuh, Komunitas Internasional menetapkan strategi terhadap tiap-tiap kelompok, sebagai berikut:

1) Mengkonfrontir dan menentang kaum fundamentalis dengan tata cara sebagai berikut: (a) menentang tafsir mereka atas Islam dan menunjukkan ketidak-akuratannya; (b) mengungkap keterkaitan mereka dengan kelompok-kelompok dan aktivitas-aktivitas illegal; (c) mengumumkan konsekuensi dari tindak kekerasan yang mereka lakukan; (d) menunjukkan ketidak-mampuan mereka untuk memerintah; (e) memperlihatkan ketidak-berdayaan mereka mendapatkan perkembangan positif atas negara mereka dan komunitas mereka; (f) mengamanatkan pesan-pesan tersebut kepada kaum muda, masyarakat tradisionalis yang alim, kepada minoritas kaum muslimin di Barat, dan kepada wanita; (g) mencegah menunjukkan rasa hormat dan pujian akan perbuatan kekerasan kaum fundamentalis, ekstrimis dan teroris; (h) kucilkan mereka sebagai pengganggu dan pengecut, bukan sebagai pahlawan; (i) mendorong para wartawan untuk memeriksa isue-isue korupsi, kemunafikan, dan tak bermoralnya lingkaran kaum fundamentalis dan kaum teroris; (j) mendorong perpecahan antara kaum fundamentalis.

2) Beberapa aksi Barat memojokkan kaum fundamentalis adalah dengan menyimpangankan tafsir Al-Qur’an, contoh: mengharaman poligami pada satu sisi, namun menghalalkan perkawinan sejenis di sisi lain; mengulang-ulang tayangan aksi-aksi umat Islam yang mengandung kekerasan di televisi, sedang kegiatan konstruktif tidak ditayangkan; kemudian “mengeroyok” dan menyerang argumen narasumber dari kaum fundamentalis dengan format dialog 3 lawan 1 dan lainnya; lalu mempidana para aktivis Islam dengan tuduhan teroris atau pelaku kekerasan dan lain-lain.

3) Mendorong kaum tradisionalis untuk melawan fundamentalis, dengan cara: (a) dalam Islam tradisional ortodoks banyak elemen demokrasi yang bisa digunakan counter menghadapi Islam fundamentalis yang represif lagi otoriter; (b) menerbitkan kritik-kritik kaum tradisionalis atas kekerasan dan ekstrimisme yang dilakukan kaum fundamentalis; (c) memperlebar perbedaan antara kaum tradisionalis dan fundamentalis; (d) mencegah aliansi kaum tradisionalis dan fundamentalis; (e) mendorong kerja sama agar kaum tradisionalis lebih dekat dengan kaum modernis; (f) jika memungkinkan, kaum tradisionalis dididik untuk mempersiapkan diri agar mampu berdebat dengan kaum fundamentalis, karena kaum fundamentalis secara retorika sering lebih superior, sementara kaum tradisionalis melakukan praktek politik “Islam pinggiran” yang kabur; (g) di wilayah seperti di Asia Tengah, perlu dididik dan dilatih tentang Islam ortodoks agar mampu mempertahankan pandangan mereka; (h) melakukan diskriminasi antara sektor-sektor tradisionalisme berbeda; (i) memperuncing khilafiyah yaitu perbedaan antar madzhab dalam Islam, seperti Sunni – Syiah, Hanafi – Hambali, Wahabi – Sufi, dll; (j) mendorong kaum tradisionalis agar tertarik pada modernisme, inovasi dan perubahan; (k) mendorong mereka untuk membuat isu opini-opini agama dan mempopulerkan hal itu untuk memperlemah otoritas penguasa yang terinspirasi oleh paham fundamentalis; (l) Mendorong popularitas dan penerimaan atas sufisme;

