Meneropong “Kebijakan Standar Ganda” Amerika Serikat (Studi Perbandingan Papua-Indonesia dan Ukraina terkait Pelanggaran Hak-Hak Asasi Manusia)

Bagikan artikel ini
Membongkar Fondasi Strategi Global Amerika Serikat
Kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS) terkait isu Hak-Hak Asasi Manusia terhadap negara-negara asing sangat diwarnai oleh hasrat tersembunyinya untuk memainkan perannya sebagai kekuatan global dan negara adikuasa baru, menyusul berakhirnya Perang Dunia II. Potensi AS untuk menggantikan kedudukan Inggris sebagai negara adikuasa baru sebenarnya sudah terlihat sebelum meletusnya Perang Dunia II.
Selain sudah muncul sebagai sebuah negara industri paling maju di dunia, secara harfiah AS menguasai 50 persen kekayaan dunia dan mengontrol kedua sisi dari dua samudra. Samudra Atlantik dan Samudra Pasifik.
Sehingga ketika Perang Dunia II berakhir dengan memunculkan AS sebagai salah satu negara pemenang perang, maka sebagai kekuatan global baru para perancang kebijakan luar negeri di Washington mempunyai sebuah rencana besar membentuk tata dunia baru pasca Perang Dunia II yang ditujukan untuk melayani kepentingan-kepentingan strategis AS baik di bidang politik-keamanan maupun ekonomi dan perdagangan.
Maka itu, menarik membuka kembali beberapa bahan kepustakaan mengenai aneka pola kebijakan yang diterapkan oleh para perencana kebijakan AS baik di Kementerian Luar Negeri maupun Dewan Kebijakan Luar Negeri atau Council on Foreign Relations (CFR), melalui mana para pemain kunci di sektor bisnis AS dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri Negara Paman Sam di luar negeri.
Noam Chomsky, berdasarkan dokumen-dokumen yang berhasil dia akses, bahwa berdasarkan National Security Council Memorandum 68 pada 1950, telah mengembangkan apa yang dinamakan “roll-back strategy” berdasarkan gagasan Menteri Luar Negeri Dean Acheson. Inti gagasan dari strategi ini, AS akan menegosiasikan penyelesaian konflik dengan negara pesaingnya (dalam konteks waktu itu, Uni Soviet), dengan mengedepankan “syarat-syarat tertentu”. (Noam Chomsky, How the World Works, 2011).
Jika kita cermati roll-back strategy tersebut, menurut saya inilah cikal bakal dari kebijakan double standar AS terkait soal pelanggaran Hak-Hak Asasi Manusia yang dilakukan negara-negara lain. Jika AS berpandangan bahwa suatu negara berpotensi untuk menjadi musuh atau tidak bisa dikendalikan arah kebijakan luar negerinya sehingga mengancam kepentingan strategis AS, maka isu-isu seperti demokrasi dan hak-hak asasi manusia akan dimunculkan sebagai bagian integral dari “syarat-syarat tertentu” sebagaimana dimaksud dalam roll-back strategy tersebut. Sebaliknya, ketika menurut pandangan para perancang kebijakan luar negeri AS negara-negara yang bersangkutan menunjukkan tanda-tanda cukup kooperatif dan siap mendukung arah kebijakan luar negeri dan kepentingan strategis AS, maka isu demokrasi dan hak-hak asasi manusia dengan sadar akan diabaikan atau bahkan dianggap bukan masalah yang cukup serius dan krusial.
Menurut kajian Chomsky, kebijakan luar negeri AS yang berbasis roll-back strategy sudah diterapkan Negara Paman Sam itu sejak awal berakhirnya Perang Dunia II. Misalnya saja dalam menerapkan kebijakan luar negeri terhadap Jerman Barat yang notabene merupakan musuh AS pada Perang Dunia II karena  berhaluan fasisme yang dikuasai Nazi di bawah pimpinan Adolf Hitler, ternyata AS menjalin kerjasama dengan Reinhard Gehlen, mantan kepala intelijen militer Nazi di fron Timur Jerman, tanpa rasa bersalah sama sekali. Dengan dalih bahwa melawan ekspansi komunisme Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina jauh lebih penting daripada fasisme Nazi yang sudah jadi masa lalu.
