Mesir, Pada Akhirnya

Bagikan artikel ini

Penulis: Dina Y. Sulaeman, mahasiswi Program doktor Hubungan Internasional Unpad, penulis buku Prahara Suriah 

Pada akhirnya, selalu terbukti bahwa politik yang membawa kemaslahatan umat adalah politik yang dijalankan oleh orang-orang visioner, mampu melihat jauh ke depan, dan mampu membedakan mana musuh, mana kawan. Misalnya, betapa dulu Rasulullah dicerca sebagian sahabatnya karena mau menandatangani perjanjian Hudaibiyah yang sekilas terlihat merugikan kaum muslimin. Namun waktu memberi bukti bahwa langkah Rasulullah itu sangat tepat dan membuktikan betapa beliau adalah politisi yang sangat visioner.

Sayangnya, hingga kini sangat banyak politisi yang mengusung perjuangan Islam yang terjebak pada kepentingan sesaat dan tidak mampu mendeteksi siapa sesungguhnya teman sejati.

Inilah yang tengah terjadi pada kelompok Ikhwanul Muslimin di Mesir. Perjuangan panjang mereka ‘mewarnai’ Mesir dengan nilai-nilai Islam dan ‘menguasai’ berbagai lini kehidupan sosial melalui berbagai aktivitas sosial yang simpatik, akhirnya buyar dalam hitungan bulan setelah mereka berhasil meraih tampuk kekuasaan. IM bahkan telah dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Sebelumnya pun, menurut kesaksian rekan saya, pejabat yang pernah tinggal di Mesir, tidak sengaja sholat di masjid yang dicap sebagai masjid IM-pun sudah bisa membuat seorang stafnya dijebloskan ke penjara. Hanya memasang foto pejuang Palestina di kamar kos juga telah membuat seorang mahasiswa Indonesia dipenjara. Bisa dibayangkan betapa mencekamnya kehidupan orang-orang IM di Mesir saat ini ketika ormas ini resmi dinyatakan terlarang.

Ada kisah menarik yang saya dapat dari pejabat Iran yang pernah berkunjung ke Indonesia, disampaikan secara informal, namun saya mempercayai akurasinya. Menurutnya, sejak awal Mursi naik ke tampuk kekuasaan, telah terjalin lobi-lobi diplomatik antara Iran dan Mesir (sebelumnya, pada era Mubarak, kedua negara tidak memiliki hubungan diplomatik akibat perbedaan tajam keduanya atas isu Israel; Mubarak sangat berpihak pada Israel). Di antara pesan penting yang disampaikan misi diplomatik Iran adalah: berdasarkan pengalaman revolusi Islam Iran, ada 3 langkah yang harus dilakukan agar pemerintahan Islam di Mesir tetap tegak, yaitu selalu bersama rakyat, jauhi eksklusivitas dan takfirisme, dan hati-hati dengan jebakan Barat.

Namun, Mursi mengabaikan pesan ini. Alih-alih kedubes Israel,  justru Kedubes Suriah di Kairo yang ditutupnya. Bukannya memutus hubungan dengan lembaga renten Barat, malah minta bantuan IMF. Bukannya menjalin ukhuwah di antara sesama anak bangsa, malah bersikap eksklusif. Para aktivis dan politisi IM sangat mudah melempar vonis sesat pada lawan politik mereka. Pengiriman pasukan jihad ke Suriah dan menjadi tuan rumah pertemuan para ulama takfiri sedunia dalam membahas isu Suriah, adalah pesan kuat betapa Mursi dan IM mendukung takfirisme. Sikap Mursi saat berkunjung ke Iran juga secara diplomatik sangat menodai hubungan baik kedua negara (bisa dibaca tulisan saya “Dua Suara Miring dari KTT GNB Tehran”).

Secara diplomatik, Iran bersabar dan terus menyatakan dukungan kepada rezim IM. Ketika akhirnya Mursi digulingkan oleh militer, Iran menyuarakan pembelaan. Sungguh jauh berbeda dengan Arab Saudi yang menjadi negara pertama yang memberikan ucapan selamat kepada militer Mesir. Menurut pejabat Iran yang saya kutip dalam tulisan ini (dan saya juga pernah menulis analisis serupa dalam artikel saya “Pemetaan Konflik Mesir”), sikap Iran ini didasarkan pada kepentingan Dunia Islam secara lebih global.

