Pokok-Pokok Permenungan Tentang Kekeliruan Berkala Lagi Massal Atas Sumpah Setia Kepada Pancasila dan UUD 1945

Bagikan artikel ini

Menurut KBBI, sumpah adalah: 1 pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhannya dan sebagainya); 2 pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau BERANI MENDERITA SESUATU kalau pernyataan itu tidak benar; 3 janji atau ikrar yang teguh (akan menunaikan sesuatu).

Namun di Era Reformasi ini, terutama semenjak UUD 1945 diamandemen (1999 – 2002) oleh kaum reformis gadungan, sumpah dimaksud berdampak terhadap warga masyarakat, entitas, personel institusi negara dan/atau Kementerian/Lembaga dengan apa yang disebut ‘keliru bersumpah’, atau ‘salah tempat pada sumpahnya’.

Seperti apa ujudnya?

Doktrin dan sumpah anggota TNI – Polri, misalnya, entah itu Sumpah Prajurit, atau Tribrata, ataupun Sumpah Janji PNS, dst yang selalu melafalkan:

” … setia kepada Pancasila dan UUD 1945″.

Namun dalam praktik, sumpah anggota TNI – Polri dan personel PNS sebenarnya tidak bersumpah kepada UUD 1945 sesuai Naskah Asli warisan the Founding Fathers, tetapi bersumpah setia kepada UUD hasil amandemen empat kali (istilahnya UUD 2002) sebab judulnya diubah sedikit dari UUD 1945 menjadi UUD NRI 1945. Ya. Ada tambahan huruf NRI di antara diksi UUD dan angka 1945. Inilah yang kini terjadi sejak 2002 hingga sekarang. Tanpa disadari. Silent revolution oleh asing pada 1999-2002 yang mengubah konstitusi telah menimbulkan kekeliruan berkala lagi massal dalam sumpah, janji dan doktrin baik oleh anggota TNI – Polri, PNS, maupun warga masyarakat, dan lain-lain.

Kenapa?

Menurut penelitian Prof Kaelan dari UGM, bahwa 97% pasal-pasal pada Batang Tubuh UUD 1945 telah diganti, sehingga selain tak nyambung antara Pembukaan dengan Batang Tubuh, yang paling menyedihkan bahwa UUD kita sekarang berubah menjadi individualistik dan liberal kapitalisme.

Menurut Dr. Ichsannuddin Noorsy, ekonom dan pengamat politik, bahwa UUD hasil amandemen mengakibatkan politisasi di semua lini; kemudian politisasi menimbulkan komersialisasi; dan ujungnya adalah kriminalisasi. Jadi, urutannya adalah: politisasi – komersialisasi – kriminalisasi. Itu singkatnya. Silahkan dideskripsikan di berbagai sektor.

Lebih tragis lagi, bahwa UUD 2002 —UUD hasil amandemen— justru meninggalkan serta mengubur Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi. Itu poin intinya.

Ya. Akibat sumpah dan doktrin yang ‘salah tempat’ kepada Pancasila dan UUD 1945, maka bangsa dan negara ini mengalami keterbelahan sosial yang kian lebar, kemiskinan struktural yang sulit dientaskan, maraknya korupsi, kegaduhan politik tak kunjung henti, dan seterusnya. Jangan-jangan, inikah dampak (kutukan) ‘sumpah salah tempat’ sehingga menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar?

Sekurang-kurangnya, pemilu bermodel one man one vote, misalnya, pemilihan presiden secara langsung (pilpressung) pada 2014 dan 2019 telah membidani entitas Kampret versus Cebong yang saling hujat serta nyaris permanen di masyarakat. Hingga kini, julukan dimaksud membidani varian lain selain Cebong dan Kampret itu sendiri.

Apalagi pilpres 2024 yang sebentar lagi digelar. Selain kian melebarkan keterbelahan sosial (social enclave), juga menimbulkan keretakan baik di TNI – Polri aktif maupun keretakan di internal para pensiuan (purnawirawan). Saling intip karena beda pilihan. Antara senior yunior mulai renggang, sesama letting saling bully dan lain-lain.

Bahwa pilpres 2029 ataupun 2034 nantinya, apabila masìh menggunakan demokrasi ala Barat (pilpressung) alias one man one vote, kemungkinan Indonesia tinggal nama sebagaimana Uni Soviet dahulu pecah berkeping-keping (tanpa melalui perang) akibat disusupi demokrasi liberal ala Barat. Mungkin ramalan tersebut terlalu lebay alias genit. Tetapi sah-sah saja. Jangan under estimate dalam membuat prakiraan keadaan. Dulu, siapa mengira super power seperti Uni Soviet bakal pecah menjadi beberapa negara?

Adanya arus kuat publik untuk kembali ke UUD 1945 sesuai Naskah Asli masih ada yang menganggap ide gila. Sebagian publik melihatnya dengan sebelah mata. Padahal, ketika pilpres dikembalikan ke MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, niscaya kegaduhan dan high cost politics akan menyusut drastis. Tak ada lagi Kampret dan Cebong. APBN dan stakeholders terkait tak perlu mengeluarkan budget hingga ratusan triliun rupiah.

Ibarat Kapal Nabi Nuh yang dibangun di siang bolong, Lima Proposal DPD RI yang intinya agar pilpres kembali dilaksanakan di MPR, masih banyak yang dicibir. Padahal, jika “air bah” (konflik akibat pemilu) menggulung negeri ini, kemungkinan terbesar itulah satu-satunya solusi untuk mereda konflik serta mencegah perpecahan Ibu Pertiwi.

Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.

M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Denpasar, 13 Desember 2023

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com