Alhasil AS dengan tanpa rasa bersalah secara moral kemudian membentuk aliansi AS-Nazi sehingga kemudian mentoleransi para kriminal eks Nazi Jerman, hanya untuk dimanfaatkan dalam operasi intelijen menumpas kelompok-kelompok kiri dan komunis di Amerika Latin maupun Asia Tenggara.
Sebagaimana ditulis Chomsky, Informasi-informasi mengenai masih banyaknya eksponen-eksponen  Nazi Jerman yang dilibatkan dalam operasi bersama AS-Jerman Barat pasca Perang Dunia II, sebenarnya telah diketahui oleh AS namun tidak dianggap penting. Inilah benih-benih kebijakan double standard AS terkait penerapan dan pelanggaran HAM di beberapa negara kelak di kemudian hari. Jika suatu negara dipandang sebagai sekutu atau bersedia kerjasama dalam kerangka kepentingan strategis AS, maka AS dengan sadar untuk tutup mata dan mengabaikannya. Namun jika suatu negara berpotensi sebagai musuh atau tidak bersedia dikendalikan arah kebijakan luar negerinya, maka isu demokrasi dan penegakan hak-hak asasi manusia akan dimunculkan sebagai isu politik, sebagai “syarat-syarat tertentu” yang dimainkan oleh AS untuk menekan negara-negara yang merupakan musuh potensialnya itu, agar tunduk pada syarat-syarat yang sesuai kepentingan strategis dan arah kebijakan luar negeri Washington.
Hal ini semakin diperkuat dengan beberapa kebijakan luar negeri AS berdasarkan gagasan George F Kennan. Bahkan menurut beberapa kalangan, George F Kennan inilah yang bertanggungjawab mengawasi kiprah jaringan intelijen Gehlen ketika bersepakat bekerjasama dengan jaringan intelijen AS untuk menumpas komunis.
Seperti ditulis Kennnan dalam Policy Planning Studu 23:
“Kita menguasai sekitar 50 persen kekayaan dunia, tetapi hanya 6,3 persen dari total populasi. Dalam situasi seperti ini, tidak bisa tidak, kita menjadi obyek dari rasa cemburu dan rasa benci. Tugas nyata kita pada periode mendatang adalah merencanakan pola-pola hubungan yang akan memperkenankan kita mempertahankan disparitas ini. Untuk melakukannya, kita harus membuang semua sentiment khayalan: perhatian kita harus dkonsetrasikan sepenuhnya pada sasaran-sasaran nasional yang mendesak. Kita harus berhenti bicara tentang hal-hal yang kabur dan tujuan samar-samar seperti hak-hak asasi manusia, peningkatan standar kehidupan, dan demokratisasi.” (Noam Chomsky, ibid, hal 6).
Jelaslah sudah, bahwa melalui konsepsi George Kennan ini, tergambar jelas fondasi kebijakan standar ganda AS terkait demokrasi dan hak-hak asasi manusia. Jika berguna dan efektif untuk dijadikan alat pukul memperlemah negara lawan di meja perundingan, maka isu demokratisasi dan hak-hak asasi manusia akan diterapkan. Namun jika  lebih menguntungkan menjalin kerjasama dengan suatu negara dengan mengabaikan kedua isu tersebut, maka AS dengan senang hati akan menganggap hal itu tidak ada dan tidak penting.
Bahkan melalui konsepsi Kennan sebagaimana tergambar melalui Policy Planning Study 23, bilamana perlu AS bahkan siap mendukung secara terang-terangan praktek-praktek represif terhadap negara-negara yang dipandang sesuai arah kebijakan luar negerinya dan sesuai dengan kepentingan strategis para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri di Washington. Seperti kesediaan  beberapa negara-negara tertentu untuk menumpas kekuatan-kekuatan yang berbasis sosialis kiri maupun komunisme.
