“Merawat Ingatan, Melawan Lupa”

Bagikan artikel ini

Wibowo Sugiyantopemerhati masalah sosial dan Peneliti muda pada Lembaga Kajian Ketahanan Madani

Pemilu Legislatif (Pilleg) 2014 telah berhasil membuka mata masyarakat Indonesia bahwa untuk 5 tahun ke depan bangsa ini masih berada pada bayang-bayang mimpi. Mimpi akan lahirnya perubahan besar dalam wajah demokrasi. Bagaimana tidak. Hampir dipastikan untuk akan tetap seperti “dulu”. Hal ini dapat dilihat dari produk hasil pilleg 2014 yang terasa tidak akan membuahkan perubahan berarti bagi masyarakat. Sebab mereka yang duduk sebagai wakil rakyat di DPR/DPRD diperkirakan tetap akan seperti sekarang, penuh dengan tarik menarik kepentingan dan saling menjatuhkan satu sama lain. Kecuali mereka mau berubah sekali lagi kecuali mereka mau berubah.

Berbagai permasalahan yang muncul pada pilleg 2014 di antaranya seperti :

  1. Pada proses pencalonan bakal calon anggota DPR oleh Parpol muncul satu nama di beberapa dapil, satu nama di lebih dari Parpol (M. Djadijono, “Kebohongan Bacaleg Pada Pileg 2014,” Suara Karya, 22 Mei 2013).
  2. Penetapan DPS menjadi DPT tertunda-tunda karena data kependudukan tidak akurat. Bahkan pada “hari H” pemungutan suara ada warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih atau warga yang sudah meninggal masih terdaftar sebagai pemilih, satu nama ditulis lebih dari satu kali dalam DPT. Hal ini diperparah dengan sikap KPU yang tidak mempersilahkan pemilih menggunakan KTP untuk menggunakan hak pilihnya di TPS, baru belakangan diperbolehkan, tetapi di TPS-TPS tertentu muncul kebijakan dari KPPS untuk membatasi jumlah pengguna KTP dengan kuota 5 pemilih saja.
  3. Adanya Pengurus Parpol di daerah yang tidak/terlambat melaporkan dana kampanye ke KPUD. Akibatnya sesuai dengan Peraturan KPU No. 1/2014 tentang Perubahan PKPU No. 17/2013 tentang Pelaporan Dana Kampanye Peserta Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD,   ada 8 Parpol di 34 kabupaten dan kota yang kepesertaannya didiskualifikasi. Kedelapan Parpol tersebut adalah: (1) PKB di Kabuppaten Tabanan dan Kota Tomohon; (2) PKS dibatalkan kepesertaannya di Kota Tomohon dan Kabupaten Toraja Utara; (3) PDI-P dibatalkan kepesertaannya di Kabupaten Timor Tengah Selatan; (4) Partai Demokrat di Kabupaten Aceh Singkil dan Majalengka; (5) PAN di Kabupaten Pelalawan, Riau; (6) PPP di Kota Gunung Sitoli dan Kabupaten Ngada; (7) PBB di Kabupaten Serdang Bedagai, Kota Gunungsitoli, Kota Sungai Penuh, Kabupaten Ngada, Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kabupaten, Minahasa Tenggara, Kabupaten Toraja Utara, Kota Tomohon; (8) PKPI di Kabupaten Kepulauan Anambas, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kabupaten Gorontalo Utara.
  4. Distribusi logistik Pileg, khususnya surat suara  tidak akurat menurut daerah pemilihan di TPS-TPS yang bersangkutan. Hal ini lazim disebut sebagai kasus surat suara tertukar. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri mengakui menerima laporan surat suara tertukar dari 17 provinsi.  tersebar di 69 kabupaten/kota di 476 tempat pemungutan suara (TPS) yang surat suaranya tertukar.  Paling tinggi  tercatat di Jawa Barat yang terjadi di 17 kabupaten/kota dan 277 TPS. Sementara itu Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menemukan bahwa jika dipersentase, jumlah TPS yang surat suaranya tertukar ada sekitar 500 TPS.
  5. Pada saat pemungutan suara juga terjadi kasus-kasus kecurangan berupa telah tercoblosnya surat suara atas nama Parpol tertentu maupun nama Caleg tertentu, baik untuk DPR-RI maupun DPRD. Contoh kasusnya terjadi di Desa Benteng, Kecamatan Cieampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Dusun Sugihan RT 01/RW 01, Desa Pojok, Kecamatan Garum, Kab Blitar, di Desa Bira Barat Kecamatan Ketapang Kabupaten Sampang, Madura, di Kelurahan Hiliamaetaluo, Toma, Nias Selatan, di 7 TPS di Kecamatan Titeu, Kabupaten Pidie, Aceh, dan lain sebagainya.
  6. Terjadi pula kasus-kasus politik uang yang melibatkan kontestan, penyelenggara maupun pemilih. Kabag Penum Divisi Humas Mabes Polri, Kombes Agus Riyanto di Jakarta 7 Mei 2014 mengatakan ada 379 orang yang dilaporkan terlibat praktek politik uang terdiri atas caleg 66 orang, kepala desa  12 orang, timses  98 orang, dan KPPS 38 orang.
  7. Pada saat rekapitulasi hasil suara terjadi pula pencideraan terhadap asas kejujuran berupa dugaan pencurian  maupun penggelembungan suara. Dugaan pencurian suara terjadi misalnya di Kota Cimahi, Jawa Barat,  di Kabupaten Subang, Jawa Barat, sejumlah calon anggota DPRD mengaku menemukan banyak indikasi kecurangan pada proses rekapitulasi penghitungan perolehan suara caleg dan parpol, yang diyakini berlangsung secara sistematis mulai tingkat KPPS di TPS dan PPS desa/kelurahan, hingga PPK. Kasus dugaan penggelembungan suara terjadi di Kabupaten Siak di beberapa TPS di Daerah Pemilihan (Dapil) Siak 1, salah satunya di TPS Kecamatan Bunga Raya, kasus penggelembungan suara diduga terjadi pula di KPU Lampung Barat sehingga 5 orang Komisionernya diperiksa polisi karena diduga menerima gratifikasi.
  8. Rekapitulasi perolehan suara oleh KPU Pusat terancam molor dari tenggat waktu, walau akhirnya tetasp diumumkan pada waktu yang telah ditetapkan, namun selanjutnya berbagai persoalan di alihkan ke MK dengan banyaknya gugatan dari Parpol.
  9. Terkait kasus politik uang atau Money Politic, dilapisan bawah masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah sangat mengenal istilah “NPWP yaitu Nomor Piro Wani Piro”. Sehingga mereka hanya akan memilih pemimpin dengan nilai pemberian uang paling besar. Bahkan hal ini semakin miris dengan sikap masyarakat yang menetapkan tarif nomor urut. Contoh, 1 nomor di hargai Rp. 100.000 – 150.000,-

