Negeri Panggung: Di antara Democracy, Simulakra dan Korupsi Kebijakan

Bagikan artikel ini
Bahwa pemilu langsung —one man one vote— telah mereduksi bahkan mendistorsi demokrasi (Pancasila) yang berbasis musyawarah untuk mufakat, berubah menjadi “democracy” alias pameran kegilaan.
Contohnya seperti apa?
Berkembangnya pen-CITRA-an yang menjadi-jadi secara terstruktur, sistematis dan masive hampir tak kenal tempat dan waktu. Ini kerap berlangsung di ruang publik. Di wilayah bencana pun, misalnya, dijadikan ajang pencitraan. Mungkin sekadar selfie, atau pasang spanduk, tancap baliho dan lain-lain. Uniknya, hal itu dilakukan secara sadar terutama para elit politik yang mau menyalonkan diri di pilkada, atau di pileg, apalagi pilpres.
Itulah (“kegilaan”) pencitraan dalam democracy. Tebar pesona dianggap cara efektif mendulang suara rakyat. Padahal, citra bukanlah realitas.
Menurut Baudrillard, hari ini kita hidup di era simulakra. Era di mana batas antara realitas dan citra telah melebur. Bahkan citra sudah berubah menjadi realitas itu sendiri. Ia menyebutnya hyper-reality atau realitas semu.
Pilihan dan cara pandang publik sangat dipengaruhi oleh realitas semu, dan menurut Milan Kundera, hal itu diciptakan oleh agen-agen periklanan yang merancang semu bentuk. Contoh simpelnya, tatkala seseorang membeli baju merek A, tiba-tiba ia merasa hebat. Apakah kehebatan ditentukan merek baju? Tetapi, ketika citra telah melingkupinya, ia percaya bahwa merek A membuat dirinya lebih hebat ketimbang mengenakan baju obralan.
Nah, kondisi (psikologis) publik semacam ini disebut fase simulakra: “Citra yang membentuk realitas. Bahkan citra telah menjadi realitas itu sendiri”.
Pada gilirannya, democracy mengakibatkan high cost politics. Ongkos politik menjadi mahal, sebab pesta demokrasi bergeser menjadi lomba pencitraan. Dan kerap kali, publik tak dapat membedakan mana citra, mana realitas. Maka tidak heran jika pencitraan kini menjadi industri.
Orang yang hidup di era simulakra cenderung memberikan suaranya kepada citra si kandidat, bukan visi-misi, tidak pula karena realitas (atau ideologi)-nya.
Senapas dengan Baudrillard dan Milan Kundera, sosok Cliffort Geertz, antropolog asal AS memakai istilah “negeri panggung” atau theater state guna memotret dinamika kekuasaan. Kenapa? Sebab, dalam theater state, kata Geertz, simbolisme, persepsi, narasi dan drama lebih penting ketimbang realitas. Ya, para elit politik cukup memanipulasi drama panggung tanpa perlu perbaikan realita.
Dalam theater state, ada kecenderungan bahwa buzzer akan terus dipelihara guna mendramatisir persepsi, narasi, simbolisme dst. Tujuan dramatisasi tak lain untuk mengalihkan opini agar publik tidak fokus terhadap persoalan (isu) hulu. Publik digaduhkan dengan isu-isu hilir, alias persoalan ecek-ecek.
Pada konteks lain, negara panggung kerap juga disebut negeri korporasi (corporate state). Kenapa demikian, karena sangat dominannya peran korporasi dalam mengendalikan (kebijakan) negara.
Dan tampaknya, terdapat simpul korelasi antara keduanya —theater state dan corporate state— yakni suka mendramatisir isu-isu hilir, sedang persoalan hulu dan masalah substansi bangsa justru diabaikan.
Kembali ke democracy. Terkait high cost politics di atas, untuk menyalon Bupati/Walikota, konon kandidat kudu menyiapkan Rp 30-an miliar hingga ratusan miliar; biaya calon Gubernur antara Rp 350-an miliar sampai triliunan rupiah; apalagi hendak nyapres, konon mencapai Rp 8 triliun atau lebih. Siapa yang punya uang sebanyak itu kalau bukan korporasi atau (pemodal) pemilik modal?
Artinya, siapapun kandidat bila kurang tajir, pasti merapat ke pemodal agar didukung (dana) dalam proses pencalonan, atau sebaliknya, pemilik modal merapat ke calon (bakal jadi). Atau, mereka bermain di dua kaki, tiga kaki dan seterusnya. Pasti ada bargaining. No free lunch. (Mungkin) timbal-balik berupa dan/atau melalui “kebijakan” (yang berpihak), atau hal-hal lain yang menguntungkan si pemodal.
