Membeli Politisi melalui Korupsi dan Lobi?

Bagikan artikel ini

“Dalam benak politisi yang kerap muncul adalah bagaimana mempersiapkan diri dalam pemilu mendatang. Sebaliknya negarawan berupaya bagaimana mempersiapkan generasi mendatang.”

Sampai saat ini, istilah Hubungan Masyarakat (humas) atau istilah lain dikenal dengan Public Relations (PR) dan lobi digunakan sedikit berbeda. Melobi berarti upaya melakukan komunikasi langsung dengan pembuat kebijakan. Melobi adalah upaya untuk mempengaruhi pembuat undang-undang (legistasi) atau pendapat umum. Sementara PR lebih umum dan mengacu pada semua pola komunikasi. AS memperkenalkan regulasi untuk membatasi aktivitas pelobi. Namun, bukanlah pelobi kalau tidak mampu melakukan sejumlah terobosan. Dalam hal ini, pelobi mencoba menyiasati regulasi tersebut dengan memberi label aktivitas mereka sebagai PR. Sebuah istilah yang cukup untuk menyiasati beroperasinya tawar menawar kebijakan. Dengan demikian, tidak mengherankan jika saat ini, terdapat banyak tumpang tindih antara kedua aktivitas tersebut.

Korupsi Politik

Ada pemakluman dalam alam pikiran kita, terkait ungkapan bukanlah dianggap suap jika kita menyebutnya donasi. Ya, melalui istilah donasi semua praktik penyuapan dengan leluasa bisa dilakukan oleh mereka yang melayani kepentingan kelompoknya. melalui donasi juga, praktik korupsi bisa dilakukan tanpa harus khawatir akan terjerat dalam tindak pidana korupsi. Tujuan untuk memuluskan sebuat kepentingan bisa dilakukan dalam selubung pemberian donasi dengan segala kemasannya.

Jika pun dikhawatirkan adanya potensi “temuan”, maka praktik korupsi dilakukan secara sembunyi-sembunyi di bawah meja sebagai bentuk suap. Namun, ini hanyalah salah satu jenis korupsi. Di Inggris, Eropa dan Amerika Serikat, korupsi melembaga ke dalam sistem dalam bentuk sumbangan atau donasi, bantuan dan pengaruh. Ini terkadang disebut korupsi kolusif, di mana politisi dan pebisnis berkolusi satu sama lain. Perusahaan-perusahaan besar dengan senang hati membelanjakan beberapa juta dolar / euro / pound untuk ‘sumbangan’ politik jika mereka mendapatkan kembali miliaran keuntungan tambahan karena undang-undang dan peraturan yang bias menguntungkan mereka, atau karena hukum yang ada dilemahkan. Dalam konteks lain, kita menyebutnya penyuapan.

Politik di AS mahal. Banyak bisnis AS sekarang memberikan suap besar kepada kedua partai politik utama AS. Pola utamanya dikemas dalam bentuk ‘penggalangan dana’. Ini adalah peristiwa di mana perusahaan membayar sejumlah besar uang kepada politisi dengan menggunakan pelobi sebagai perantara. Politisi tahu dari mana uang itu berasal, dan mereka tahu siapa yang mengharapkan undang-undang yang menguntungkan sebagai imbalan atau balas budi atas gelontoran dana yang diberikan. Politisi AS bergantung pada pelobi paling sukses, dan pendukung terkaya mereka. Bukti sangat banyak menunjukkan bahwa uang dan kekayaan mempengaruhi kebijakan. Seorang mantan “orang dalam” mengungkapkan tentang pekerjaannya:

“Semakin banyak uang yang Anda miliki, semakin banyak suara Anda didengar… Itu adalah siklus perdagangan uang tanpa akhir untuk mendapatkan suara… setiap penggalangan dana adalah suap yang sah”

Amerika secara efektif adalah masyarakat yang dijalankan bisnis. Kita bisa lihat misalnya, bagaimana perusahaan asuransi dan obat dapat meraup untung besar dari sistem perawatan kesehatan AS yang ada saat ini. Perusahaan menghabiskan ratusan juta dolar setiap tahun untuk menyuap politisi demi menghindari perubahan yang akan menurunkan keuntungan mereka.