4) Mendukung sepenuhnya kaum modernis, dengan jalan: (a) menerbitkan dan mengedarkan karya-karya mereka dengan biaya yang disubsidi; (b) mendorong mereka untuk menulis bagi audiens massa dan bagi kaum muda; (c) memperkenalkan pandangan-pandangan mereka dalam kurikulum pendidikan Islam; (d) memberikan mereka suatu platform publik; (e) menyediakan bagi mereka opini dan penilaian pada pertanyaan-pertanyaan yang fundamental dari interpretasi agama bagi audiensi massa dalam persaingan mereka dengan kaum fundamentalis dan tradisionalis, yang memiliki Web Sites, dengan menerbitkan dan menyebarkan pandangan-pandangan mereka dari rumah-rumah, sekolahan, lembaga-lembaga dan sarana lainnya; (f) memposisikan sekularisme dan modernisme sebagai sebuah pilihan “counterculture” kaum muda Islam yang tidak puas; (g) memfasilitasi dan mendorong kesadaran akan sejarah pra-Islam dan non-Islam dan budayanya, di media dan di kurikulum dari negara-negara yang relevan; (h) membantu dalam membangun organisasi-organisasi sipil independen, untuk mempromosikan kebudayaan sipil (civic culture) dan memberikan ruang bagi rakyat biasa untuk mendidik diri sendiri mengenai proses politik dan mengutarakan pandangan-pandangan mereka.

Beberapa bukti tindakan program ini misalnya mengubah kurikulum pendidikan di pesantren-pesantren dengan biaya dari Barat, kemudian menghembuskan dogma “Time is Money  – dengan pengeluaran sekecil-kecilnya menghasilkan pendapatan sebesar-besarnya”.

5) Tempo doeloe, pernah dalam mata pelajaran PMP dtampilkan gambar rumah ibadah masing-masing agama dengan tulisan dibawahnya: “semua agama sama”. Mendirikan berbagai LSM yang bergerak dibidang kajian filsafat Islam, menyebar artikel dan tulisan produk LSM yang dibiayai Amerika. Intinya menyimpulkan bahwa semua agama adalah hasil karya manusia dan merupakan peradaban manusia. Tujuannya tak lain guna menggoyah keyakinan beragama, termasuk mendanai beberapa web site di dunia maya dan lainnya.

6) Mendukung secara selektif kaum sekularis, dengan cara: (a) mendorong pengakuan fundamentalisme sebagai musuh bersama; (b) mematahkan aliansi dengan kekuatan-kekuatan anti Amerika berdasarkan hal-hal seperti nasionalisme dan ideologi kiri; (c) mendorong ide bahwa dalam Islam, agama dan negara dapat dipisahkan dan hal ini tidak membahayakan keimanan tetapi malah akan memperkuat.

7) Untuk menjalankan Building Moderate Muslim Networks, AS dan sekutu menyediakan dana bagi individu dan lembaga-lembaga seperti LSM, pusat kajian di beberapa universitas Islam maupun universitas umum lain, serta membangun jaringan antar komponen untuk memenuhi tujuan-tujuan AS. Contoh keberhasilan membangun jaringan ini ketika mensponsori Kongres Kebebasan Budaya (Conggress of Cultural Freedom), dimana pertemuan ini berhasil membangun komitmen antar elemen membentuk jaringan anti komunis.

Hal serupa juga dilakukan dalam rangka membangun jaringan anti Islam. Kemudian membangun kredibilitas semu aktivis-aktivis liberal pro-Barat, demi tercapai tujuan utama memusuhi Islam secara total. Bahkan apabila perlu, sikap tidak setuju atas kebijakan AS sesekali diperlihatkan para aktivisnya seolah-olah independen, padahal hanya tampil pura-pura saja.

AS dan sekutu sadar, bahwa ia tengah terlibat dalam suatu peperangan total baik fisik (dengan senjata) maupun ide. Ia ingin memenangkan perang dengan cara: “ketika ideologi kaum ekstrimis tercemar di mata penduduk tempat asal ideologi itu dan di mata pendukung pasifnya”.

