Menakar Kepedulian Presiden RI Terhadap Papua

Bagikan artikel ini

Derek Manangka, Wartawan Senior

Kalau dicermati secara subyektif hanya Soekarno, Proklamator sekaligus Presiden RI yang pertama yang memiliki kepedulian tinggi terhadap Papua. Yaitu provinsi wilayah paling Timur itu harus menjadi bagian tak terpisahkan dari NKRI. Indonesia bukanlah sebuah negara, jika tidak terdiri dari Barat (Sabang-Aceh ) sampai ke Timur (Merauke-Papua).

Kepedulian tinggi oleh Soekarno bisa demikian kental, karena yang menjadi agenda utamanya adalah memerdekakan seluruh wilayah Indonesia dari cengkeraman penjajah Belanda.

Ketika Indonesia merdeka di tahun 1945 Belanda tidak langsung mengakui kemerdekaan tersebut dan tetap menduduki Irian Barat (Papua).

Sebagai pejuang yang dibui berkali-kali oleh Belanda, Soekarno tidak ingin melihat Belanda punya bekas pijakan kaki di Indonesia.

Sehingga untuk mengusir Belanda, pada tahun 1961 Soekarno menciptakan jargon :”Sebelum ayam berkokok di ufuk Timur, Irian Barat (Papua) sudah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi….”.

Berdasarkan Perjanjian New York 1962, Irian Barat akhirnya dikembalikan Belanda ke Indonesia, pengembalian mana berkat dukungan Presiden AS John F.Kennedy terhadap Indonesia. Kennedy (Amerika Serikat) terpaksa mendukung Indonesia, karena takut Indonesia akan berpaling ke komunis (Internasiomal).

Pengesahan Irian Barat menjadi wilayah Indonesia dilakukan melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dibawah pengawasan PBB pada Juli – Agustus 1969. Kini hasil Pepera yang hanya diikuti oleh sekitar 1.500 warga Irian Barat mulai digugat keabsahan hukum serta legitimasinya.

Dan isu inilah yang digunakan pemerhati internasional Papua agar menggugurkn “kepemilikan” Indonesia atas Papua.

Setelah berhasil mengusir Belanda dari Papua melalui Perjanjian New York 1962, Soekarno masih melakukan nasionalisasi. Semua perusahaan bentukan Belanda di Indonesia di berbagai bidang seperti perkebunan, perminyakan, perdagangan dan transportasi laut dan udara, diambil alih sebagai milik Indonesia.

Jadi tidak heran jika ada dendam yang dsembunyikan Belanda terhadap Indonesia, satu hal yang mungkin tidak dipahami oleh para Presiden penerus.

Sebab para penerus Soekarno justru lebih suka berkolaborator dengan Belanda ataupun para sahabat dari bekas penjajah Indonesia itu.

Satu per satu perusahaan eks Belanda itu merugi. Sampai akhirnya menjelang usia kemerdekaan RI ke-70, tinggal beberapa saja yang masih eksis seperti Pelni, Garuda dan Pertamina. Dan seperti halnya dengan sebuah perusahaan, Irian Barat atau Papua pun, setelah lebih dari 50 tahun berada dalam kekuasaan Indonesia, kini mulai goyah dan goyang eksistensi dan kepemilikannya.

Artinya mulai dari Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono serta Joko Widodo, tak berhasil menjadikan Papua benar-benar “menyatu” dengan Indonesia.

Mereka tetap memiliki kepedulian, namun selain sangat rendah, mereka tidak punya visi tentang bentuk penjajahan baru yang sebetulnya masih ada hubungan dengan konsep penjajahan Belanda di Indonesia.

Mereka tidak melihat bahwa Belanda dan konco-konconya, tetap ingin mengembalikan Papua seperti situasi di tahun sebelum 1963. Yaitu Papua harus kembali sebagai provinsi yang berada di luar wilayah yuridiksi NKRI.

Soekarno digantikan Soeharto sebagai Presiden pada 11 Maret 1966.

Langkah taktis pertama yang dilakukan Soeharto di tahun 1968 – awal Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), setelah memiliki legitimasi kekuasaan, dia menyetujui pembentukan IGGI (Inter Govermental Group on Indonesia).

IGGI merupakan sebuah konsorsium negara-negara Barat (baca anti-komiunis) yang menggalang dana bantuan bagi pembangunan Indonesia. Ketuanya secara permanen diambil dari anggota kabinet pemerintah Belanda. Ketua IGGI paling terkenal J.Pronk.

Konsorsium inilah yang mengorganisir pencarian kredit bagi pembangunan Indonesia selama Soeharto berkuasa. Dan selama itu pulalah pemerintahan Soeharto dibanjiri bantuan luar negeri lewat IGGI – bantuan mana kemudian menjadi beban hutang yang berat bagi rakyat Indonesia.

Sepertinya Soeharto begitu percaya, era kolonisasi (Belanda) sudah berakhir. Sehingga tidak mungkin bekas penjajah Indonesia kembali sebagai penjajah. Baru pada Maret 1992, Soeharto menolak IGGI karena tersinggung dengan kecongkakan Menteri Belanda J.Pronk.

