Menangkal AUKUS, Indonesia dan ASEAN Harus Kembali Pada Komitmen ZOPFAN 1971 dan TAC 1976

Bagikan artikel ini

Sulit disangkal, bahwa terbentuknya persekutuan tiga negara (Australia, Inggris dan Amerika Serikat) ditujukan untuk menghadapi kekuatan angkatan bersenjata Cina yang semakin menguat di Asia Pasifik dalam beberapa tahun terakhir ini. Sehingga muncul kekhawatiran di kalangan negara-negara di kawasan Asia Tenggara, bahwa Cina pada perkembangannya juga akan semakin meningkatkan postur pertahananya yang lebih agresif, untuk merespons agresivitas AS, Inggris dan deputi sherifnya di Asia Pasifik, Australia.

Dalam skenario yang lebih buruk lagi, bukan tidak mungkin pemerintah Cina akan membatalkan janjinya untuk tidak menjadi pihak yang pertama menggunakan senjatanya nuklirnya, jika meletus perang di kawasan Asia Pasifik. Dengan demikian, perlombaan dan proliferasi persenjataan nuklir antara AS dan sekutu-sekutunya maupun Cina, akan semakin meningkat di Asia Tenggara, dan Asia Pasifik pada umumnya.

Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN sangat logis untuk merasa khawatir, apalagi dihadapkan pada fakta bahwa Australia memiliki kapal selam bertenaga nuklir.

.

Pada tataran ini, Indonesia dan ASEAN harus secara serius melibatkan seluruh stakeholders atau pemangku kepentingan kebijakan luar negeri, pertahanan maupun politik-keamanan, untuk membahas dan melakukan langkah-langkah strategis untuk menciptakan stabilitas dan keamanan regional di Asia Tenggara. Mengingat fakta bahwa lokasi geografis Australia berdekatan dengan kawasan Indop-Pasifik.

Masalahnya adalah, adanya perbedaan pandangan dan strategi di kalangan negara-negara ASEAN dalam merespons pembentukan AUKUS, maka menyatukan pandangan menuju tercapainya konsensus ASEAN merupakan sebuah keharusan. Indonesia dan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN bukan saja harus memandang dirinya sebagai kekuatan netral dan mandiri, melainkan juga harus tampil sebagai kekuatan ketiga yang mampu memediasi antara AS dan blok NATO maupun Cina.

Untuk merealisasikan hal tersebut, ASEAN sebagai perhimpunan negara-negara Asia Tenggara jika kita telaah kesejarahannya, sedari awal memang ditujukan supaya menjadi kekuatan regional yang mandiri.

 

Kembali ke Spirit Deklarasi Kuala Lumpur 27 November 1971

Gagasan untuk menjadikan kawasan Asia ATenggara sebagai suatu zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN), telah disepakati bersama oleh negara-negara ASEAN Dalam Deklarasi Kuala Lumpur tertanggal 27 November 1971. Seperti dituturkan oleh Roeslan Abdulgani dalam bukunya bertajuk Asia Tenggara di Tengah Raksasa Dunia, Deklarasi Kuala Lumpur didahului dengan referensi kepada semangat Dasa Sila Bandung April 1955, dengan bertumpu pada prinsip-prinsip Peaceful Co-Existence, yang mana kemudian ditutup dengan ketegasan pentingnya dari para anggota ASEAN agar Asia Tenggara bebas dari segala macam bentuk campur tangan dari negara asing (free from any form or manners of interference by outside Powers).

Pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN pada 23-25 Februari 1976 yang berlangsung di Bali, Indonesia, telah dihasilkan dua dokumen sebagai kelanjutan dari Deklarasi Kuala Lumpur, yaitu:

 

  1. Declaration of ASEAN Concord.
  2. Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia(Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara).

 

Maka dalam Deklarasi ASEAN Concord tersebut, Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya, merasa perlu menegaskan bahwa negara-negara anggota, secara individual dan kolektif, akan mengambil tindakan aktif untuk pembentukan selekas mungkin Zona Damai, Bebas dan Netral. Bahkan dalam KTT ASEAN Bali itu, juga ditegaskan bahwa di bidang politik akan ditegaskan akan ada aksi bersama dalam kerangka ASEAN. Dalam deklarasi tersebut ditegaskan: “Mempertimbangkan segera tindakan-tindakan permulaan agar Zona Damai, Bebas dan Netral diakui dan dihormati.”