Lebih lanjut Kennan menulis:
“…Kita tak perlu ragu-ragu menghadapi ancaman ini dengan represi polisi oleh pemerintah lokal. Ini bukanlah tindakan memalukan karena orang-orang komunis pada dasarnya merupakan para penghianat. Lebih baik memiliki rezim dengan kekuasaan kuat ketimbang pemerintahan liberal yang ramah dan santai, tetapi rawan dipenetrasi oleh orang-orang komunis.”
Grand Design Tata Dunia Baru AS Pasca Perang Dunia II
Setidaknya ada beberapa wilayah strategis dari sudut pandang geopolitik yang harus tunduk pada kepentingan ekonomi Amerika. Begitulah Grand Design yang disusun oleh kelompok-kelompok studi dari Kementerian Luar Negeri AS maupun CFR.
Di belahan bumi bagian barat: Eropa Barat, Timur Jauh, Inggris dan Timur-Tengah sebagai sumber energi yang tak tertandingi khususnya di sektor minyak mentah, dan negara-negara Dunia Ketiga pada umumnya. Untuk negara-negara yang berbasis industri, akan berada dalam supervisi oleh Jerman dan Jepang. Dua mantan musuh AS yang setelah perang berakhir berubah menjadi sekutu-sekutu strategis AS.
Adapun negara-negara berkembang pada umumnya, sudah berang tentu termasuk Indonesia, akan difungsikan sebagai sumber-sumber bahan mentah dan pasar bagi masyarakat industri kapitalis. Dengan kata lain, negara-negara Dunia Ketiga akan dieksploitasi (menggunakan istilah Kennan) demi rekonstruksi Eropa dan Jepang. Beberapa dokumen yang dirujuk oleh Noam Chomsky, memasukkan di dalamnya beberapa negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Afrika sebagai “negara-negara sasaran.”
Sebaliknya beberapa negara di Asia Tenggara yang menolak untuk difungsikan sebagai negara Dunia Ketiga seperti Vietnam, kemudian merasa perlu untuk dihancurkan dan dilemahkan. Itulah esensi meletusnya Perang Vietnam yang membelah negara tersebut menjadi Vietnam Selatan yang didukung AS dan negara-negara blok barat, dan Vietnam Utara yang didukung Uni Soviet. Namun substansinya, dengan terjadinya Perang Vietnam, negara tersebut bermaksud dilemahkan dan dihancurkan. Karena menolak mengikuti skema kepentingan ekonomi AS.
Sebaliknya perlakuan terhadap negara yang dipandangnya bakal mendukung skema global AS seperti Jepang, Washington justru menerapkan kebijakan yang mengakhiri langkah awal menuju demokratisasi di Jepang, seperti diperagakan oleh pemerintahan militer pimpinan Jendaral Douglas McArthur. Melalui apa yang dinamakan Haluan Terbalik, AS justru mendukung upaya menekan dan melemahkan serikat kerja dan kekuatan demokratis lainnya, serta membuat Jepang jatuh ke tangan elemen-elemen korporasi yang mengembalikan kekuatan-kekuatan berhaluan fasisme Jepang. Bahkan kemudian berkembang menjadi sistem kekuasaan antara negara dan swasta yang masih bertahan hingga sekarang.
Kebijakan AS dan Blok Barat Terhadap Penegakan Hak-Hak Asasi Manusia di Papua 
Untuk memberi gambaran nyata betapa AS dan sekutu-sekutunya dari blok barat bermaksud menggunakan isu demokratisasi dan hak-hak asasi manusia sebagai alat untuk menekan sebuah negara yang dipandangnya berpotensi menentang skema global AS untuk konteks saat ini, kiranya Indonesia, khususnya Kasus maraknya kelompok-kelompok separatisme di Papua, bisa menjadi sebuah ilustrasi yang cukup tepat. Bahwa AS dan beberapa negara blok barat mendukung secara tidak langsung manuver  beberapa elemen-elemen pro Papua Merdeka untuk membawa isu Papua ke forum internasional. Meng-internasionalisasikan isu kemerdekaan Papua dan Hak Masyarakat Papua untuk Menentukan Nasibnya Sendiri.
Beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia sempat dikejutkan dengan manuver oleh yang menamakan dirinya United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Kelompok ini berkeinginan untuk menjadi anggota Melanesian Spearhead Group (MSG) yang pada waktu akan dibahas di London pada tanggal 3 Mei 2016. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, beberapa organisasi sipil di Papua kemudian menggalang dan memobilisasi massa untuk melakukan desakan politik agar ULMWP menjadi anggota tetap MSG.
Kalau menelisik langkah ini, jelaslah sudah bahwa gerakan meng-internasionalisasikan isu Papua, memang masih cukup gencar dilalukan oleh beberapa elemen-elemen pro Papua Merdeka di dalam maupun di luar negeri. Hal itu semakin diperkuat dengan perkembangan terkini, ketika Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menyatakan, desakan agar ULMWP menjadi anggota penuh MSG merupakan keinginan murni rakyat West Papua yang menuntut bebas dari penjajahan kolonial Indonesia, dan seluruh masyarakat Papua yang tergabung dalam KNPB tidak takut jika ditangkap oleh aparat.
Coba cermati baik-baik frase yang digunakan KNPB, “Menuntut bebas dari penjajahan kolonial Indonesia.” Mengerikan bukan?
Sementara itu, keputusan Sidang Paripurna ke-IV Parlemen Nasional West Papua (PNWP) kepada Pemerintah Indonesia, International Parliamentarians for West Papua (IPWP), International Lawyers for West Papua (ILWP), dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Telah memutuskan, antara lain mengakui ULMWP sebagai badan koordinasi dan persatuan yang mewakili seluruh kepentingan bangsa Papua yang bertempat tinggal di wilayah Papua dan Papua Barat.
Tapi itu baru sebagian dari cerita, yang terjadi menjelang MSG pada 3 Mei 2016 lalu. Adapun dalam beberapa bulan mendatang, upaya meng-internasionalisasikan kasus Papua juga tak kalah mengkhawatirkan. Setidaknya ada dua momentum yang ditunggu-tunggu kalangan aktivis separatis Papua yang berafiliasi dengan Gerakan Separatis Papua atau OPM yaitu Hari Proklamasi West Papua tanggal 1 Juli 2016 dan rencana pelaksanaan KTT pemimpin negara Melanesian Spearhead Group (MSG) tanggal 14 Juli 2016 di di Honiara, Kepulauan Salomon. Kedua momentum tersebut, seharusnya  tidak perlu diikuti atau dirayakan oleh masyarakat Papua, karena integrasi Papua dalam NKRI sudah final. Namun kenapa hal itu bisa sampai terjadi, tentunya bukan sekadar prakarsa dari kelompok-kelompok pro Papua merdeka semata, melainkan adanya keterlibatan negara-negara asing seperti AS, Inggris, dan Australia.
Beberapa organisasi antara lain Parlemen Nasional West Papua (PNWP) melalui ketuanya Buchtar Tabuni sudah gencar melakukan propaganda terutama melalui media sosial.
Isi propaganda Buchtar Tabuni antara lain KTT Pemimpin negara MSG tanggal 14 Juli 2016 mendatang di Honiara nanti memiliki nilai strategis dan bermanfaat menegakkan wibawa dan harga diri bangsa Papua.
Selanjutnya, propaganda berbunyi pada tanggal 14 Juli 2016 perwakilan bangsa Papua, ULMWP akan menjadi anggota penuh MSG yang berarti bangsa Papua telah diakui sejajar dengan bangsa lain di Melanesia. “Seluruh dunia sedang memasang mata dan telinga untuk mendengar kesungguhan hati rakyat Papua mendukung ULMWP pada tanggal 14 Juli 2016 nanti. Kita masih memiliki waktu lakukan konsolidasi umum untuk merapatkan barisan sambil menunggu komando,” seru Buchtar Tabuni.
Frase kalimat yang dilontarkan Buchtar Tabuni secara tersirat menggambarkan adanya dukungan secara tidak langsung dari komunitas internasional yang pastinya mengorbit pada AS, Inggris dan Australia. Maupun beberapa sekutu Eropa Barat-nya seperti Belanda dan Belgia.
