Mencermati Pola Kolonialisme di Suriah dan Mesir (Bag-1)

Bagikan artikel ini

Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Pasca tergulingnya Mohamad Morsi oleh “kudeta” militer (3 Juli 2013), tampaknya kadar gejolak di Mesir lebih tinggi serta meluas daripada Arab Spring kemarin. Dan prakiraan waktu pun sepertinya belum dapat diterka sama sekali. Kenapa demikian, oleh karena aneka false flag operation (operasi bendera palsu) terbaca begitu gencar dikibarkan oleh Barat dengan beragam kemasan. Kemudian dijelaskan sekilas pada awal catatan ini, maksud “Barat” ialah Amerika (AS) dan sekutu, termasuk Israel selaku anak emas, ‘guru’, atau sekutu tradisional AS.

Tak pelak lagi, di sebuah kolonialisasi —- selain modus false flag mampu mendangkalkan atau mengaburkan khalayak awam dalam melihat peta konflik sesungguhnya, bahkan seringkali juga menjerumuskan orang, kelompok, ataupun golongan ke dalam kekeliruan (kerangka) berpikir, misperception, kesalahan langkah, dan lain-lain. Ini terlihat dari beberapa elemen bangsa-bangsa yang memiliki solidaritas tinggi terhadap sesama muslim, tetapi tidak cukup pemahaman soal trend, tata cara, modus, ataupun model-model deception (penyesatan) dalam kolonialisme. Merujuk judul artikel ini, sebaiknya dimulai dari Suriah yang sekarang kembali bergolak kendati militer pemerintahan Bashar al Assad dinilai banyak pihak telah dianggap memenangkan peperangan melawan kaum pemberontak.

Pertanyaan menarik timbul: apakah kita mengetahui hakiki dan mapping konflik di Suriah? Kalau sudah paham, syukurlah. Tapi bagi yang ‘setengah-setengah’ atau sekedar mengira-ngira apalagi hanya ikut-ikutan, semoga artikel sederhana ini bisa membuka sedikit wawasan, dan menguak pemahaman soal pola kolonialisasi yang sering diterapkan oleh Barat, kendati pada dokumen Global Future Institute (GFI), Jakarta, sebenarnya telah banyak diulas beberapa penulis. Tulisan ini cuma menebalkan saja.

Pemetaan Dina Y. Sulaeman misalnya, membagi kaum oposisi (pemberontak) di Suriah ke dalam tiga kelompok besar. Penelitian Dina, research associate GFI, menarik disimak. Inilah mapping kelompok dimaksud, antara lain:

Pertama, kelompok yang lahir di Turki terdiri atas Syrian National Council (SNC) dan Free Syrian Army (FSA). Perlu dicatat disini, bahwa pada diri FSA bernaung milisi (sebagian menyebutnya ‘mujahidin’) termasuk al Qaida.

Kedua, National Coalition for Syrian Revolutionary and Opposition Forces. Kelompok ini terbentuk di Doha, Qatar. Tak bisa dipungkiri, bahwa Ikhwanul Muslimin (IM) sebagai muslim moderat tergabung pada koalisi di atas. Kelompok ini didukung oleh Qatar, Arab Saudi, AS, Inggris dan Prancis, koalisi negara-negara yang selama ini membiayai, mengirim senjata dan memfasilitasi para pasukan “jihad” dari berbagai negara seperti Arab, Libya dan lain-lain agar datang ke Syria membantu FSA.

Ketiga, kelompok berhaluan Hizbut Tahrir (HT) —meski tidak mengatasnamakan HT— tetapi mendapat dukungan berbagai cabangnya di dunia, termasuk HT dari Indonesia. Sikapnya mengecam koalisi yang dibentuk di Qatar. Kelompok ini meliputi Gabhat al Nousra, Ahrar Al Sham Kataeb, Liwaa al Tawhiid, dan Ahrar Souria. Ia cenderung memisah dengan kelompok lain dan mendeklarasikan bahwa  perjuangannya dalam rangka membentuk khilafah di Syria.