Presiden Obama memperkenalkan beberapa perubahan, tetapi undang-undang terakhir sangat dipermudah sehingga sistem perawatan kesehatan AS masih jauh dari jenis Pelayanan Kesehatan Nasional yang lumrah di tempat lain. Beberapa perubahan sebenarnya akan meningkatkan keuntungan perusahaan asuransi kesehatan. Sumbangan di Inggris lebih kecil dari pada di AS, tetapi mereka efektif dalam mendistorsi ekonomi Inggris sehingga menguntungkan orang kaya dengan mengorbankan orang lain. Layanan kesehatan Eropa, termasuk Inggris, secara perlahan dan pasti diprivatisasi. Ini bukan tentang membuat layanan kesehatan lebih baik atau lebih efisien, melainkan bagaimana perusahaan memungkinkan untuk mendapatkan keuntungan.

Untuk kasus korupsi di Indonesia, belum lama ini KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) telah menetapkan dua orang menteri di kabinet pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, Kabinet Indon esia Maju, yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang ditangkap KPK melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Bandara Soekarno-Hatta pada Rabu (25/11/2020). Kedua, Menteri Sosial Juliari P Batubara yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sebagai tindak lanjut atas OTT pada Jumat (5/12/2020) dini hari.

Pertanyaannya adalah, apakah penangkapan kedua menteri tersebut menandai karut-marutnya sistem politik di negeri ini? Mungkinkan ini juga karena mahalnya ongkos politik yang harus “dikembalikan” oleh siapa pun yang yang mendapat dukungan dana dari para pegusaha? Jika memang demikian adanya, kongkalikong antara politisi dan pengusaha adalah harga mati bagi mereka yang tidak memiliki jiwa kenegarawanan sejati. Jiwa kenegarawanan tersebut, setidaknya bisa ditakar dari sejauh mana mereka lebih mengedepankan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok atau golongan.

Kualitas kenegarawanan tidak bisa disejajarkan dengan seorang politikus partai , apalagi “pegawai” partai. Harus ada pelibatan nilai-nilai normatif dalam diri seorang negarawan, yang tidak bisa dengan mudah dimiliki oleh seorang politisi. Dalam terang demokrasi, siapa pun warga negara punya hak menjadi politisi, namun, tidak semua dari mereka mampu mengemban “amanat” kenegarawanan. Kalau sudah demikian, pastikan bahwa demokrasi tak lebih dari arena kontestasi kepentingan-kepentingan pragmatis belaka.

Dengan demikian, melembaganya jiwa kenegarawanan dari para pejabat pemerintah atau politisi dalam sistem politik Indonesia sejatinya bisa mengurangi potensi konflik kepentingan, yang bisa saja menyulut terjadinya konflik komunal. Mekanisme dalam mengawal suksesi kekuasaan bisa disiasati melalui beroperasinya kesadaran hukum yang berkeadaban dalah ranah praksis. Artinya, mereka yang terpolarisasi harus legowo meneduhkan ruang kesadaran bernegara di bawah mekanisme hukum yang sama.

Atas dasar itulah, potensi untuk terjadinya praktik korupsi, entah dalam selubung donasi atau penggalangan dana, suap-menyuap bisa dikurangi. Jika tidak, maka suksesi pemerintahan, secara langsung atau tidak langsung, akan memaksa politisi mencari sumber-sumber pendanaan dengan segala cara demi memuluskan jalannya mencapai kekuasaan. Melalui kado “proyek pascakemenangan”, politisi bisa saja menggadaikan dan menanggalkan identitas kenegarawanannya demi mengembalikan ongkos pilitik yang merek dapatkan.

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com