Mencari Solusi Damai Korea Selatan-Korea Utara Diilhami oleh Dasa Sila Bandung 1955

Bagikan artikel ini

Faktor pemantik ketegangan antara Korea Utara versus Korea Selatan yang menyeret campur-tangan Amerika Serikat adalah tenggelamnya kapal perang Cheonan milik Korea Selatan. Begitupun, insiden tersebut hanya sekadar triggering factor bagi Amerika Serikat untuk menekan secara lebih keras seraya memojokkan Korea Utara.

Apalagi ketika Korea Utara pada perkembangannya kemudian menuding AS telah melakukan kejahatan terorganisir melalui dukungan anasir-anasirnya di Korea Selatan. Tujuannya, memprovokasi ketegangan politik di kalangan negara-negara kawasan. Sehingga penyikapan dan manuver AS tersebut bisa dipandang mengabaikan Korea Utara sebagai negara-bangsa yang berdaulat.
Setidaknya ada dua isu yang senantiasa dilontarkan pihak Washington untuk memojokkan Korea Utara. Pertama, Korea Utara telah melakukan pelanggaran Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) yang cukup serius terhadap warga masyarakatnya serta mengancam perdamaian dan ketengangan negara tetangganya, khususnya Korea Selatan.
Kedua, Korea Utara berusaha terus menciptakan instabilitas politik di Semenanjung Korea pada khususnyak, dan kawasan Asia Timur pada umumnya, dengan meningkatkan secara terus-menerus kemampuan persenjataan nuklirnya pada skala maksimum.
Bagi Korea Utara, sikap AS tersebut sangat tidak adil dan sepihak. Betapa tidak. Praktis hampir enam dekade Korea Selatan berada di bawah perlindungan dan kendali pengaruh AS. Maka dari itu dari sudut pandang Korea Utara, sangatlah masuk akal jika peningkatan kemampuan industri strategis pertahanan maupun persenjataan nuklir negaranya semata-mata ditujukan untuk mempertahankan diri dari kemungkinan serangan militer bersama antara Korea Selatan dan AS.
Baik terkait pelanggaran HAM maupun kepemilikan persenjataan nuklir, AS memang selalu menerapkan kebijakan standar ganda. Terhadap Korea Selatan maupun Jepang yang notabene merupakan sekutu-sekutu strategisnya sejak berakhirnya Perang Dunia II dan dimulainya era Perang Dingin, AS cenderung setuju dan mendukung sepenuhnya kesepakatan rahasia mengenai kepemilikan persenjataan nuklir Jepang maupun Korea Selatan.
Bahkan tidak sampai di situ saja. Keputusan AS dan Korea Selatan untuk penempatan sistem anti rudal di Korea Selatan, secara terang-benderang dialamatkan kepada Korea Utara dan Republik Rakyat Cina (RRC). Meskipun AS berdalih bahwa penempatan sistem anti rudal dan seluruh peralatan militernya dimaksudkan untuk mengantisipasi ancaman yang semakin meningkat dari pihak Korea Utara dan RRC.
Berbagai studi mengenai konflik Korea Utara versus Korea Selatan, telah membuktikan bahwa dalam kurun waktu 60 tahun terakhir, Washington mempunyai andil besar dalam menciptakan isolasi politik terhadap Korea Utara. Misalnya saja dengan berusaha melalui berbagai cara dan sarana yang ada, untuk mengacaukan perekonomian nasional Korea Utara. Termasuk menghancurkan pusat-pusat industri dan pertanian Korea Utara. Sehingga berbagai upaya diplomasi kearah reunifikasi Korea selalu gagal total.
Hal ini tiada lain karena kepentingan AS, terbelahnya Korea Utara maupun Korea Selatan dipandang jauh lebih baik karena dengan begitu Washington bisa tetap mempertahankan pengaruhnya terhadap Korea Selatan. Kehadiran militer AS di Korea Selatan dalam skala yang cukup besar, pada perkembangannya negara Paman Sam itu juga berhasil mengendalikan kebijakan ekonomi dan keuangannya berdasarkan skema Washington Consensus yang berhaluan liberalism.
Korea Pasca Perang Dunia II   
Jika kita menelisik ke belakang khususnya menyusul berakhirnya Perang Dunia II yang ditandai dengan kekalahan Jepang di Asia Pasifik, maka di sinilah muasal konflik di semenanjung Korea bermula. Berakhirnya Perang Dunia II dan kekalahan militer Jepang terhadap Sekutu pada Agustus 1945, maka berakhir pula penjajahan 35 tahun Jepang di bumi Korea.