Namun demikian, rencana peringatan Hari Proklamasi West Papua jelas merupakan momentum yang dipolitisasi oleh kalangan aktivis Papua terutama yang tergabung dalam Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Parlemenn Rakyat Daerah (PRD), Parlemen Nasional West Papua (PNWP) maupun United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), sedangkan tuntutan ULMWP menjadi anggota MSG merupakan bukti nyata adanya upaya meng-internasionalisasi masalah Papua. Yang tentunya pula  tak lepas dari dukungan secara tidak langsung dari belakang layar oleh beberapa negara besar seperti AS, Inggris dan Australia.
Perlu diketahui bahwa status ULMWP di KTT MSG adalah sebagai pengamat yang tidak memiliki hak suara.
Posisi ULMWP di MSG sebagai pengamat saja sebenarnya merupakan “blunder politik” dari kegagalan diplomasi Indonesia, karena sebelumnya dalam setiap KTT MSG, massa ULMWP hanya mampu mengadakan unjuk rasa saja tapi tidak dapat memasuki ruangan pertemuan KTT MSG, namun sekarang dengan status mereka sebagai pengamat, maka hanya ikut mendengarkan jalannya KTT MSG saja dalam ruangan rapat, tapi tidak memiliki hak suara. Kondisi ini jelas merugikan Indonesia dibandingkan ULMWP bukan sebagai pengamat di KTT MSG.
Apalagi jika ULMWP diterima menjadi anggota tetap KTT MSG, maka jelas merupakan “kekalahan diplomasi” dari pihak Indonesia, sehingga dapat dipastikan Indonesia sebagai anggota KTT MSG akan menolak keras ULMWP sebagai anggota tetap MSG dikarenakan ULMWP tidak mewakili rakyat Papua, ULMWP bukan negara, ULMWP adalah organisasi ilegal yang pro kelompok separatis dan Papua masih wilayah sah dari Indonesia sehingga suara Papua akan diwakilkan oleh delegasi resmi Indonesia.(Baca: Herdiansyah Rahman, Politisasi dan Internasionalisasi Masalah Papua)
Lepas dari itu, indikasi adanya campur tangan AS dan beberapa negara barat untuk mendukung manuver beberapa kelompok-kelompok pro Papua merdeka sebagaimana digambarkan tadi, membuktikan bahwa Masalah HAM yang terjadi di Papua juga sering dipolitisasi oleh berbagai kalangan di Papua, seperti yang terjadi dalam acara yang diadakan di salah satu hotel di Jayapura, yang intinya mengkritisi pembentukan tim penyelesaian masalah HAM Papua oleh Pemerintah.
Banyak kalangan salah menafsirkan statement Presiden Jokowi yakni penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu sehingga tidak menimbulkan permasalahan di masa mendatang. Padahal yang dimaksud Presiden Jokowi adalah, jangan sampai ada politisasi dan internasionalisasi masalah pelanggaran HAM sebagaimana sering dilakukan pada masa lalu.
Temuan menarik muncul dari salah satu pembicara dari NGO di Papua bahwa ada pihak asing yang juga turut ikut memantau dalam masalah pelanggaran HAM di Papua. Adapun yang dimaksud adalah Australia. Barang tentu hal ini berakibat penyelesaian pelanggaran HAM sesuai UU  no 26 menjadi tidak dapat berjalan dengan baik.
Menurut sumber dari NGO itu,  kiblat masalah Papua sekarang ada di Pasific Selatan sehingga Pemerintah Indonesia berusaha mencari pengaruh kepada negara-negara Pasifik Selatan. Pernyataan ini secara tersorat menggambarkan adanya campur tangan asing  dalam masalah Papua, yang bekerja melalui komprador atau agen-agennya yang beroperasi di Papua.