Fenomena bagi-bagi uang tersebut jelas disadari para caleg dan diamini oleh masyarakat. Dengan terima uang tersebut, maka di TPS yang warganya terima “money politic” dapat dipastikan yang menang adalah parpol atau caleg atau “makelar” yang bagi-bagi duit. Jangan harap ada parpol bisa menang mutlak tanpa bagi-bagi duit di daerah seperti itu.

Dengan demikian, jangan berharap masyarakat akan mendapatkan perubahan sesuai harapannya. Sehingga ketika para wakil rakyat tersebut pada akhirnya bermasalah, masyarakat tidak perlu melakukan berbaga aksi unjuk rasa, berdemo, dan sejenisnya. Aktivitas tersebut hanyalah ke sia-siaan belaka, karena memang masyarakatlah yang mengharapkan Indonesia tetap berada pada keterbelakangan ekonomi, sosial, hingga pendidikan. Jangan pernah lupa akan tindakan para wakil rakyat tersebut merupakan hasil pilihannya pada Pilleg 2014 kemarin. Seharusnya, jika mengharapkan perubahan mendasar bagi Indonesia di masa depan jangan asal dalam memilih wakil rakyat pada pilleg 2014 kemarin. Jangan memilih caleg atas dasar uang. Pilihlah wakil rakyat atas prestasinya, cita-citanya untuk merubah Indonesia 5 tahun ke depan.

Nasi sudah menjadi bubur. Pemimpin bermental koruptor telah terlahir. Hal yang dapat kita lakukan saat ini adalah mengawasi aktivitas para dewan yang terhormat dengan mental koruptor tersebut jangan berikan kesempatan mereka untuk merampok uang rakyat. Indonesia harus menjadi lebih baik. Bangkit dari keterpurukan dan pengaruh pihak asing. Semoga rakyat memperbaiki sikapnya pada Pilpres 2014 ini, rakyat harus terus merawat ingatannya dan melawan lupanya agar kelak terpilih pemimpin negarawan yang bersih, tak bernoda dan memiliki komitmen untuk jujur, bekerja keras dan tidak memperkaya diri dan kelompoknya…seperti kata Anis Baswedan dalam acara “Satu Jam Bersama Anis Baswedan” yang disiarkan live di TV One pada 18 Mei 2014, beliau mengatakan bahwa track record (jejak rekam) harus menjadi perhatian dalam memilih pemimpin. Untuk itu semoga pada Pilpres 2014 ini terpilih pemimpin yang amanah dan hasilnya menjadi sebuah kemenangan rakyat Indonesia….karena bangsa ini dibutuhkan kekompakan….menang secara terhormat dan kalah juga terhormat…..

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com