Namun, mengingat komitmen antara Amerika Serikat, Inggris dan Uni Soviet yang kebetulan menjalin persekutuan strategis menghadapi fasisme Jerman di Eropa dan fasisme Jepang di kawasan Asia Pasifik, maka berakhirnya Perang Dunia II justru membuka babakan baru dari konflik di Semenanjung Korea. Karena Korea kemudian menjadi sasaran perebutan pengaruh antara AS versus Uni Soviet. Meskipun pada dasarnya rakyat Korea secepatnya ingin membentuk negara sendiri yang berdaulat menyusul kekalahan Jepang terhadap sekutu dan berakhirnya Perang Dunia II.
Kalau menyimak studi yang dilakukan oleh Frasminggi Kamasa, dalam bukunya Perang Korea, Tragedi Terbelahnya Semenanjung Korea Dalam Perang Yang Belum Selesai (yang menjadi salah satu bahan untuk mengolah tulisan ini), AS maupun Uni Soviet memang punya andil besar terhadap lepasnya Korea dari pendudukan tentara Jepang. Sehingga terkait Hari Pembebasan Korea ada dua versi kisah yang saling bertentangan. Pada satu pihak, 15 Agustus 1945 diperingati sebagai Hari Pembebasan Korea, karena ini bertepatan dengan hari di mana Komandan Jepang mengumumkan kapitulasi pasukannya di Korea. Namun fakta yang sama menunjukkan, bahwa pada tanggal ini, Korea Utara masih belum dibebaskan sepenuhnya dari genggaman Jepang.
Pasukan penerjun payung Uni Soviet dari Tentara ke-25 membebaskan Hamhing dan Pyongyang pada tanggal 24 Agustus 1945. Namun demikian, sudah menjadi keputusan para pimpinan nasional Korea bahwa Hari Pembebasan adalah tanggal 15 Agustus 1945, maka Hari Pembebasan Korea tetap merujuk pada kapitulasi pasukan Jepang di Korea.
Maka pada 15 Agustus 1945, Komandan Tentara Soviet ke-25 kepada Rakyat Korea yang masih belum dibebaskan sepenuhnya dipublikasikan. Secara khusus ia mengumumkan:
“Rakyat Korea! Ingat kebahagiaan terletak di tangan kalian. Kalian menemukan kemerdekaan dan kebebasan, dan sekarang masa depan tergantung pada dirimu sendiri. Tentara Soviet hanya menyediakan berbagai kondisi yang diperlukan untuk kebebasan dan kreativitas tenaga kerja rakyat Korea. Rakyat Korea akan menjadi tuan atas nasibnya sendiri.”
Berdasarkan laporan Komandan Soviet diketahui bahwa Tentara ke-25 berhasil melucuti dan menangkap 11.800 tentara dan perwira Jepang.
Namun demikian, melihat gelagat pengaruh Soviet yang cukup besar menyusul keberhasilannya membebaskan Pyongyang dan Hamhung pada 24 Agustus 1945, AS lalu melakukan manuver politik-militer dengan anggapan bahwa Uni Soviet bermaksud menduduki Korea sehingga lebih baik bagi AS untuk melakukan gerakan mendahului. Maka, Letjen John R Hodge, Komandan Korps XXIV di Okinawa yang terdiri dari Divisi Infantri ke-6 dan ke-7 serta ke-40 dengan jumlah total sebesar 72 ribu pasukan, ditugaskan sebagai pasukan pendudukan (Okupasi) Korea. Pasukan ini tiba di Pelabuhan Inchon dan langsung menuju Seoul pada 8 September 1945.
Nampaknya, dari awal AS memang bermaksud menguasai Korea dengan memakai dalih untuk mendahului Soviet. Terbukti setelah menerima penyerahan pasukan Jepang, pasukan AS segera menguasai Korea melalui dibentuknya pemerintahan militer. Dalih yang digunakan Washington dari tujuan kebijakan okupasi militer AS di Korea adalah untuk membendung pengaruh dan perluasan kekuasaan Soviet di Korea.