Yang hendak saya sampaikan melalui studi singkat ini, fakta adanya sikap skeptis yang dikumandangkan oleh beberapa kalangan NGO terhadap tim penyelesaian masalah HAM Papua yang dibentuk pemerintah, dengan jelas mengindikasikan adanya keterlibatan dukungan asing di balik sikap skeptis yang disuarakan kalangan NGO tersebut. Karena pada kenyataannya, tim penyelesaian masalah HAM Papua yang dibentuk pemerintah tersebut, sejatinya telah memilik tokoh-tokoh Papua yang cukup kompeten dan berkampuan. Sehingga sudah seharusnya semua stakeholders di Papua bisa dengan bebas menyampaikan aspirasi, masukan dan data soal HAM Papua kepada tokoh Papua yang duduk di tim tersebut, daripada menggelar unjuk rasa atau kegiatan lain yang tujuan sesungguhnya adalah meng-internasionalisasikan isu Papua di luar negeri. Yang pada gilirannya akan dimainkan oleh AS dan sekutu-sekutu Baratnya untuk dijadikan sebagai “Syarat-Syarat Tertentu” untuk menekan Pemerintah Indonesia melalui sarana diplomasi dan perundingan.
Masuk akal, mengingat AS saat ini sedang gelisah karena Freeport sedang dilanda ketidakpastian apakah kontrak karya maupun keberadaannya di bumi Papua selama berpuluh-puluh tahun lalu, bisa diperpanjan dan berlanjut terus di era pemerintahan Presiden Jokowi-JK.
Pada tataran ini, indikasi adanya upaya AS untuk mempolitisasi masalah hak-hak asasi manusia dan demokratisasi dalam kasus Papua di Indonesia, kiranya nampak sangat jelas dan terang-benderang. Apakah ini berarti bahwa AS sedang dilanda keraguan bahwa Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi-JK akan bersedia mendukung skema global dan kepentingan strategis AS di Asia Tenggara dan Indonesia pada khususnya? Beberapa sumber dan kalangan yang terlibat dalam diskusi terbatas dengan Global Future Institute, sepertinya membenarkan kecenderungan tersebut. Meskipun saat ini, skema pemerintahan Jokowi-JK itu sendiri terkait soal kehadiran investor asing maupun kerjasama dengan asing ala Freeport atau Newmont Nusantenggara hingga saat ini masih belum jelas.
Politik Haluan Terbalik AS di Ukraina Pasca Kejatuhan Presiden Yanukovich
Kembali kepada roll-back strategy yang dikembangkan mantan Menteri Luar Negeri AS Dean Acheson dan Politik Haluan Terbalik-nya George F Kennan, apa yang terjadi di Ukraina sangat menarik sebagai bahan perbandingan, yang secara ekstrim bertolak-belakang dengan perilaku politik AS dan beberapa negara Eropa Barat terhadap isu pelanggaran hak-hak asasi manusia di Papua, Indonesia.
Untuk memperjelas hal ini, cerita bermula ketika Presiden Yanukovich digulingkan dari tampuk kekuasaan karena dipandang AS dan beberapa negara Uni Eropa sebagai tidak bersahabat kalau tidak mau dibilang sebagai musuh. 
Kemarahan AS dan Uni Eropa mencapai puncaknya setelah Presiden Yanukovich menolak beberapa tekanan ekonomi politik yang dilakukan AS dan kelompok negara Uni Eropa. Yanukovich lebih memilih bersekutu dengan Cina, Rusia dan Iran.
Masih ingat apa yang terjadi pada 2011? Ketika itu, International Monetary Fund (IMF) gagal menjebol perekonomian Ukraina ketika pemerintah saat itu menolak mentah-mentah rekomendasi IMF untuk menghentikan subsidi harga gas yang dikonsumsi sebagian besar rakyat Ukraina. Padahal Ukraina sudah menyetujui pinjaman untuk Ukraina sebesar 15 miliar dolar AS.
Jerman, juga menekan Ukraina untuk bergabung dengan jaringan politik dan bisnisnya lewat kekuatan kelompok negara Uni Eropa. Sekadar informasi, Jerman sebenarnya sedang memulai proyek geopolitik besarnya melawan Rusia dengan memperluas jaringan European Union Eastern Partnership-nya. Proyek itu ternyata mampu merangkul negara Georgia dan Moldova. Sedangkan negara Belarus dan Armenia yang sudah dalam radar Jerman ternyata memilih bergabung ke kelompok negara Eurosian Customs Union yang dipimpin Rusia.
