Mencermati AIESEC dan NGO-NGO Indonesia Sebagai Perpanjangan Tangan Kebijakan Luar Negeri AS dan Uni Eropa

Bagikan artikel ini

Keberadaan NGO atau Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai agen-agen proksi (proxy agents) kepentingan nasional Amerika Serikat dan negara-negara blok Barat di Indonesia, sebenarnya bukan fenomena baru. Bahkan sudah berlangsung sejak 1970an. Yang jadi pusat perhatian kali ini adalah AIESEC Indonesia, sebuah organ berstatus NGO yang sudah berdiri sejak 1984.  

Kalau menelisik gambaran resminya, AIESEC merupakan kepanjangan dari Association internationale des étudiants en sciences économiques et commerciales. Atau kalau dalam Bahasa Inggris, International Association of Students in Economic and Commercial Sciences.

Menelisik lebih lanjut, AIESEC merupakan organisasi non-profit internasional yang bertujuan mengasah leadership skill (kemampuan kepemimpinan) anak muda. Dengan pengertian bahwa tujuan AIESEC adalah untuk memberdayakan anak-anak muda agar tercipta perdamaian dan pemenuhan potensi-potensinya manusia.  Empowering young people for peace and the fulfillment of humankind potential.

Itu tujuan idealnya. Lantas bagaimana sejatinya AIESEC? Sayangnya data terkait AIESEC sangat terbatas. Di beberapa situs hanya disebut bahwa AIESEC digagas sejak 1948 atas prakarsa anak-anak muda dari tujuh negara pada Pasca Perang Dunia II. Alasannya untuk menciptakan pemahaman bersama dan menjembatani kebudayaan antar negara. Sejak 1977 kabarnya keanggotaan AIESEC sudah ada di 50 negara. Dan sudah ada lebih dari 40.000 anak muda mengikuti  program leadership development dari AIESEC. Bahkan pada 2010 lalu kabarnya sudah meningkat jadi 230.000 orang pada 2010 lalu.

 Baca:

AIESEC Indonesia: Mau Menjadi Bagian dari Generasi Muda Dunia?

Sayangnya belakangan ini santer terdengar berita yang kurang menyenangkan ihwal peran AIESEC di Indonesia. Dalam pengertian bahwa di Indonesia pemerintah Amerika Serikat telah menggunakan AIESEC cabang (chapter) Indonesia untuk melayani kepentingan nasional Washington melalui aktivitas di bidang pendidikan dan sukarelawan. Menariknya lagi, AIESEC sebagai non-government organization (NGO) punya 26 cabang di wilayah Indonesia. Terutama di Jakarta dan Pulau Jawa.

Menariknya lagi, setiap tahunnya lebih dari 20.000 warga negara Indonesia berusia antara 18 sampai 29 tahun bergabung dan ikut serta dalam berbagai proyek AIESEC.

Kalau menelisik dalam situs yang mereka kelola, AIESEC Indonesia didirikan sejak 1984 yang berpusat di Universitas Indonesia. Dan berstatus sebagai NGO. Dan memiliki hubungan konsultatif dengan he United Nations Economic and Social Council (ECOSOC), yang berafiliasi dengan UNDP dan diakui keberadaannya oleh UNESCO.

Image

Adapun AIESEC International itu sendiri terdaftar sebagai NGO berdasarkan the Canadian Not-for-profit Corporations Act-2018-02-08, Corporation Number: 1055154-6 and Quebec Business Number (NEQ) 1173457178 in Montreal, Quebec, Canada.

Dengan kata lain, AIESEC Indonesia sebagaimana tergambar di atas, sejatinya merupakan NGO berskala internasional yang daya jangkaunya cukup luas ke pelbagai negara di pelbagai kawasan.

Baca: ABOUT AIESEC

Yang perlu mendapat perhatian khusus dari para stakeholders kebijakan politik dan keamanan, termasuk di bidang politik luar negeri Indonesia, AIESEC sebagai NGO, termasuk cabangnya yang berbasis di Indonesia, telah melakukan “training” khusus untuk mempromosikan nilai-nilai budaya Barat yang dipandang sebagai nilai-nilai ideal dan berlaku universal.

Dengan dalih untuk membahas masalah bantuan kemanusiaan AIESEC maupun mitra-mitranya berupaya memaksakan agar para pemuda dan mahasiswa secara aktif menerima pandangan pro Barat dan mendukung berbagai peristiwa di dalam negeri maupun luar negeri yang sejalan dengan garis politik dan kebijakan luar negeri negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia dan sekutu-sekutu strategis lainnya.

Dengan begitu, AIESEC maupun NGO-NGO lainnya yang sejalan dengan skema kepentingan kapitalisme global AS maupun sekutu-sekutunya dari Barat, secara aktif dan intensif telah digunakan sebagai instrument untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik dalam negeri di Indonesia, maupun negara-negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) pada umumnya.