Namun sejatinya, skema Perwalian Multinasional atas Korea hanya dalih Washington untuk membentuk kebijakan militer yang permanen (tetap) di Korea. Sebagaimana yang dinyatakan oleh John Carter Vincent, Kepala Urusan Timur Jauh Departemen Luar Negeri AS: “Setelah masa penjajahan Jepang, Korea tidak langsung siap untuk mengadakan pemerintahan sendiri. Untuk itu kami (AS) mengusulkan periode perwalian selama rakyat Korea akan dipersiapkan untuk mengambil-alih pemerintahan yang berdikari di Korea.”
Melalui konstruksi cerita ini jelaslah sudah, bahwa konsep perwalian multinasional itu merupakan kebijakan perwalian menurut versi AS. Dalam laporan Departemen Luar Negeri AS yang dikenal dengan SWNCC 101/4 mengenai kebijakan luar negeri AS mengenai perwalian internasional untuk Korea dinyatakan:
“Posisi strategis Korea antara Cina, Uni Soviet dan Jepang, dan instabilitas pemerintah Korea sebelum aneksasi oleh Jepang telah membuatnya menjadi arena persaingan antara Cina, Jepang dan Rusia. Jika tiadak ada kesepakatan yang cepat tercapai di antara empat besar sekutu mengenai bentuk perwalian untuk Korea, maka persaingan untuk menguasai Korea dapat berkembang lagi.”
Melalui arahan kebijakan luar negeri AS sebagaimana tersurat dalam SWNCC 101/4, nampak jelas bahwa konsepsi perwalian multinasional tersebut diarahkan oleh Washington untuk mengamankan kepentingan strategisnya di Korea.
Sebaliknya pihak Soviet, khususnya Tentara ke-25, menyusul keberhasilannya membebaskan beberapa wilayah di Korea Utara, memandang Korea semata-mata sebagai daerah operasi militer. Pada waktu itu aspek politik sama sekali tidak diperhatikan. Apalagi mengenai status Korea di masa depan.
Sehingga meskipun Soviet pun besar kemungkinan juga mempunyai agenda strategis untuk menggunakan kehadirannya militernya untuk memperluas pengaruh kekuasaannya di Korea, namun dikarenakan adanya manuver preemptive AS melalui kebijakan okupasi militer di Korea, maka manuver Soviet di Korea Utara pada perkembangannya kemudian, dilakukan atas dasar pertimbangan untuk membangun strategi perimbangan kekuatan di Semenanjung Korea.
Dan boneka AS untuk mengendalikan arah politik di Korea Selatan nampaknya siap dimunculkan. Yaitu Dr Sygman Rhee, yang tiba di Korea Selatan pada pertengahan Oktober 1945. Maka pada 24 Oktober 1945, dibentuklah pemerintahan transisi. Namun beberapa spektrum politik berhaluan nasionalis kerakyatan yang memandang Sygman Rhee sebagai boneka AS, menolak bergabung dalam koalisi partai-partai yang menjadi dasar terbentuknya pemerintahan transisi tersebut. Akibatnya, perpecahan di dalam koalisi partai-partai pendukung pemerintahan transisi pimpinan Sygman Rhee tak terhindarkan.
Singkat cerita, melalui polarisasi yang rumit antar berbagai partai-partai politik, pada perkembangannya kemdian mengerucut antara kekuatan-kekuatan politik yang mengikuti skema AS versus kelompok-kelompok yang pro Soviet. Yang kemudian mengecurut dalam pertarungan antara Park En Hen yang didukung AS versus Kim Ku yang didukung Soviet. Kubu pro AS yang awalnya pro perwalian, belakangan menolak skema perwalian atas arahan baru dari Washington yang memandang skema ini malah menguntungkan Moskow yang diasumsikan bermaksud ekspansionis di Korea.
Maka dengan dalih adanya ancaman ekspansif Soviet ke Korea, maka hal itu kemudian dijadikan alasan pembenaran bagi AS untuk menerapkan konsep penyelesaian masalah Korea secara unilateral (sepihak) dan seminimal mungkin mendapatkan kerugian. Jelas melalui pergeseran arah kebijakan dari pro Perwalian menjadi anti Perwalian, inkonsistensi Washington sangat diwarnai oleh pertimbangan apakah konsepsi tersebut menguntungkan atau justru merugikan. Begitu konsepsi Perwalian ternyata mengarah terciptanya keseimbangan kekuatan di Semanjung Korea yang tidak memungkinkan AS mencipta Kekuatan Tunggal, konsepsi Perwalian kemudian ditinggalkan dengan alasan terlalu teoritis dan tidak praktis.
