Mencari Satria Piningit Dalam Tumpukan Jerami

Bagikan artikel ini
Tanggapan atas Dinamika Debat Capres/Cawapres 2024
Perdebatan tentang sistem dan kepemimpinan baik di dunia intelektual maupun pada kalangan spiritual mengerucut pada topik, “Siapa prioritas dan mana lebih dahulu antara sosok (pemimpin) yang baik, atau sistemnya dulu harus baik?” Syukur-syukur keduanya datang bersamaan. Tapi, itu sangat ideal. Mungkin kini tinggal di awang-awang, meski dulu pernah terjadi.
Mari kita turun di alam ramai. Dunia nyata. Ya. Di era modern, sejak runtuhnya Turki Utsmaniyah (1299-1453) —ini salah satu contoh— karena disusupi sekulerisme lewat ‘proxy‘-nya Barat yaitu Mustafa Kemal Ataturk, hingga kini nyaris sulit ditemui sosok dan sistem yang mampu bertahan lama. Perulangan mungkin ada di negara-negara tertentu yang getol serta mati-matian memperjuangkan Kepentingan Nasionalnya melalui ‘sistem terbaik’ versi mereka sendiri, atau ala perspektif masing-masing negara.
Berbasis prolog di atas, pararel dengan mitos yang berkembang di republik ini soal Imam Mahdi atau Satria Piningit, contohnya, pertanyaan filosofi menyeruak, “Imam Mahdi atau Satria Piningit itu sosok (pemimpin yang dinanti-nanti), atau merupakan ujud dari sebuah sistem kenegaraan yang baik?”
Analogi jawabannya simpel, “Malaikat pun bila menjadi pemimpin dalam sistem yang buruk maka output dan outcome-nya pasti buruk.” Mengapa? Sebab, ia hanya menjalankan sebuah sistem. GIGO. Garbage In Garbage Out. Sampah masuk, sampah yang keluar. Kecuali, jika sebelumnya ia mengubah dahulu sistem yang buruk menjadi sistem baik. Itu permulaan. Bagaimana sistem yang baik? Poin dan muaranya ialah keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. “Sebuah negeri yang makmur dan damai”. Demikian tafsir bebasnya.
Katakanlah, seandainya Satria Piningit datang melalui ‘dinamika Pemilu 2024’, akankah ia mampu mengubah situasi dan bisa membawa bangsa ini meraih Indonesia Emas 2045?
Saya tidak yakin. Ya, apabila sistemnya masìh memakai UUD NRI 1945 hasil amandemen empat kali (1999-2002) alias UUD 2002, sekalipun Satria Piningit yang terpilih, ia bisa berubah jadi Satrio Kecepit. Ora duwe duit. Dan visi Indonesia Emas, malah menjadi Indonesia Cemas!
Kenapa demikian?
Selain sistem politik sekarang —terutama model Pilpres secara langsung— hanya menghasilkan sosok politisi, bukan negarawan. Politisi hanya berpikir next election, bukan next generation. Dan yang berkuasa nantinya justru sang dalang dalam hal ini ialah oligarki politik dan oligarki ekonomi. Jadi, sistem buruk (UUD 2002) bakal menghasilkan sosok yang ‘buruk’ pula.
Indikasinya apa? Untuk menyingkat catatan ini, cukup dua indikasi diketengahkan, antara lain:
Pertama, secara formal, ini akibat implikasi Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 hasil amandemen. Bunyinya:
Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum“.
Apa artinya? Kedaulatan rakyat sudah tidak ada. Kedaulatan rakyat telah dibajak oleh partai politik. Rakyat tak lagi berdaulat. Yang menentukan pimpinan nasional justru partai politik cq ketua umum partai yang lolos di Senayan.
Kedua, indikasi informalnya terlihat pada tahapan Debat Capres/Cawapres, dimana substansi debat justru didominasi materi saling jebak, misalnya, atau saling ejek, teknis, ataupun saling serang antarpeserta lagi dipenuhi atmosfer nir-etika. Sing tuwo ora ngerti tuwone, sing nom kurang tata kramane. Ingat prinsip diplomasi global: jangan menyerang; jangan menyebut nama; dan jangan mempermalukan.
Silakan direnungkan apa yang berlangsung dalam rangkaian debat capres/cawapres 2024, bahwa hampir seluruh pakem global dan nilai lokal justru ditabrak. Nyaris tuna etika. Yang berlangsung bukanlah mengajukan pertanyaan, tetapi sengaja membangun absurditas. Ini khas gaya Kaum Sofis di abad ke-5 SM. Mereka berdebat tanpa definisi dan logika. Bener e dewe. Karepe dewe. Sekali lagi, nir-etika.
Merujuk judul tulisan ini, bahwa menemukan Satria Piningit ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Sulit. Mampukah bangsa ini menemukan Satria Piningit melalui sistem liberal berbasis Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 yang ternyata para capres/cawapres cuma ditentukan oleh ketua umum sembilan partai politik (oligarki politik); sedangkan oligarki politik, kuat diduga bersandar pada oligarki ekonomi (sembilan naga dkk) dalam hal pembiayaan operasional politiknya.
Pada rezim UUD 2002 ini, terdeteksi ada peran cukup besar dari para oligarki politik dan oligarki ekonomi dalam Pemilu. Ini terlihat jelas. Pertanyaan pamungkasnya, “Bagaimana mengeliminir peran oligarki politik dan ekonomi dalam Pemilu, kemudian membalikkan kedaulatan kembali di tangan rakyat?”
Jawabannya tidak to the point, tetapi melipir sebentar. Ya. Seandainya MPR didudukkan kembali sebagai Lembaga Tertinggi Negara, tidak mungkin ada acara debat dalam Pilpres yang justru memperdalam keterbelahan sosial (social enclave) terutama di antara pendukung masing-masing di akar rumput.
Seandainya MPR kembali sebagai Lembaga Tertinggi Negara, yang ada hanyalah musyawarah —ini nilai agung warisan leluhur yang dicampakkan— yang merajut persatuan, yang saling menguatkan nilai kesatuan, dan lainnya. Kalau pun timbul konflik, wajar, namun tidak melibatkan rakyat secara masif. Kegaduhan politik terlokalisir di gedung MPR. Tidak menjalar di jalanan. Tak ada amuk massa.
Para capres/cawapren pun terseleksi secara ketat. Tidak mungkin sosok berlumuran kasus bisa lolos. Tak ada pencitraan yang memakan biaya besar. Tidak ada framing media dan fabrikasi lembaga survei. Dan yang paling pokok, bahwa kedaulatan rakyat kembali berdaya untuk menemukan jarum dalam tumpukan jerami.
Maka sebaik-baiknya peta jalan bagi bangsa ini, adalah kembali ke UUD 1945 Naskah Asli, sesuai rumusan the Founding Fathers.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com