Ini jelas tujuan dalam rangka menjauhkan Islam dari umatnya. Muaranya adalah membuat orang Islam supaya tak berperilaku lazimnya seorang muslim.

Pembangunan jaringan muslim moderat ini dilakukan melalui tiga level, yaitu: (a) menyokong jaringan-jaringan yang telah ada; (b) identifikasi jaringan dan gencar mempromosi kemunculan serta pertumbuhannya; (c) memberikan kontribusi untuk membangun situasi dan kondisi bagi berkembangnya sikap toleran dan faham pluralisme.

Sebagai pelaksana proyek, Departemen Luar Negeri AS dan USAID telah memiliki mandat dan menunjuk kontraktor pelaksana penyalurkan dana dan berhubungan dengan berbagai LSM, dan para individu di negeri-negeri muslim yaitu National Endowment for Democracy (NED), The International Republican Institute (IRI) The National Democratic Institute (NDI), The Asia Foundation (TAF), dan The Center for Study of Islam and Democracy (CSID).

Pada fase pertama, membentuk jaringan muslim moderat difokuskan pada organisasi bawah tanah, dan kemudian setelah melalui penilaian AS selaku donatur, ia bisa ditingkatkan menjadi jaringan terbuka.

Adapun kelompok-kelompok yang dijadikan sasaran perekrutan dan anak didik adalah : (a) akademisi dan intelektual muslim liberal dan sekuler; (b) cendikiawan muda muslim yang moderat; (c) kalangan aktivis komunitas; (d) koalisi dan kelompok perempuan yang mengkampanye kesetaraan gender; (e) penulis dan jurnalis moderat.

Para pejabat Kedutaan Amerika di negeri-negeri muslim harus memastikan bahwa kelompok ini terlibat, dan sesering mungkin melakukan kunjungan ke Paman Sam. Adapun prioritas pembangunan jaringan untuk muslim moderat ini diletakkan pada sektor: (a) Pendidikan Demokrasi. Yaitu dengan mencari pembenaran nash dan sumber-sumber Islam terhadap demokrasi dan segala sistemnya; (b) dukungan oleh media massa melakukan liberalisasi pemikiran, kesetaraan gender dan lainnya — yang merupakan “medan tempur” dalam perang pemikiran melawan Islam; (c) Advokasi Kebijakan. Hal ini untuk mencegah agenda politik kelompok Islam.

AS dan sekutu sadar bahwa ide-ide radikal berasal dari Timur Tengah dan perlu dilakukan “arus balik” yaitu menyebarkan ide dan pemikiran dari para intelektual moderat dan modernis yang telah berhasil dicuci otak dan setuju westernisasi yang bukan berasal dari Timur Tengah, seperti Indonesia dan lainnya. Tulisan dan pemikiran moderat dari kalangan di luar Timur Tengah harus segera diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, kemudian disebarkan di kawasan Timur Tengah.

Agaknya inilah jawaban, kenapa Indonesia seringkali dijadikan pertemuan para cendikiawan dan intelektual muslim dari berbagai negara yang disponsori AS dan negara Barat lain. Banyak produk baik tulisan maupun film diproduksi “Intelektual Islam Indonesia”, kemudian disebarkan dan diterjemahkan dalam bahasa Arab. Semua bantuan dana dan dukungan politik ini tujuannya guna memecah-belah umat Islam.

Seperti berkembang banyak LSM memproduk materi-materi dakwah atau fatwa namun isinya justru “menjerumuskan” Islam, termasuk munculnya banyak tokoh liberal sebagai opinion maker di tengah masyarakat, merupakan isyarat bahwa konspirasi menghancur Islam itu ada, nyata dan berada (existance). Yang paling memprihatinkan, justru jurus pecah belah dilakukan menggunakan tangan-tangan (internal) kaum muslim itu sendiri di negara tempat mereka lahir, tumbuh dan dibesarkan, sedang mereka “tak menyadari” telah menjadi penghianat bagi bangsa, negara dan agamanya!

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com