Dikarenakan kebijakan unilateral yang diterapkan AS terkait penyelesaian masalah Korea, maka AS maupun Soviet sama-sama bersikeras untuk mempertahankan pendapatnya ihwal siapa wakil demokratis yang layak diajak berunding.
Pada 1950, menyusul jatuhnya RRC ke tangan Mao Zedong dan Partai Komunis Cina, maka sikap AS untuk semakin bercokol di kawasan Asia, termasuk Korea, semakin menguat. Seperti tersurat dalam kebijakan luar negeri AS melalui studi Dewan Keamanan Nasional AS(NSC 48/5):
“Arti penting dan strategis Asia adalah karena Sumberdaya Alam dan Sumberdaya Manusianya, geografi, kekuatan politik dan militer yang semakin bertambah, kemampuan militer Cina dan Korea Utara perlu dievaluasi sebagai ancaman dunia bebas. Jika hal ini terjadi rakyat Asia akan jatuh ke dominasi Komunis Soviet.”
Selanjutnya NSC 48/5 menegaskan bahwa Sumbedaya Manusia dan Sumberdaya Alam Asia berkontribusi penting bagi keamanan AS dengan membantu kebutuhan AS akan bahan-bahan mentah yang sangat dibutuhkan dan mereka akan menjadi bantuan yang terpenting di masa perang.
NSC 48/5 juga menekankan bahwa Asia menghasilkan seluruh karet alam di dunia, 5 persen minyak, 60 persen  timah, dan bahan-bahan strategis seperti mangan, goni, dan bahan-bahan pembuat atom. Juga ditekankan bahwa Jepang mempunyai prospek dalam bidang industri berat yang secara kasar menyamai 50 persen produksi Soviet masa sekarang.
Maka melalui arahan Dewan Keamanan Nasional AS, penting bagi kepentingan keamanan AS untuk menerapkan program bantuan militer dan ekonomi dengan tujuan memaksimalkan ketersediaan SDM dan SDA Asia bagi AS dan terciptanya dunia bebas.
Frase kalimat “Terciptanya Dunia Bebas” hanya sebagai isyara AS untuk memperkuat  pengaruh militernya di Jepang maupun Korea Selatan sebagai Pakta Keamanan Bersama menghadapi apa yang diklaim AS untuk melawan “Dunia Komunis.” Dengan kata lain, frase “Terciptanya Dunia Bebas” hanya untuk membangun alasan pembenaran menghadapi “Dunia Komunis” yang dalam hal ini berarti Korea Utara dan Soviet di kubu yang secara ektrim diposisikan berada di posisi yang bersebarangan. Inilah esensi sesungguhnya keluarnya NSC 48/5.
Karena gagal mencapai kesepahaman kekuatan-kekuatan politik mana yang dipandang representatif untuk membahas status dan masa depan Korea, maka terbelahnya Korea Selatan berada dalam kendali AS  versus Korea Utara yang didukung Soviet, menjadi sesuatu yang tak terelakkan lagi.
Untuk itu, perlu prakarsa baru menyelesaikan konflik Korea melalui perspektif baru dan semangat baru. Selain Korea Selatan dan Korea Utara sudah saatnya untuk kembali membuka perundingan damai dalam kerangka Reunifikasi Korea, kiranya amat penting dan mendesak untuk juga mengikutsertakan AS, Rusia, RRC dan Jepang, bersama-sama mencari solusi damai yang saling menguntungkan semua pihak.
Dan di atas itu semua, arah dari penyelesaian damai di Semenanjung Korea atas dasar Reunifikasi Korea, haruslah menguntungkan rakyat Korea secara keseluruahan, baik yang berada di Utara maupun yang ada di Selatan.
Tak ada salahnya, pemerintah Indonesia, khususnya melalui Kementerian Luar Negeri, ikut memainkan perang penting dalam memprakarsai penyelesaian damai di Semenanjung Korea. Mungkin Semangat Dasa Sila Bandung yang lahir melalui Konferensi Asia-Afrika Bandung 1955 bisa menghidupkan kembali semangat solidaritas kedua Korea sebagai sesama bangsa di kawasan Asia.
Penulis: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com