Contoh lain lagi. Bahwa konsekuensi dari (modus) presidential threshold 20% telah menyeleksi para capres secara kapital. Kandidat mengerucut. Jumlahnya terbatas. Artinya, siapapun kandidat bila uangnya tanggung, pas-pasan, pasti mundur kecuali ia didukung pemodal. Jadi, siapapun yang lolos presidential threshold, tak lain ialah pilihan para pemilik modal.
Maka wajar bila menjelang 2024 ini, muncul gugatan dari berbagai entitas agar presidential threshold diubah 0% (nol percent) meski gugatan tersebut pernah ditolak MK. Barangkali, publik cq penggugat berharap melalui presidential threshold 0%, punya capres pilihan sendiri (bukan pilihan partai dan pemodal), serta menyaksikan putra-putri bangsa yang lain tampil dalam pilpres. Bukan loe lagi, loe lagi.
Lantas, bagaimana soal suara di TPS?
Itu dia. Model pencoblosan di bilik suara/TPS, selain sekadar sarana legalitas karena usai pencoblosan — kedaulatan beralih ke partai politik, juga (bangsa ini) mengalami kerugian fisik maupun nonfisik, contohnya antara lain:
Kerugian I: bahwa yang dicoblos oleh rakyat (mungkin) hanya citra dari kandidat, bukan realitas, tidak pula ideologinya. Inilah efek simulakra. Otomatis, siapapun pemenang pemilu bukanlah jaminan ia putra terbaik bangsa, karena mayoritas rakyat tak pernah kenal kandidat kecuali lewat baliho, kampanye dan narasi imajiner yang dibikin para agen pencitraan. Maka ibarat membeli kucing dalam karung, itulah yang kini berlangsung;
Kerugian II: kedaulatan rakyat beralih (dibajak) ke/oleh partai politik.
Ya. Bahwa amandemen empat kali UUD 45 (1999, 2000, 2001, 2002), secara konstitusi telah men-downgrade MPR selaku lembaga negara tertinggi menjadi lembaga tinggi setingkat MK, MA, BPK, DPR dan seterusnya. Ada beberapa implikasi negatif. Contohnya, presiden tidak lagi sebagai mandataris MPR; MPR kini tidak bisa menggelar sidang istimewa jika ada penyelewengan karena presiden tak menjalankan politik rakyat (GBHN), dan cenderung mengoperasionalkan “politik” (visi misi)-nya sendiri; pun juga aturan turunan dari UUD hasil amandemen, entah itu UU MD3, hak recall ataupun mekanisme PAW, ini membuat anggota parlemen seperti “petugas partai,” bukan seperti wakil rakyat, sebab nyaris tidak berani lantang berteriak atas nama rakyat karena takut di-PAW, khawatir di-recall. Apalagi jika aspirasi yang dibawa bertabrakan dengan kebijakan partai. Praktis, yang berkuasa dalam sistem ini sebenarnya adalah ketua partai, sedang mereka pun (kebanyakan) bersandar kepada pemilik modal;
Kerugian III: one man one vote dianggap sebagai modus (asing) membelah bangsa. Kenapa? Manakala digelar pilkada, misalnya, apalagi pilpres, seketika rakyat langsung terbelah. Pro ini, pro itu. Bahkan ketika hajatan telah usai, kegaduhan masih berlanjut dengan tema baru. Sepertinya ada (upaya) permanenisasi konflik melalui influecer yang diternak, dipelihara, kemudian dibentur-benturkan antarbuzzer satu dan lainnya. Modusnya mirip di “negeri panggung”-nya Geertz, yakni buzzer dipelihara guna mendramatisir narasi, persepsi, simbolisme dan seterusnya. Dampak yang terlihat secara langsung adalah, rasa kesatuan dan persatuan bangsa menjadi ringkih, rapuh, bahkan nyaris jatuh di titik nadir.
Sampailah pada simpulan catatan kecil ini. Ya, simpulan bukan ringkasan, tetapi butiran yang diambil dari diskusi-diskusi di atas meski (barangkali) masih prematur, antara lain:
Pertama, bahwa democracy membidani pemimpin dan kepemimpinan yang tak mandiri lagi tidak berdaulat (“boneka”);
Kedua, democracy menciptakan sistem koruptif, terutama korupsi kebijakan. Ini lebih berbahaya ketimbang korupsi (duit) APBN. Karena melalui kebijakan yang berpihak, selain penyimpangannya sulit disidik secara lazim, juga korupsi kian kompetitif dan akumulatif karena berlindung di balik kebijakan;
Ketiga, yang diuntungkan dengan model democracy di negeri panggung ialah pemilik modal (korporasi). Katakanlah, di awal ia menabur Rp 8 triliun, tetapi 5 tahun ke depannya bisa meraup ratusan bahkan ribuan triliun rupiah melalui berbagai “kebijakan”.
Inilah fenomena democracy yang kerap berlangsung di negeri panggung, terutama di era simulakra. Entah hingga kapan.
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com