Hal yang menarik, kendati ketiga oposisi seolah-olah terberai, tetapi memiliki tekad dan suara sama, yakni menumbangkan rezim Bashar al Assad. Seperti ada invesible hand meremot dinamika konflik dari kejauhan agar para pemberontak tetap satu tujuan walau berbeda cara dan jalan. Hal ini terbukti ketika mereka ternyata saling ‘bekerjasama’ pada upaya penciptaan opini publik: “betapa kejam dan brutalnya rezim Assad dalam membantai rakyatnya sendiri”. Kemungkinan besar, inilah opini rekaan ketiga oposisi yang hasilnya sungguh-sungguh mengaburkan fakta sebenarnya, atau istilahnya false flag operation. Seakan-akan bekerjasama padahal demi kepentingan musuh!

Jika disandingkan dengan kajian Dina, analisa Rijal Mumazziq Z tampak lebih sederhana meskipun substansi tak jauh beda. Ia mengatakan, sesungguhnya hanya ada dua kubu oposisi di Syria, yaitu Sekuler dan Islamis. Tidak ada kubu lain. Keduanya sama-sama keras kepala dan terbagi dalam beberapa faksi. Yang top Jabhat an-Nushrah (kubu Islamis) karena merupakan cabang al-Qaidah. Model pemetaan oposisi ala Rizal ini, selain memeta kaum oposisi hanya menjadi dua golongan, juga cenderung mencermati pola dan model divide et impera (pecah belah) —atau adu jangkrik— yang dimainkan AS serta sekutu di banyak negara, contohnya Syria. Beberapa hipotesa pun muncul. Misalnya, apabila Assad tumbang, mereka akan terus memasok senjata sembari menyaksikan “adu jangkrik” berikutnya, yakni antara kubu Sekuler dalam FSA melawan kelompok Islamis.

Hipotesa selanjutnya, bila kubu Sekuler menang, ongkos yang dikeluarkan pun tetap hemat. Artinya selain laba sumber daya alam (SDA) yang melimpah, (tambahan penulis) penguasaan geopolitic of pipeline, juga kubu Sekuler bakal disetir oleh “majikan”-nya persis di Irak dan Libya. Faktor lain yang terabaikan namun sesungguhnya tujuan utama ialah rebutan geostrategi posisi Syria yang tepat di simpul Jalur Sutera. Itulah jalur ekonomi dan militer legenda sejak dahulu kala, namun sekarang justru banyak dilupakan oleh orang (baca: Catatan Kecil tentang Jalur Sutera www.theglobal-review.com).

Sedang hipotesa terakhir, jika kubu Islamis menang, maka isue sektarian Sunni-Syiah akan semakin dikobarkan, lalu moncong meriam “mujahidin” diarahkan ke Hizbullah di Lebanon. Biarkan keduanya bertarung. Hizbullah hanyalah target (sasaran) antara, karena sasaran utama sebenarnya Iran. Lagi-lagi, isue sektarian memang bumbu terlezat dalam citarasa konflik dan perang di Timur Tengah. Luar biasa!

Kajian keduanya baik Dina maupun Rizal, sepertinya ingin menjelaskan makna statement Moshe Yaalon, Menteri Pertahanan: “tidak melihat akhir dari perang ini”. Dengan kata lain, Israel tak ingin perang berakhir. Bahkan ia akan melakukan apa saja supaya peperangan terus berlangsung, termasuk diantaranya tuduhan —bumbu konflik— Yaalon kepada pemerintah Syria ketika terjadi pembunuhan massal menggunakan senjata kimia. Sekali lagi, inilah salah satu langkah “false flag”-nya Barat. Efektif memang, selain membakar peperangan, juga sebagai dalih agar segera diterbitkan mandat (resolusi) PBB di Syria.

Dengan demikian jelas, bahwa perang berlarut di Suriah bukanlah konflik etnis, ataupun perang agama, tidak pula konflik antar mazhab sebagaimana dikibarkan oleh Barat dengan taktik false flag melalui media mainstreamonline, jejaring sosial, dan lain-lain. Bukan! Suriah hanya proxy war (medan tempur) dari berbagai kepentingan para adidaya dunia!

(Bersambung Bag-2)

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com