Bahkan secara manipulatif menggunakan sarana-sarana bersifat keagamaan seperti sekte agama maupun berbagai jejaring sosial dan youtube-channel AIESEC. Maksud dan tujuannya adalah tiada lain untuk mendorong kaum pemuda dan mahasiswa melancarkan aksi-aksi anti-pemerintah atas dasar tesis “pentingnya pertanggungjawaban kewarganegaraan”. Yang mana setiap warga negara harus berjuang demi penegakan demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Yang mana tersirat di balik jargon tersebut adalah untuk mempromosikan supremasi Amerika Serikat di di dunia internasional. Seraya mendorong dan mendukung munculnya tokoh-tokoh nasional yang pro Amerika. Dan bilamana perlu didorong untuk menjadi tokoh-tokoh politik oposisi terhadap pemerintahan yang sedang berkuasa.

AIESEC FUTURE LEADER SUMMER PEAK by AIESEC in UNTAN 2023

AIESEC yang berfokus menggalang dukungan dari kalangan pemuda dan mahasiswa, pada perkembangannya kemudian mengajak para anggota baru NGO tersebut untuk mendapat kesempatan studi di luar negeri di pelbagai perguruan tinggi ternama di Amerika maupun Eropa. Dengan syarat bersedia secara aktif untuk ikut serta mendukung dan membantu semua aktivitas yang diselenggarakan AIESEC pada tingkatan cabang di negaranya masing-masing. Dengan pengertian mendukung secara pro aktif agenda dan program-program yang diprakarsai AIESEC maupun organ-organ mitra lainnya yang sehaluan.

Berbicara mengenai peran dan aktivitas International Funding maupun NGO seperti AIESEC tersebut di atas, muncul sebuah pertanyaan penting dan strategis: Apa agenda strategis Amerika Serikat maupun blok Barat di balik dukungan terhadap NGO seperti AIESEC tersebut di atas? Salah satunya adalah Mempromosikan Paham Neoliberalisme khususnya di bidang Politik dan Ekonomi.

Intisari dari paham neoliberalisme adalah menekankan pentingnya membatasi peran negara dengan dalih agar tidak merusak kebebasan warga negara, padahal agenda tersembunyinya adalah mendukung diberlakukannya kedaulatan pasar untuk mengatur kehidupan ekonomi, yang pada perkembangannya kemudian pengaruh pasar diperluas tidak saja untuk mengatur kehidupan ekonomi, melainkan juga mengatur bidang politik seperti tata-kelola pemerintahan dan hubungan sosial.

Konsepsi baru yang bertumpu pada paham neoliberalisme tersebut mulai mendapat dukungan kuat di Amerika sejak pemerintahan Ronald Reagan pada 1981-1989 dan di Inggris sejak pemerintahan Margaret Thatcher pada 1979-1990.

Menariknya, para penyebar paham neoliberalisme tidak saja melalui Bank Dunia dan Badan Moneter Internasional (IMF), melainkan juga lewat NGO. Dengan dalih bahwa lembaga-lembaga resmi pemerintahan tidak bisa dipercaya dalam menyalurkan pinjaman luar negeri yang dikucurkan Bank Dunia, IMF maupun negara-negara kreditur seperti AS dan Uni Eropa, maka dijalinlah hubungan dengan NGO atas dasar skema yang lebih luwes.

Seperti digambarkan secara komprehensif oleh As’ad Said Ali, mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) dalam bukunya bertajuk Pergolakan Di Jantung Tradisi, NU yang Saya Amati, mulanya lembaga-lembaga keuangan dunia tersebut menunjukkan keprihatinannya terhadap berbagai masalah sosial-ekonomi yang dialami negara berkembang. Mereka melakukan riset terhadap masalah-masalah kemiskinan, pengangguran, kesehatan, dan sejenisnya. Masalahnya kemudian, sebagaimana pengamatan Pak As’ad Said Ali, agenda yang diusung Bank Dunia maupun IMF tidak selamanya mencerminkan kepentingan negara berkembang.

Secara terbuka maupun tersamar, kedua badan keuangan dunia tersebut menanamkan gagasan neoliberalisme politik dan ekonomi seperti pentingnya liberalisasi pasar bebas. Padahal gagasan semacam ini sudah ditentang keras bahkan sejak awal Indonesia merdeka, maupun negara-negara berkembang lainnya. Menurut As.ad Said Ali, melalui hubungan government to government, liberalisasi pasar bebas ditempelkan melalui program bantuan utang luar negeri. Sedangkan melalui hubungannya dengan NGO-NGO Indonesia, maka program yang didesain adalah sosialisasi terhadap gagasan demokratisasi atau hak-hak asasi manusia (HAM). Yang secara tersirat dimaksudkan untuk mendukung liberalisasi ekonomi.

