Menaksir Geliat Amerika Pasca Trump

Bagikan artikel ini
Sebuah Clue Kecil
Koneksi antara Amerika (AS) dengan Cina di masa kepemimpinan Donald Trump memiliki ikatan sangat rapuh lagi buruk. Hal ini ditandai berbagai friksi baik dalam hal perdagangan —trade war— misalnya, atau kompetisi teknologi (IT), persaingan (perebutan) hegemoni di pelbagai belahan dunia khususnya di Asia Pasifik, atau kisruh di Hongkong, termasuk (peperangan narasi) soal Corona-19 pada awal pandemi yang berupa tebar narasi saling tuding siapa pembuat serta penyebar virus.
Pertanyaannya sekarang, apakah hal-hal di atas akan diperbaiki oleh Joe Biden atau justru dipertebal?
Melambung sejenak. Dengan mencermati trend selama ini, geopolitik menaksir bahwa di era Biden kelak, isu-isu semacam terorisme, radikalisme dan lain-lain yang bermenu sektarian bakal turun drastis di satu sisi, sebaliknya paket DHL (Demokrasi, HAM, Lingkungan) akan menguat di permukaan sebagai isu aktual khususnya tentang kesetaraan gender (LGBT), lingkungan, dan isu hak-hak asasi/kemerdekaan pada sisi lain. Artinya, bila di era Biden terjadi peledakan bom, misalnya, dimungkinkan bukan ulah jaringan teroris lazimnya, namun berasal dari kelompok kepentingan lain yang sifatnya sporadis serta bermotif politik praktis. Mereka cuma menumpang di modus saja. Atau, bagi kelompok separatis yang ingin pisah diri dari negara induk —di era Biden— akan menguat serta menemukan momentum. Ini perlu diwaspadai bersama, terutama negara-negara yang memiliki persoalan internal terkait what lies beneath the surface. Apa yang terkandung di bawah permukaan.
Kilas balik sedikit. Bahwa lajunya power concept Cina di lentera geopolitik terutama power ekonomi dan militer, sebenarnya selain disebabkan para pemodal AS —globalis cabal— banyak menanam kapitalnya di Cina, juga karena faktor “pembiaran” di masa Obama.
Tak boleh dipungkiri, pola kebijakan Partai Demokrat melalui presiden pilihannya cenderung berorientasi soft power/smart power ketimbang hard power (kekuatan militer). Kenapa? Sebab Partai Demokrat di-back up oleh non-state actors berbasis kartel atau korporasi yang bergerak pada industri asuransi, inovasi, asuransi, IT, kesehatan dan/atau farmasi. Ini berbeda dengan Partai Republik yang banyak didukung industri berat bidang pertahanan, properti, SDA, judi dan lainnya.
Intinya begini, bahwa dalam dogma Partai Republik dengan segala modusnya berupaya meyakinkan publik bahwa dunia harus membutuhkan AS sebagai “polisi dunia”, itu yang ingin digapai oleh Partai Republik; sedang doktrin smart power Partai Demokrat menyikapi hubungan antarnegara justru sebagai “mitra kerja”.
Gilirannya (di era Obama), ketika Cina membangun pangkalan militer di Kepulauan Sprartly, hampir tidak ada upaya pencegahan secara signifikan oleh AS, padahal waktu itu prioritas kebijakan Obama adalah menggeser 60% armada lautnya ke Asia Pasifik. Apakah Obama lemah atau takut? Tidak. Itu cuma salah satu ujud pembiaran atas nama mitra kerja sebagaimana sekilas diurai tadi.
Retorikanya adalah, apakah pembiaran di era Obama karena faktor “timbal balik” dibukanya kran investasi bagi kaum globalis oleh Cina yang notabene adalah pendukung Partai Demokrat?
Pantas saja di era Trump dengan visi Make America Great Again cq American First dirasakan merugikan kaum globalis dimana kapital mereka yang ditanam di luar, disuruh balik kembali. American First merupakan “baju nasionalisme” ala AS pada satu sisi, namun malah menimbulkan friksi internal di kalangan non-state actors di sisi lain. Itu sudah jamak di dunia (geo) politik.
Menurut ramalan, atmosfer geopolitik pada era Biden bakal menurun tensinya ketimbang di era Trump, khususnya hubungan Cina-AS akan kembali menggeliat. Namun namanya juga ramalan, boleh percaya – boleh tidak. Masih perlu dikaji dan diuji. Sekurang – kurangnya, ada beberapa clue yang layak dicermati untuk melihat fluktuasi hubungan kedua adidaya, antara lain sebagai berikut:
1) apakah skenario trade war dengan segala modusnya bakal tutup buku, atau terus dilanjutkan;
2) apakah Huawei diperbolehkan kembali masuk ke Paman Sam;
3) apakah Hongkong akan “lepas” dan benar-benar dalam kendali Cina secara penuh?
Menaksir langkah Amerika di era Biden tidak sesederhana itu, memang, masih banyak clue lain yang harus di-breakdown. Akan tetapi, melihat fluktuatif hubungan keduanya dalam jangka pendek, kiranya melalui tiga clue tadi dirasa cukup serta bisa dijadikan petunjuk awal.
Sebagai catatan khusus, yang mutlak dicermati justru ketika kelak muncul apa yang disebut dengan istilah “persenyawaan hegemoni” antara kedua adidaya dalam menyasar sebuah target (negara) tertentu. Hal ini akan menimbulkan situasi super gaduh, oleh sebab negeri target bukan cuma medan tempur (proxy war), tetapi menjadi negeri “bancaan” keduanya.
Nah, jika skenario bancaan yang muncul via persenyawaan hegemoni maka publik bakal gemuruh dengan kegaduhan yang sifatnya residu alias ecek-ecek di hilir persoalan bangsa, miskin substansi, cuma deception — juga kegaduhan tersebut tak menyentuh kepentingan nasional si calon (negara) korban.
Katanya sich, itu jurus kuno: “Mengecoh langit menyeberangi lautan!”
End
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com