Sudarto Murtaufiq, Peneliti Senior Global Future Institute (GFI) Jakarta
Pernyataan Mantan Menko Perekonomian di era KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sekaligus mantan Menko Kemaritiman di era Jokowi, Rizal Ramli, terkait maraknya impor pangan menyedot perhatian semua kalangan, terlebih jelang pemilu 2019. Tentunya, hal ini bisa dimaklumi menyusul kejanggalan kebijakan impor beras oleh pemerintah baru-baru ini. Melalui keputusan Kementerian Perdagangan (Kemendag), pemerintah menambah impor beras hingga 500 ribu ton yang sebelumnya diprotes Dirut Perum Bulog Budi Waseso dan Kementerian Pertanian (Kementan).
Pernyataan Rizal Ramli terkait kebijakan yang tidak populis tersebut tentu alasan yang kuat. Menurutnya ada pihak-pihak yang sengaja mencari rente dari impor pangan. Impor juga sengaja dibuka lebar karena bisa menjadi sumber dana yang besar untuk kepentingan politik.
“Yang terjadi, di belakang inisiatif impor ada yang selalu ingin cari uang gampang. Impor pangan sumber politik besar,” kata Rizal kepada awak media di Hotel Bidakara, Jakarta, belum lama ini.
Rizal menilai kebijakan impor pangan oleh Kemendag menunjukkan bahwa pemerintahan Presiden Jokowi dinilai sudah tidak peduli terhadap nasib rakyat. Padahal Jokowi dalam janji-janji politiknya secara tegas akan memperkuat kedaulatan pangan dengan memberdayakan kaum petani di dalam negeri.
Maka bukan isapan jempol bahwa kebijakan impor beras memiliki mata rantai dengan program pengumpulan dana politik jelang pemilu 2019 mendatang, sebagaimana juga diungkap oleh ekonom senior Faisal Basri pada awal tahun 2018. Menurutnya kebijakan impor pangan sangat erat kaitannya dengan upaya untuk pengumpulan dana politik.
Penilaian Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) ini sangatlah mendasar. Dalam kasus impor beras khusus sebesar 500.000 ton misalnya, klaim untuk menjaga stabilitas harga beras jenis premium seperti yang disampaikan Mendag Enggartiasto Lukito terkesan hanya pembelaan semata. Pasalnya impor beras kali ini dikhususkan untuk mencukupi kebutuhan bagi masyarakat kelas menengah atas atau konsumen dari kalangan orang kaya.
Pertanyaannya, berapa jumlah orang kaya di Indonesia, sehingga pemerintah darurat melakukan impor beras dengan klaim menjaga stabilitas harga beras premium nasional? Credit Suisse Research Institute mencatat pada tahun 2017, jumlah kalangan menengah atas (orang kaya) di Indonesia totalnya hanya 111 ribu jiwa dari jumlah total keseluruhan 257.912.349 jiwa. Itu artinya, kalangan menengah atas atau orang kaya di Indonesia sendiri jumlahnya sangat kecil.
Jadi untuk apa impor beras, jika mayoritas warga sendiri tak membutuhkan impor mengingat dalam negeri kebutuhan beras tercukupi? Ini diperkuat dengan kecenderungan sebagian besar orang menengah atas sendiri menempatkan beras bukan sebagai konsumsi utama mereka. Sebaliknya, kalangan menengah atas ini lebih memilih roti, gandum, dan berbagai jenis makanan cepat saji lainnya sebagai konsumsi harian.
Maka tak mengherankan jika pernyataan Rizal Ramli dan Faisal Basri menyebut berbagai kebijakan impor oleh Mendag, terkait erat dengan program mencari dana untuk menyambut pemilu. Padahal kebijakan impor tersebut jelas-jelas tidak sesuai dengan Kementrian Pertanian (Kementan) yang menurut data yang dirilisnya menyebutkan bahwa saat ini pasokan beras berlebih. Kebutuhan beras dari Mei-Juni 2018 mencapai 5,3 juta ton sedangkan produksinya 8,1 juta ton. Sehingga terjadi surplus beras sebanyak 2,8 juta ton. “Stok kita masih aman sejauh ini…Stok aman. Tenang, semua aman. Semua sudah kita persiapkan sejak 2-3 bulan lalu agar harga bisa stabil dan tidak kekurangan juga. Makanya kita tidak perlu impor,” ,” ujar Menteri Pertanian Amran Sulaiman belum lama ini.
Maka, pertanyaan yang mengemuka adalah apakah impor beras itu secara kebetulan, karena memang produksi beras tidak sebanyak yang digembar-gemborkan Kementerian Pertanian? Atau memang ada abuse of power alias penyalahgunaan kewenangan karena Impor beras mendatangkan keuntungan yang lumayan legit bagai para pemainnya? Sehingga di sana muncul patgulipat dengan berbagai kalangan yang membutuhkan biaya politik?
Dari sini, patut kiranya kita berpikir bahwa di negeri ini banyak bandar beras yang menjadi kroni petinggi Parpol tertentu yang akan terus bergerilya dan beroperasi dengan segala cara untuk mengelabuhi masyarakat dengan argumen-argumen yang masuk akal terkait impor beras meski banyak mendapat kritik dari pelbagai kalangan.