Sekarang, Ukraina yang kaya sumber energi itu juga menolak mentah-mentah keinginan Uni Eropa. Sangat logis jika kemudian Jerman meradang dengan penolakan Ukraina. Karena secara geopolitik, Ukraina dipandang oleh Jerman sebagai negara kunci untuk memenangkan perang pasar energi global Uni Eropa melawan kelompok negara-negara yang pro Rusia dan Cina.
Dalam prediksi Jerman, jika Ukraina bisa diajak bergabung dalam Uni Eropa, maka Uni Eropa akan mampu mengatur pasar energy global, minimal di tingkat negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa.
Bebeapa langkah strategis Uni Eropa untuk menguasai Ukraina sebenarnya sudah dilakukan jauh-jauh hari. Beberapa perusahaan besar Jerman sudah membangun pipa gas yang cukup besar di Ukraina. Pipa gas tersebut dibangun melintasi Polandia, Hongaria dan Slovakia. Yang menjadi dasar pertimbangan Jerman, dengan membangun pipa-pipa gas tersebut, pada perkembangannya akan menyelesaikan ketergantungan Ukraina terhadap pasokan gas yang selama ini disalurkan dari Rusia.
Maka Jerman ingin agar proyek besar tersebut dibayar oleh Presiden Yanukovich dengan menandatangani kesepakatan untuk bergabung dengan Uni Eropa. Namun dengan keputusan Yanukovich untuk lebih memilih bersekutu dengan Cina, Rusia dan Iran, maka rencana Jerman untuk membangun infrastruktur pipa gas tadi akhirnya hancur berantakan. Gagal total.
Nampaknya inilah skenario besar AS dan Uni Eropa di balik dukungan terhadap ribuan demonstrasi dengan berlindung pada simbol gerakan “Pro Demokrasi” dan gerakan “anti Presiden Yanukovich.”
Lantas, bagaimana gambaran konstalasi politik Ukraina pasca kejatuhan Yanukovich? Mari kita telisik profil kelompok-kelompok yang berada di balik gerakan “Pro Demokrasi” Ukraina ini. Ternyata ada 3 kelompok besar di balik penggulingan Yanukovich.
Pertama, adalah partai Batkivschyna yang dipimpin oleh Yulia Tymoshenko. Partai ini dibiayai dan didukung secara langsung atau tidak langsung oleh Jerman.
Yang kedua, adalah Partai Svoboda yang mengusung ideology Neo Nazi. Partai ini adalah kelompok yang paling kuat menentang Yanukovich. Partai yang anti Yahudi (termasuk Yahudi Rusia) ini dibiayai oleh Washignton. Partai ini dipimpin oleh Tiahnybok. Dia mengembangkan partai neo nazi-nya dengan merujuk pada gerakan neo nazi yang berkembang di Eropa. Dalam konstalasi politik parlemen di Ukraina, Svoboda merupakan partai terbesar di Ukraina saat ini.
Kalau melihat betapa kisruhnya situasi politik di Ukraian beberapa bulan jelang jatuhnya Yanukovich, nampaknya Partai Svoboda berperan cukup aktif untuk memanaskan keadaan dan dalam menciptakan aksi destabilisasi politik.
Partai ketiga adalah partai Udar yang dipimpin langsung oleh Vitally Klitschko, mantan juara tinju kelas berat dunia. Klitschko merupakan salah satu calon presiden yang akan maju pada pemilu Ukraina 2015 mendatang. Partai Jerman Christian Democrat Union memastikan Klitschko merupakan salah satu orang penting untuk menjembatani semangat pro Uni Eropa di Ukraina.
Singkat cerita, isu besar di balik jatuhnya Presiden Yanukovich adalah pertarungan penguasaan energi global antara kelompok negara Trans Pacific Partnership (TPP) yang dimotori oleh Amerika dan Uni Eropa yang dimotori oleh Jerman. Melawan negara-negara yang tergabung dalam BRICS berdasarkan skema kerjasama strategis Rusia dan Cina melalui Shanghai Cooperation Organization (SCO).
