Mengatasi Konflik Dualisme di DPR

Bagikan artikel ini

 Irfani Nurmaliah, peneliti Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi (LAPD) Jakarta

Kisruh di DPR akibat adanya persaingan antara koalisi merah putih (KMP) dan koalisi indonesia hebat (KIH)  telah mencapai puncaknya. Kedua belah pihak mengklaim pihak yang sah sebagai manifestasi lembaga legislatif di negara ini.  Hal ini kian mencoreng citra DPR yang sejak lama telah mendapat sorotan tajam dari masyarakat.

oalisi indonesia hebat yang terdiri dari F-PDIP, F-PKB, F-NASDEM, F-HANURA, dan F-PPP melakukan mosi tidak percaya kepada pimpinan DPR dan kemudian membuat pimpinan DPR tandingan. DPR tandingan ini juga membentuk alat kelengkapan DPR seperti komisi komisi, badan anggaran dan sebagainya.

Terbelahnya DPR ini sungguh memprihatinkan, DPR tidak bisa menjalankan fungsi dan kewajibannya dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Disamping itu, pemerintahan Jokowi juga bingung kepada pihak mana akan bermitra, apakah kepada DPR versi KMP atau KIH.

Dualisme pimpinan yang terjadi di DPR dikhawatirkan akan membuat kerja parlemen pincang, dan dipastikan membuat kepercayaan masyarakat terhadap parlemen semakin turun. Kondisi yang terjadi di DPR sekarang, seakan membenarkan anggapan sebagian besar masyarakat bahwa wakil rakyat hanya memikirkan kepentingan golongannya saja, bukan kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Di sisi lain, dualisme kepemimpinan di DPR dikhawatirkan  akan mengganggu program-program pemerintah seperti usulan kenaikan harga  BBM, penerbitan tiga kartu terkait program pemerintah untuk mengantisipasi kenaikan harga BBM, pembahasan perubahan APBN 2015, dan banyak agenda agenda kerja dan politik lainnya.

Akar Konflik

Akar perpecahan itu mulai tumbuh sejak Pemilu Presiden. Kekalahan Prabowo-Hatta yang diusung oleh kubu KMP tampaknya telah menimbulkan sakit hati dan dendam politis. Hal itu  dibawa ke parlemen dalam bentuk pertempuran memperebutkan posisi-posisi penting. Tujuannya disinyalir adalah sebagai sarana untuk menghambat kekuasaan presiden Jokowi yang diusung KIH. KMP sendiri mengatakan bahwa kubunya dengan penguasaan jabatan-jabatan pimpinan di parlemen hendak menjadi kekuatan penyeimbang terhadap pemerintah.

Sistem paket yang diterapkan, otomatis membuat KIH sebagai pemenang pemilu tertutup peluangnya mendapat kursi pimpinan. Hal tersebut karena KMP yang menjadi mayoritas ingin menyapu bersih kursi pimpinan di parlemen. Munculnya dualisme menandakan tidak ada lagi jalan yang dapat diambil oleh KIH untuk memaksa bermusyawarah mufakat dengan KMP. Keadaan sudah buntu karena tidak ada lagi upaya hukum yang tersedia bagi KIH untuk mendapat jatah kursi pimpinan.

Pertempuran antara kedua kubu itu sesungguhnya dimulai tidak pada periode DPR yang baru, tetapi pada akhir masa jabatan DPR periode 2009-2014. Di bulan terakhir periodenya, kubu KMP berhasil memperjuangkan amendemen Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau UU MD3 yang memberi peluang kepada pihak mayoritas atau pemilik suara terbanyak untuk mendapatkan jabatan pimpinan di lembaga-lembaga itu melalui mekanisme voting.  Terbukti bahwa jabatan-jabatan pimpinan dimenangkan dan diduduki oleh kader-kader KMP. KMP “menyapu bersih” jabatan-jabatan pimpinan yang ada dan ini memicu dan memperbesar konflik

Komitmen Pada Rakyat

Demi kepentingan rakyat,  maka dualisme di DPR harus diakhiri.  Anggota Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat sebaiknya duduk bersama mencari solusi dari kisruh politik di DPR. Kedua koalisi perlu bermusyawarah di internal DPR untuk mencari titik temu mencairkan kebekuan politik demi kepentingan yang lebih besar, yakni kesejahteraan rakyat Indonesia. Berdasarkan pernyataan para anggota DPR dari kedua koalisi, sesungguhnya mereka menginginkan kisruh politik tidak berlarut. Mereka siap bermusyawarah mencari solusi demi efektivitas DPR dalam fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Sesungguhnya asas proporsional dalam pemilihan pimpinan alat kelengkapan menjadi solusi kisruh DPR. Dengan asas proporsional, DPR tidak akan dikuasai satu kelompok saja. Selain itu, pimpinan DPR dan alat kelengkapan DPR yang terpilih juga bisa netral dalam menjalankan tugas karena tidak mementingkan atau mewakili kepentingan kelompoknya semata,

Setelah asas proporsional dilakukan, maka kedua kubu perlu melakukan rekonsiliasi. Bentuk rekonsiliasi tersebut, dapat dimulai dengan perubahan aturan main dalam pemilihan pimpinan komisi dan alat kelengkapan DPR, yakni dengan merevisi Undang-Undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) serta Tata Tertib DPR.

Selanjutnya, proses pemilihan pimpinan komisi dan alat kelengkapan DPR dilakukan dengan proses yang demokratis sekaligus memberi ruang kekuatan-kekuatan politik yang ada di parlemen. Kedua kekuatan politik harus menanggalkan kepentingan masing-masing agar program pemerintahan dapat berjalan.

Dengan persebaran kursi kepemimpinan DPR secara proporsional dan dilakukannya rekonsiliasi, maka diharapkan DPR tidak terjebak pada kepentingan golongan atau kelompok tertentu. Harus diingat, DPR merupakan lembaga yang menerima mandat dari rakyat, dan harus bekerja bagi kesejahteraan rakyat. Dengan semangat kebersamaan, maka tidak ada lagi DPR KMP atau DPR KIH lagi!!

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com