Menakar Pengaruh Iran di Suriah Pascaserangan Udara Israel

Bagikan artikel ini

Iran dalam beberapa dekade terakhir berhasil membangun jaringan sekutu dan proxy di antara negara-negara Timur Tengah, termasuk Suriah, Yaman, Lebanon, dan Irak yang memajukan kepentingan Iran melawan kepentingan negara-negara lainnya terutama AS, Arab Saudi, dan Israel.

Dalam artikel ini, penulis mencoba untuk mencermati lebih dalam terkait dengan semakin menguat atau melemahnya pengaruh Iran di Suriah pascaserangan udara oleh tentara Israel di pelabuhan utama Suriah, Latakia, yang menghancurkan kontainer pengiriman dan menyebabkan kebakaran, demikian kata media pemerintah Suriah seperti dilaporkan bbc.com.

Serangan udara Israel tersebut oleh Kelompok pemantau Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR) dimaksudkan untuk mencegah adanya pengiriman senjata dari Iran.

Israel sebelumnya telah mengakui melakukan ratusan serangan di Suriah selama perang saudara 10 tahun negara itu untuk mengakhiri apa yang disebutnya “kubu militer” Iran dan menghentikan pengiriman senjata Iran ke gerakan Hizbullah Lebanon dan milisi Syiah lainnya.

Terlepas dari serangan udara Israel ke Suriah dan belum lagi dihadapkan dengan sanksi AS dan PBB, Iran, negara berpenduduk mayoritas Syiah itu, harus diakui telah membuat pencapaian penting, terutama dalam industrialisasi militer, mengembangkan kemampuan rudal jarak jauhnya, dan mengandalkan sekutu dalam wilayah pengaruh tradisionalnya di Suriah, Irak, Lebanon, dan Yaman.

Dengan demikian, sangat beralasan jika Teheran secara bertahap menimbulkan ancaman terhadap strategi Amerika yang telah berusia puluhan tahun untuk melindungi Israel dan memastikan keunggulan militer Israel atas semua negara di kawasan itu.

Dengan berjalannya waktu, Iran menjadi semakin yakin akan kemampuannya untuk menghadapi dan meluluhlantakkan Israel setelah menentang sanksi AS dan PBB selama bertahun-tahun dan mengatasi kampanye “tekanan maksimum” yang diberlakukan oleh mantan Presiden AS Donald Trump pada 2018, ditambah dengan pencapaian pasukan sekutunya yang kian solid di Irak.

Kepentingan AS di Irak dalam beberapa bulan terakhir semakin menjadi sasaran serangan rudal dan pesawat tak berawak yang Washington tuduhkan pada milisi Syiah Irak yang dinilainya dekat dengan Iran. Demikian juga dengan Teheran yang menyebarkan taktik yang sama untuk mendukung sekutu di Yaman melawan Arab Saudi dan sekutu di Suriah dan Lebanon melawan Israel.

Israel, yang khawatir dengan pengaruh Iran yang semakin besar, telah mengadopsi strategi balasan sejak peristiwa Musim Semi Arab untuk membatasi kehadiran saingannya di Suriah dan Lebanon – dua negara yang dianggap penting oleh Tel Aviv bagi keberadaan dan keamanan nasionalnya.

Salah satu alat Iran yang paling mengancam keamanan Israel adalah kelompok Hizbullah di Lebanon. Dengan dukungan Iran, kelompok paramiliter tersebut telah memperluas kegiatannya ke Yaman, Irak, dan Suriah, termasuk di daerah selatan Suriah – provinsi Daraa dan Quneitra – yang berbatasan dengan Israel.

Strategi Iran dalam memfasilitasi perluasan pengaruhnya di Suriah dan Lebanon bertolak dari visi bahwa Israel tidak dapat mengatur untuk terlibat dalam perang konvensional di berbagai front di perbatasan utara yang berdekatan dengan Lebanon dan Suriah.