IGGI dibubarkan dan sebagai gantinya dibentuk CGI (Consultative Group on Indonesia). Pada hakekatnya peran IGGI dan CGI sama. Bedanya posisi Belanda sudah digantikan atau dilanjutkan oleh negara-negara lain atau konco-konconya seperti Inggeris, Australia termasuk Amerika Serikat.

Seandainya Soeharto tidak jatuh di tahun 1998, CGI ataupun konco-konco Belanda, boleh jadi masih tetap mendikte pembangunan Indonesia.

Sebab terbukti pasca Soeharto, konsep peminjaman uang dari konsorsium eks IGGI masih terus dilanjutkan.

Dus, Soeharto dan para pemimpin RI tersebut nampaknuya lupa, ketika Belanda sebagai penjajah sudah berhasil diusir atau terusir dari Indonesia (oleh tentara Jepang di tahun 1945), Belanda tidak serta merta mau keluar dari Indonesia.

Belanda bersekongkol atau berkonspirasi dengan Inggeris. Yaitu Inggeris yang akan menggantikan Belanda di Indonesia. Persekongkolan ini sulit dirabah tetapi bisa dirasakan dengan indera keenam bahkan ketujuh.

Coba perhatikan diplomasi Belanda dan Inggeris terhadap Indonesia. Makin hari Belanda makin pasif terhadap Indonesia. Tetapi di sisi lain, Inggeris justru semakin agresif mendekat ke Indonesia.

Investasi Inggeris di bumi Papua melalui British Petroleum, makin hari makin kuat. Delegasi Inggeris makin sering ke Indonesia. Terakhir dipimpin Perdana Menteri David Cameron, pekan ini secara tiba-tiba ke Indonesia.

Belanda yang tetap menjadi negara tempat berlindung oleh warga Papua yang tidak puas dengan keberadaan Indonesia di bumi Mutiara Hitam itu, tak sekali, mengizinkan OPM (Organisasi Papua Merdeka) membuka kantor perwakilannya di negara tersebut.

Sebaliknya Inggeris yang tidak pernah menjajah Indonesia termasuk bumi Papua serta tidak pernah terdengar bersentuhan dengan OPM, tiba-tiba saja di tahun 2013 mengizinkan organisasi separatis itu membuka kantor perwakilannya di kota Oxford.

Seiring dengan perubahan konstalasi, dari waktu ke waktu pelan tetapi pasti bukan hanya sebagian rakyat Papua yang merasa tidak pantas menjadi bagian dari NKRI. Melainkan masyarakat non-Papua sendiri, terutama yang tinggal di wilayah yang cukup makmur di Indonesia, makin merasa risih hidup berdampingan dengan Papua.

Ditambah lagi dengan warna kulit dan akar budaya yang berbeda, kedekatan Papua dan pulau-pulau lainnya Indonesia, semakin renggang.

Kondisi ini kemudian melahirkan stigma Papua dan non-Papua memang sebuah persemaian yang dipaksakan.

Lihat saja sikap Presiden Joko Widodo dalam merespon persoalan Papua pasca konflik Tohikara.

Selain mengundang para tokoh agama Kristen dari jemat GIDI (Gereja Injili Di Indonesia) ke Istana, Presiden menjanjikan akan berkantor setiap tiga atau empat bulan sekali di Papua.

Kedengarannya, sikap itu sangat solutiv. Tetapi sebetulnya hanya sebuah kosmetik. Tidak atau belum bisa menjanjikan sebuah hasil yang konkrit.

Tidak berarti, apa yang dilakukan Presiden Joko Widodo sia-sia. Tetapi jika berkaca pada situas pra Konflik Tohikara, semestinya Presiden lebih mengutamakan dialog atau rekonsialiasi dengan Gubernur Papua, Lukas Enembe.

Atau ketika para tokoh GIDI diundang ke Jakarta, Presiden juga perlu minta keikut sertaan Gubernur Lukas Enembe.

Sebab sejatinya, Gubernur Enembe merupakan pemimpin formal Papua yang mendeklarasikan ketidak percayaannya terhadap Presiden RI Joko Widodo dan para pembuat kebijakan tentang Papua yang berada di Jakarta.

Apa mungkin solusi Papua bisa dilakukan Jakarta tanpa mengikut sertakan Gubernur Papua Lukas Enembe ?

Gubernur Enembe secara terbuka menolak kehadiran atau kunjungan Presiden Joko Widodo sejak 10 Mei 2015. Dia juga menyatakan tidak akan pernah mau memenuhi panggilan pemerintah pusat ke Jakarta.

Sikap Gubernur Enembe ini bila di era Soeharto mungkin sudah bisa dikategorikan sebuah tindakan subversif,

Kalau sudah begitu, masih patutkah kita sebut Joko Widodo memililiki kepedulian yang tinggi terhadap Papua ?

Atau memang begitukah sikap semua Presiden RI ? Karena mereka tidak merasakan pahit getirnya mengembalikan Irian Barat dari tangan Belanda.

Mereka tidak pernah berkeringat apalagi berdarah-darah. Mereka menjadi Presiden tanpa melalui perjuangan berat.

Mulai dari Soeharto sampai Joko Widodo tidak mengenal pengembalian Irian Barat sebagai sebuah perjuangan berat melalui apa yang disebut “No Pain, No Gain“.

Shame on me, Shame on us and What a Shameful bro and sis…..!

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com