Membentuk Tim Solid Demi Kepentingan Negara

Bagikan artikel ini

Saskia Yuli, Jalan Pangadegan No. 12 Pancoran Jakarta Selatan
saskiayuli@gmail.com

Masyarakat Indonesia sedang dihadapkan dengan pesta demokrasi 5 tahunan yang merupakan penentuan nasib bangsa Indonesia untuk lima tahun kedepan. Selain menjadi ajang pemilihan pemimpin, pesta demokrasi tersebut seharusnya dimaknai sebagai proses awal kebangkitan suatu bangsa, didalamnya termuat komitmen, kesepahaman dan kesepakatan untuk membangun bangsa dan negara yang lebih maju kedepannya.

Partai politik sebagai peserta utama dalam Pemilu 2014, seyogianya memahami proses tersebut, tidak sekedar mengincar kekuasaan tanpa muatan-muatan tersebut diatas untuk mencapai tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia.

Pasca Pemilu legislatif berlangsung, partai politik peserta Pemilu telah bergerilya sedemikian rupa untuk membentuk suatu tim yang mereka sebut koalisi dalam menyongsong Pemilu Presiden mendatang. Tim merupakan diksi yang tepat digunakan dalam membangun kerjasama politik untuk memenangkan Pilpres mengingat Republik Indonesia sejak dibentuk telah menganut sistem pemerintahan Presidensial. Menjadi aneh jika seuatu pemerintahan yang menganut sistem Presidensial menerapkan koalisi didalmnya.

Melihat perkembangan peta koalisi menjelang Pilpres 2014, terdapat 2 Poros besar yang hampir pasti mengajukan Capres dan Cawapres, antara lain PDIP dan Gerindra.

PDIP sebagai partai pemenang Pemilu telah memastikan Jokowi Widodo sebagai Capres dari porosnya. PDIP, jauh-jauh hari telah mejalin komunikasi dengan berbgai Parpol diantaranya, partai Nasdem, PKB dan terakhir dengan Hanur. Sehingga dapat dipastikan poros Parpol yang mencalonkan Jokowi antara lain, PDIP, Nasdem, PKB dan Hanura.

Sedangkan poros Gerindra yang mengusung Prabowo Subianto sebagai Capres telah menemukan partner politiknya antara lain, PPP, PKS, PAN dan Golkar. Sementara itu, dua partai lainnya peserta Pemilu yakni Golkar dan Demokrat belum menentukan arah dan kebijakan partainya dalam Pilpres 2014.

Melihat berbagai fenomena menjelang Pilpres 2014, makna yang kental dalam komunikasi politik dalam membentuk koalis adalah membangun kekuatan untuk mencapai kekuasaan, meskipun Jokowi mengatakan bahwa koalisi yang dibentuk bukan berdasarkan bagi-bagi kekuasaan, namun pemenangan Pilpres masih dijadikan agenda utama.

Menyikapi permasalahan koalisi di Indonesia, Yusril Ihza Mahendra (Ahli Hukum Tata Negara) menyatakan bahwa hanya di Indonesia negara yang menerapkan sistem presidensial tapi pemerintahannya membentuk koalisi. “Anda lihat saja di dunia ini, apa ada (negara) presidensial yang punya koalisi. Nggak ada. Hanya SBY saja. Mana ada koalisi di Brazil, di Filipina yang menggunakan sistem presidensial. Amerika apalagi. Mana ada koalisi. Koalisi itu ada pada sistem parlementer. Sistem presidensial pakai koalisi, aneh,” Jelasnya .

Koalisi sebagai bentuk kerjasama tentunya akan berujung pada transaksi, baik itu kekuasaan, jabatan dan lain sebagainya. Koalisi yang terbentuk dan memenangkan Pilpres tidak akan menjadikan  satu kekuatan positif bahkan dapat terpecah-pecah demi memperjuangkan kepentingan partai masing-masing. Hal tersebut terlihat dari koalisi pemerintahan SBY-Boediono yang ditopang enam partai politik. Golkar dan PKS yang menjadi mesin penyokong koalisi kerap berseberangan sehingga beberapa kali keputusan pemerintah kandas di parlemen.

Koalisi partai politik untuk mengusung calon presiden dan calon wakil presiden seharusnya membangun dan membentuk tim yang solid terlebih dahulu. Cukup sulit bagi partai politik saat ini untuk hanya membangun pemerintahan dengan berbagai kepentingan. Tim partai politik dari poros manapun harus benar-benar membangun komitmen dan kesepakatan untuk mengutamakan kepentingan bangsa diatas kepentingan kelompok/partai.

Selain partai politik, masyarakat sebagai peserta harus benar-benar cerdas dalam mencermati perkembangan koalisi berbagai partai yang telah terbentuk. Masyarakat harus benar-benar jeli dalam memilih dan memilah poros partai yang hanya menginginkan kemenangan tanpa mengutamakan kepentingan bangsa nantinya. Dengan kata lain, paltform kolalisi dari poros yang terbentuk perlu untuk dipelototi.

Koalisi antar parpol dalam rangka menentukan calon presiden dan wakil presiden tak boleh hanya didasarkan hitung-hitungan kepentingan politik jangka pendek. Idealnya, koalisi parpol dibangun berdasarkan kesamaan platform ideologi. Tetapi, seperti diketahui, sulit membangun koalisi berbasis platform ideologi karena hampir semua parpol di Indonesia tidak memiliki kejelasan ideologi.

Berbagai manuver koalisi parpol menjelang pilpres menunjukkan kebutuhan membentuk sistem politik yang lebih baik di masa datang melalui penguatan ideologi partai dan pembentukan sistem merit politik. Pada sisi lain, hal ini membuktikan masih belum terbentuknya budaya oposisi di kalangan elite dan pengurus parpol. Namun, sinyal-sinyal tersebut mulai datang dari kubu Parpol yang belum berkoalisi.

Jika platform ideologi parpol sulit dijadikan dasar koalisi, paling tidak harus ada nilai dasar (basic/core value) yang akan dicapai koalisi pemerintahan. Esensi dasar pemerintahan adalah terselenggaranya pelayanan dan kesejahteraan masyarakat sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Dengan kata lain, berpemerintahan adalah memperjuangkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Keberadaan pemerintah baru akan dirasakan masyarakat jika ada peningkatan kualitas pelayanan dan kesejahteraan, bukan sebaliknya.

Selain koalisi menjadi oposisi dalam suatu pemerintahan juga dianggap penting untuk penguatan sistem demokrasi. Ketidaksiapan elite dan parpol untuk berada di luar ring kekuasaan dan menjadi oposisi melahirkan kesulitan tersendiri dalam membentuk koalisi pemerintahan. Oposisi dapat menjadi penawar bagi pihak pemerintahan ketika keluar dari jalur tujuan nasional, sehingga tercipta suatu pemerintahan yang baik dan berkualitas. 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com