Berdasarkan rangkaian sejak KTT ASEAN 1971 maupun KTT ASEAN 1976, ada benang merah yang sangat penting untuk jadi rujukan Indonesia dan negara-negara ASEAN dalam merespons semakin menajamnya persaingan AS dan Cina sebagai dua kekuatan negara adikuasa saat ini. Bahwa pada KTT ASEAN 1971 berhasil menyepakati bahwa Asia Tenggara merupakan Kawasan Damai, Bebas dan Netral (Zone Peace, Freedom, and Neutrality, ZOPFAN).

Baca juga:

Indonesia dan ASEAN Harus Mempertahankan Deklarasi Bangkok 1967 dan Deklarasi ZOPFAN 1971

 

Adapun pada KTT ASEAN Pada 1976 kelima negara ASEAN tersebut berhasil menyepakati Traktat Persahabatan dan Kerja Sama (Treaty of Amity and Cooperation, TAC), sebagai panduan bagi negara-negara ASEAN untuk hidup berdampingan secara damai. Berdasarkan kedua  piagam tersebut, ASEAN mencapai keberhasilan di bidang kerjasama politik untuk mewujudkan dirinya sebagai kekuatan kolektif Asia Tenggara yang bebas dari campur tangan negara-negara asing.

Sejalan dengan Azas Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif

Bagi Indonesia, untuk berkomitmen pada ZOPFAN bukan hal yang terlalu sulit, karena sejak awal kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia sudah merumuskan politik luar negerinya sebagai politik perdamaian, yang hendak kita capai secara mandiri, percaya pada kekuatan sendiri, tanpa a priori menolak bantuan apalagi kerjasama dari negara lain. Maka rumusan politik luar negeri RI adalah “politik bebas dan aktif berdasarkan kepentingan nasional.”

Peran kepeloporan Indonesia dalam menggalang kerjasama antar negara-negara Asia dan Afrika dalam Konferensi Asia-Afrika Bandung 1955 maupun Gerakan Nonblok di Beograd pada 1961, merupakan realisasi dari pelaksanaan azas politik luar negeri RI bebas dan aktif tersebut.

Sebab dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah ditegaskan bahwa kewajiban Pemerintah Indonesia adalah:

“Ikut serta melaksanakan ketertiban duinia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Sehubungan dengan kerangka politik luar negeri RI yang bebas dan aktif maupun amanah dari Pembukaan UUD 1945, kiranya visi-misi nasional Indonesia dalam bidang politik luar negeri tercermin dan tercakup pula dalam kata-kata Damai, Bebas dan Netral demi terciptanya Zona tersebut di Asia Tenggara.

Kepada negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia selain harus mengingatkan kembali komitmen bersama yang dirumuskan oleh para founding fathers ASEAN terkait ZOPFAN maupun TAC, juga perlu kembali menegaskan spirit di balik konsepsi ZOPFAN maupun TAC tersebut. Bahwa jika kemerdekaan nasional masing-masing negara ASEAN terancam, baik oleh sebab kolonialisme klasik mapun Neokolonialisme dalam berbagai bentuk baru dan manifestasinya yang beranegaragam, maka secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama sebagai kekuatan regional ASEAN, wajib membela membela kemerdekaan nasionalnya dengan segala jalan dan cara yang ada pada kita.

Dalam hal Indonesia, sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, bangsa Indonesia telah menegaskan:

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu , maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan.”

Terbentuknya persekutuan AUKUS Australia, Inggris dan Amerika Serikat yang berpotensi terciptanya proliferasi dan meningkatnya perlombaan senjata nuklir di Asia Tenggara, terkandung niat buruk untuk menyeret negara-negara Asia Tenggara utamanya ASEAN, untuk bergabung ke salah satu kubu negara adikuasa. Sehingga negara-negara ASEAN dengan mudah akan dipecahbelah, lantas kemudian menjadi negara-negara yang tidak bebas dan tidak netral.

Maka itu, Indonesia dengan modalitas dan reputasinya sebagai negara yang pernah memelopori KAA Bandung 1955, Gerakan Nonblok Beograd 1961, maupun keluarnya Deklarasi  KTT ASEAN 1971 dan 1976 tentang ZOPFAN dan TAC, wajib untuk kali kesekian mendorong kembali ASEAN sebagai kawasan Damai, Bebas dan Netral. Bebas dari campurtangan dan keterlibatan negara-negara adikuasa dalam mendikte kepentingan nasional masing-masing negara ASEAN.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute.

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com