Namun ada satu segi dari kejatuhan Yanukovich yang menarik disorot, sehubungan dengan tema tulisan kali ini. Yaitu kemunculan semangat neo nazi di Ukraina. Bahkansedemikian rupa bahkan Ukraina dipandang akan menjadi negara neo fasis baru, melalui kiprah Partai Svoboda dan gerakan neo nazi. Dan yang luput dari berbagai liputan media adalah, betapa kelompok-kelompok Neo Nazi maupun Partai Svoboda merupakan kelompok-kelompok binaan dari AS sudah sejak lama.
Apakah hal ini yang kemudian AS tutup mata dan tidak menganggap penting ketika gerombolan Neo Nazi Ukraina yang didukung elemen-elemen dalam pemerintahan di Kiev membakar hidup-hidup  orang-orang yang berada di dalam gedung Trade Union di kota Odessa (Trade Union Building) beberapa waktu yang lalu? Nampaknya penting untuk kajian lebih lanjut. Karena beberapa kalangan menyusul pembantaian kelompok neo nazi Ukraina itu, memandang kejadian ini sebagai bukti nyata adanya dukungan AS dari belakang layar. Bahkan sebuah ulasan yang ditulis oleh Global Research, menandai adanya terorisme negara yang didukung AS.
The Neo-Nazi thugs are directly supported by the Right Sector and Svoboda which play a central role in the coalition government. The Right Sector is supported by Washington.
The Neo-Nazi mobs in Odessa bear the hallmarks of  US sponsored terrorism (e.g Syria) trained to commit atrocities against civilians.  America’s Neo-Nazi Government in Kiev is a reality. Confirmed by Germany’s Bild: “Dozens of specialists from the US Central Intelligence Agency and Federal Bureau of Investigation are advising the Ukrainian government” (Michel Chossudovsky, Global Research Editor, 5 Mei 2014).
Secara faktual hal ini menunjukkan bahwa gerombolan Neo Nazi yang membakar hidup-hidup warga masyarakat yang berada di gedung trade union itu, mendapat dukungan dari pemain-pemain kunci di Partai Svoboda dan kelompok-kelompok sayap kanan lainnya. Kebetulan kedua sayap ini memainkan peran penting dalam penyusunan pemerintahan koalisi pasca kejatuhan Presiden Yanukovich.
Tragedi yang mengenaskan ini terjadi pada 2 Mei 2014. Bermula ketika para pendukung gerakan federalisme dikejar hingga ke gedung Trade Union oleh kelompok-kelompok sayap kanan. Ketika para pendukung gerakan federalisme tersebut masuk ke gedung Trade Union untuk mendapatkan perlindungan, tiba-tiba gedung tersebut terbakar. Laporan resmi mengatakan korban tewas berjumlah 42 orang.  Namun beberapa sumber, termasuk dari Global Research, memperkirakan jumlahnya jauh lebih banyak daripada berdasarkan sumber-sumber resmi.
Sebab patut diduga, bahwa beberapa orang provokator yang mendorong para pendukung federalism itu masuk gedung, besar kemungkinan ada yang dibunuh tanpa saksi mata. Sehingga terbakarnya gedung Trade Union hanyalah dimaksudkan untuk menyamarkan adanya aksi pembunuhan massal di dalam gedung tersebut. Sehingga terkesan warga masyarakat yang tewas di dalam gedung tersebut semata-mata akibat terbakarnya gedung Trade Union.
Yang mengherankan kami dari Global Future Institute, mengapa pemerintah AS maupun elemen-elemen NGO di komunitas internasional di Eropa Barat, sama sekali tidak menganggap kejadian tersebut sebagai bentuk nyata dari pelanggaran hak-hak manusia?
Sepertinya di Odess-Ukraina, merupakan bukti nyata yang paling vulgar, dari Politik Haluan Terbalik AS terkait isu Hak-Hak Asasi Manusia. Kenyataan bahwa Presiden Yanukovich digulingkan karena menolak mengikuti skema kepentingan kapitalisme global AS dan Uni Eropa pada awal 2014 lalu, justru menjadi landasan kebijakan AS untuk mengabaikan tragedi odessa maka rejim pemerintahan Ukrainan saat ini yang justru didukung oleh AS dan Blok Barat, nampaknya yang menjadi landasan kebijakan untuk mengabaikan Tragedi Odessa pada Mei 2014 lalu.
Artikel Terkait:
Penulis: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com