Dalam pandangan Iran, keberhasilan rakyat Mesir menggulingkan Mubarak dan menyelenggarakan pemilu demokratis adalah model yang menghembuskan angin harapan bagi rakyat tertindas di muka bumi. Terbukti,  Mubarak yang sangat ditakuti rakyatnya akhirnya bisa juga ditumbangkan. Namun kini, dengan kembali berkuasanya militer, harapan ini telah meredup. Negara-negara Arab monarkhi akan semakin berani menggunakan kekuatan militer untuk menindas demo rakyatnya. Jelas ini bertentangan dengan ide Iran yang sejak kemenangan revolusi 1979 selalu menyerukan agar bangsa-bangsa tertindas bangkit melawan penindasnya.

Dan benar saja, kini kekhawatiran Iran terbukti. Gerakan (harakah) Islam di berbagai negara Arab semakin diberangus. Selain menyatakan IM sebagai organisasi terlarang, militer di negara-negara monarkhi Arab pun semakin merasa punya alasan untuk menindas aktivitas politik Islam.

Pada akhirnya, ketika para aktivis IM dikejar-kejar dan menjadi buron, kemanakah tempat mengadu dan mencari bantuan dana? Saya yakin, para aktivis IM di Indonesia yang membaca tulisan ini akan menyebut saya bohong besar. Terserah saja. Tapi, informasi yang saya dapatkan dari pejabat Iran tadi, delegasi IM telah melakukan kontak dengan Iran untuk meminta bantuan. Dan ini sebenarnya bukan fakta yang mengherankan. Bukankah para pemimpin Hamas (pejuang Palestina berhaluan IM) juga berkali-kali datang ke Iran untuk meminta bantuan dalam perjuangan melawan Israel?

Dalam kasus Suriah, Hamas pernah mengambil keputusan blunder: memilih melawan rezim Assad dan  Iran yang selama ini membantu mereka hanya semata-mata demi solidaritas kepada para ‘mujahidin’ yang  berhaluan IM. Ketika situasi semakin sulit (‘mujahidin’ IM di Suriah tak berhasil menggulingkan Assad, justru Mursi yang dikudeta militer -dengan dukungan sebagian rakyat Mesir) Hamas akhirnya kembali kepada Iran. Arab Saudi sudah ‘menalak’ IM, Qatar ternyata masih sama seperti dulu, tak pernah serius membantu. Jadi, negara muslim mana yang mau menggelontorkan 15 Juta Poundsterling per bulan untuk Hamas, selain Iran?

Hubungan antara Hamas dan Iran telah kembali,” kata Mahmud al-Zahar tokoh Hamas, dalam konferensi pers di Gaza, Desember 2013.
Al Zahar mengakui bahwa hubungan antara Iran dan Hamas terganggu akibat konflik Suriah. “Hamas telah mundur dari Suriah sehingga Hamas tidak bisa lagi diidentifikasikan sebagai kelompok ini, atau kelompok itu. Kami mengkonfirmasi bahwa kami tidak ikut campur atas kasus Suriah atau negara Arab manapun,” kata Al Zahar (Al Arabiya, 10/12/13).

Lalu, bagaimana dengan rakyat Mesir sendiri, yang setelah 30 tahun sengsara di bawah rezim fasis militer Mubarak,  akhirnya berbalik demo menggulingkan Mursi dan mendukung lagi militer? Ah, tak perlu heran. Bukankah orang Indonesia juga bersikap serupa? Keterpurukan ekonomi kita hari ini jelas hasil ‘karya’ rezim Soeharto, dimulai dengan menjual murah kekayaan alam bangsa dalam konferensi bisnis di Jenewa tahun 1967. Lalu, mengapa slogan “Piye Kabare Le, Enak Jamanku To” masih menyebar luas?  Bahkan Titiek Suharto dalam spanduk kampanye pileg-nya memasang slogan itu, dan melenggang ke Senayan. Manusia pada umumnya memang malas belajar dari sejarah dan opini publik sangat mudah dibelokkan.

Dan Mesir, pada akhirnya, seharusnya menjadi wahana belajar, terutama bagi ormas Islam di Indonesia. Sikap takfirisme, oportunisme, ekslusivitas, dan antikritik, hanya berujung pada kegagalan perjuangan Muslim secara global.[]

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com