Kekhawatiran Israel tentang kemungkinan ancaman Iran bertepatan dengan kegagalan tujuh putaran negosiasi Wina antara Iran dan Kelompok Kerja Gabungan mengenai program nuklir dan program misilnya, juga adanya manuver angkatan laut dan udara Iran yang mensimulasikan perang dengan Israel.

Ini juga bertepatan dengan pernyataan pejabat Iran untuk meningkatkan tingkat pengayaan uranium ke batas yang lebih tinggi dari yang ditetapkan oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA), dan harapan pejabat Israel bahwa Iran akan hampir memproduksi bom nuklirnya dalam beberapa bulan.

Sejumlah pejabat Israel telah mengisyaratkan adanya kemungkinan Israel untuk melakukan aksi militernya terhadap Teheran guna mencegah Iran untuk mengembangkan teknologi nuklirnya.

Dalam empat tahun terakhir, daerah yang dikuasai rezim di Suriah sering mendapat serangan Israel yang menargetkan situs dan pangkalan militer yang digunakan oleh pasukan rezim dan milisi yang didukung Iran.

Melalui serangan semacam itu, Israel berusaha mencegah senjata canggih Iran mencapai perbatasannya, sesuatu yang dikhawatirkan Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz akan “mengubah aturan main.”

Pernyataan Gantz muncul beberapa jam setelah media Suriah dan internasional melaporkan bahwa pesawat tempur Israel menyerang pelabuhan Latakia di Suriah pada akhir Desember tahun lalu, serangan kedua pada bulan itu.

Sementara Israel tidak mengklaim bertanggung jawab, Gantz meminta rezim Suriah untuk mencegah Iran beroperasi di wilayah Suriah dan memperingatkan agar mengambil tindakan untuk menggagalkan ancaman Iran.

Israel percaya bahwa lebih banyak serangan di situs-situs yang terkait dengan aktivitas Iran di Suriah sangat penting dalam mengganggu pengiriman senjata dan amunisi serta mencegah pengembangan senjata di situs-situs di wilayah Suriah.

Dalam evaluasi kinerja tentara Israel selama tahun 2022, tentara Israel menegaskan bahwa mereka telah menyerang lusinan target di Suriah, tiga di Lebanon, dan lebih dari seratus operasi angkatan laut Israel di Laut Mediterania dan Laut Merah.

Sebagai bagian dari persiapannya untuk menyerang sasaran jauh di dalam Iran, surat kabar Amerika menerbitkan laporan permintaan Israel kepada AS untuk mempercepat pengiriman dua pesawat pengisian bahan bakar sejalan dengan kesepakatan sebelumnya antara kedua sekutu. Permintaan Israel untuk mengisi bahan bakar pesawat datang menyusul penolakan UEA dan Arab Saudi untuk mengizinkan pesawat tempur yang terakhir mendarat di pangkalan mereka untuk mengisi bahan bakar.

Israel khawatir bahwa serangan terbatas pada reaktor nuklir Iran dapat menyebabkan gangguan sementara terhadap program tersebut, tetapi itu tidak akan mengakhiri ancamannya terhadap Israel.

Dikhawatirkan juga Iran akan langsung merespon serangan Israel dengan rudal balistik dari wilayah Iran dan pasukan sekutu seperti Hamas di Gaza, Hizbullah di Lebanon dan Suriah, dan dari milisi Hashd al-Shaabi (Pasukan Mobilisasi Populer) dan puluhan kelompok pasukan bersenjata Syiah di Irak dan Suriah.

Tel Aviv juga khawatir bahwa kepentingan AS, sekutunya di kawasan itu dapat menjadi sasaran, termasuk mengancam keamanan dan keselamatan jalur pelayaran internasional melalui Selat Bab al-Mandab oleh kelompok Houthi di Yaman atau Selat Hormuz oleh angkatan laut Korps Pengawal Revolusi Iran.

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com