Program pemberdayaan masyarakat miskin memang merupakan kebutuhan banyak negara berkembang termasuk Indonesia. Namun seperti juga pengamatan As’ad Ali yang punya jam terbang cukup lama di bidang intelijen sejak awal 1970an, badan-badan internasional tersebut tidak pernah memasukkan isu redistribusi aset dan pemecahan problem kemiskinan struktural masyarakat Indonesia dalam agenda pemberdayaan masyarakat miskin sebagai program bantuan pada NGO Indonesia maupun negara-negara berkembang lainnya.

Proyek pemberdayaan masyarakat miskin yang hanya sebatas lingkup mikro seperti penanaman semangat wiraswasta dan membuka akses terhadap lembaga keuangan dan pasar. Bahkan agenda strategis Amerika semakin nampak jelas pada decade 1990-an ketika Bill Clinton menjadi presiden AS. Semasa Clinton, NGO Indonesia banyak mendapat bantuan untuk program isu demokratisasi, HAM dan Lingkungan Hidup. Dan sewaktu meletus serangan teroris terhadap World Trade Center pada 11 September 2001, agenda bantuan terhadap NGO beralih ke isu pluralisme, toleransi, dan penangangan konflik dan sejenisnya. Namun hakekatnya sama, NGO digunakan sebagai sarana mendukung dan mempromosikan agenda-agenda strategis AS dan Uni Eropa untuk mempromosikan liberalisasi pasar bebas atau supremasi AS sebagai satu-satunya polisi dunia.

Adapun bantuan International Funding atau lembaga donor dari Eropa kepada NGO-NGO mitra strategisnya di Indonesia antara lain berfokus dalam mempromosikan isu demokratisasi, penguatan civil society, gender, good governance,capacity building dan sejenisnya.

Kiranya bukan suatu kebetulan ketika AIESEC Indonesia mulai berdiri pada 1984 ketika paham neoliberalisme terutama liberalisasi pasar bebas mulai semakin menguat dan meluas daya jangkau pengaruhnya bukan saja di AS dan Inggris, melainkan juga meluas ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Keterlibatan Bantuan Bank Dunia kepada NGO biasanya dengan memainkan peran sebagai konsultan, pengawas dan penilai. United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) memberikan dukungan program kepada NGO berupa program peningkatan keahlian  pekerja HAM, UN Voluntary Fund for Victim of Torture dan Voluntary fund for indigenous people, dan lain-lain. UNICEF, menjadikan NGO sebagai pelaksana program kesehatan anak, gizi, pendidikan dasar, kebersihan dan lingkungan. Partnership for Poverty Reduction, sebagai lembaga proyek antar agen yang diprakarsai Bank Dunia, Inter-American Foundation dan UNDP, lembaga ini mempromosikan kajian  dan kerja sama swasta-publik dan mempertemukan pemerintah, NGO/LSM, kalangan bisnis, dan berbagai kekuatan lokal untuk memasuki wilayah kebijakan negara.

(Baca Kim D. Reimann, “Politik Norma-Norma dan  Pertumbuhan NGO Sedunia,” Wacana Edisi  16/2004, Insist Press.)

Merujuk kembali pada keterangan As’ad Said Ali dalam bukunya bertajuk Pergolakan Di Jantung Tradisi, NU yang Saya Amati, ternyata selain Amerika Serikat, Komisi Uni Eropa telah mengeluarkan dana ribuan euro untuk memberikan bantuan bilateral untuk empat isu utama: pengurangan kemiskinan, good governance, capacity building, dan Civil Society.  Begitu pula Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) telah menyalurkan beberapa bantuan melalui NGO.

Bukan itu saja. Beberapa negara Eropa dan Amerika secara individual juga menyalurkan bantuan melalui NGO, seperti NOVIB (Belanda), CIDA (Kanada), SIDA (Swedia), AUSAID (Australia), USAID (Amerika). Begitupula beberapa yayasan semi pemerintah seperti The Asia Foundation (TAF) memusatkan bantuannya pada program pluralisme dan toleransi. Adapun National Democratic Institute memusatkan bantuannya pada soal-soal demokrasi.

Melalui konstruksi cerita tadi, peran dan kiprah AIESEC Indonesia sebagai bagian integral dari NGO berskala dunia yang mengkader kaum pemuda dan mahasiswa, nampaknya tidak bisa dipandang semata-mata sebagai organ NGO pemuda-mahasiswa yang berdiri sendiri. Melainkan punya temali dengan NGO-NGO Indonesia lainnya yang punya relasi jejaring dengan badan-badan keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF, maupun negara-negara blok Barat seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik di Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com