Mengenal Perang Asimetris: Sifat, Bentuk, Pola dan Sumbernya (2)

Bagikan artikel ini

Sifat dan Bentuk Perang Nirmiliter

Sifat perang ini adalah antikekerasan (non violence). Namun kredo ini bukanlah harga mati, sebab bisa saja terjadi kekerasan dalam prosesnya sebagaimana pernah dilakukan pengunjuk rasa di awal-awal konflik Syria dulu, dimana massa sudah menggunakan senjata bahkan telah berani menyerang instalasi militer. Kendati akhirnya konflik Syria berubah menjadi hybrid war bukan lagi asymmetric warfare, perlu dipahami dibersama, bahwa kredo awal antikekerasan dalam perang nirmiliter maksudnya tanpa ada bunyi peluru, atau tidak ada asap mesiu pada proses pergerakannya. Ia lebih mengandalkan taktik dan strategi (smart power) dalam hal ini adalah pengerahan massa, “dukungan publik,” terutama penciptaan (rekayasa) opini melalui media-media baik media cetak, eletronik, online maupun media sosial, dan lain-lain.

Ada dua bentuk atau model dalam peperangan asimetris. Pertama, melalui aksi massa di jalanan dalam rangka menekan target sasaran; kedua, melalui meja para elit politik dan pengambil kebijakan negara agar setiap kebijakan yang diterbitkan sejalan, selaras, dan senantiasa pro asing guna meraih tiga hal sesuai definisi perang asimetris versi GFI, Jakarta, yaitu:

(1) belokkan sistem sebuah negara sesuai kepentingan kolonialisme, (2) lemahkan ideologi serta ubah pola pikir rakyatnya, dan (3) hancurkan ketahanan pangan dan energy security [jaminan pasokan energinya], selanjutnya ciptakan ketergantungan negara target atas kedua hal tersebut [food and energy security].

Arab Spring misalnya, adalah contoh riil perang asimetris yang digelar oleh Barat (Amerika dan sekutu) bermodel ‘gerakan massa’ dalam rangka menurunkan rezim dan elit penguasa di Jalur Sutera. Hasilnya? Ben Ali di Tunisia pun jatuh, Ali Abdullah Saleh di Yaman terbirit-birit, Hosni Mubarak di Mesir tumbang, dan lain-lain. Kendati aksi massa dimaksud merupakan langkah kedua, setelah —langkah pertama— ditabur terlebih dulu stigma tentang kemiskinan, korupsi, pemimpin tirani, dsb sebagai isu gerakan. Selanjutnya untuk tahapan Arab Spring nanti diulas lebih dalam pada sub bahasan tersendiri.

Termasuk dalam hal ini adalah “Gerakan Mei 1998”  merupakan ujud peperangan nirmiliter di Indonesia via aksi massa. Ia bukanlah murni gerakan moral mahasiswa turun di jalanan, kenapa? Betapa aksi tersebut sudah ditumpangi oleh berbagai kepentingan baik internal dan eksternal, terutama kepentingan (kolonialisme) asing guna menjatuhkan rezim Orde Baru. Bahkan Karen Brooks, penulis Amerika mengisyaratkan, sesungguhnya Arab Spring itu meniru aksi massa pada Mei 1998 di Jakarta yang bertajuk gerakan reformasi. Itulah jenis dan contoh pertama peperangan asimetris bermodus: “Aksi Massa Jalanan”.

Adapun bentuk kedua perang nirmiliter adalah: “Melalui Kebijakan Negara”. Tak boleh dielak siapapun, bahwa di sebuah negara koloni niscaya ditaruh pion-pion kolonialisme (asing) di tempat dan/atau jabatan-jabatan strategis dalam negara/pemerintah, ataupun dibentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tertentu (atas inisiasi asing), lalu di-‘pahlawan’-kan ke publik sebagai LSM kredibel mewakili aspirasi rakyat. Pemakaian istilah “LSM tertentu” dalam catatan ini, sebenarnya ingin berpesan kepada pembaca bahwa tidak semua LSM terlibat dalam asymmetric warfare yang di gelar oleh asing. Masih banyak LSM yang benar-benar pro rakyat dan bernafaskan nasionalisme.

Beredar sinyalir di kalangan global review dan para penggiat geopolitik, bahwa terdapat kementerian, atau institusi negara tertentu dinilai sebagai “peternakan asing.” Artinya, bahwa sosok yang duduk (dan menjabat) disana merupakan ‘titipan kolonialisme’ untuk setiap terbit kebijakan strategis agar selalu serta senantiasa pro asing. Dalam sub bahasan ini, memang tidak perlu ditunjuk kementrian mana dan institusi apa, atau siapa orangnya, namun hal ini sudah dapat dicermati serta dimaklumi bersama melalui berbagai program, statement, bahkan kebijakan-kebijakannya, kenapa? Perilaku (kebijakan) jelas merupakan cermin dari motivasi (tujuan tersembunyi)-nya!

Pola Perang Asimetris

Bahwa antara perang konvesional yang mengerahkan kekuatan militer secara terbuka dengan peperangan asimetris yang cenderung non militer (dan non kekerasan) — sejatinya mereka itu serupa tetapi tidak sama. Serupa pada “pola”-nya, tak sama atau berbeda dalam hal “sifat dan aksi-aksi”-nya.

Pola perang konvensional mungkin telah baku di dunia militer. Tahap pertama: “Bombardir,” entah bombardir melalui pesawat tempur, atau pasukan arteleri (udara) jarak jauh, dan sebagainya; Tahap kedua: “Masuknya pasukan kavaleri” berupa tank-tank, atau kendaraan lapis baja lain; dan tahap ketiga: “Pendudukan oleh infanteri.” Inilah pola lazim dan garis besar pada perang militer secara terbuka. Adapun taktis dan maksud tahapan di atas tak akan diurai detail, bukan apa — tidak ada niatan menggurui siapapun terutama para ahli dan pihak-pihak berkompeten dalam bidangnya melainkan sharing pemahaman terkait “pola perang” yang nanti dibahas lebih lanjut karena pola tersebut ternyata memiliki “ruh” yang sama, walau ujud atau aksinya berbeda.

Bombardir di awal perang konvensional contohnya, pada peperangan asimetris ternyata juga diawali dengan “bombardir,” namun berupa isue-isue yang ditebarkan oleh pihak-pihak terkait dan terlibat (LSM dan/atau sosok tertentu). Dalam “Aksi Mei 1998” misalnya, isue yang disebar ke tengah-tengah masyarakat dalam rangka menggiring opini publik adalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Tampaknya demikian pula dengan Arab Spring di Jalur Sutera, isuenya hampir tidak berbeda dengan kejadian di Jakarta karena berkisar tentang kemiskinan, korupsi, demokrasi, pemimpin tirani, dan lain-lain. Itulah ISU selaku bahan baku dan/atau taburan awal sebuah asymmetric warfare melalui aksi massa.

Sedang “Masuknya Kavaleri” sebagaimana tahapan perang militer di muka, dalam perang asimetris disebut TEMA atau AGENDA. Sekali lagi, Arab Spring contohnya, “tema”-nya ialah gerakan massa guna menurunkan rezim penguasa setelah sebelumnya dibombardir oleh isue-isue. Demikian juga dengan tema atau agenda aksi massa di Jakarta pada Mei 1998 dahulu, kendati kejatuhan elit penguasa sesungguhnya hanya pintu pembuka untuk kolonialisme yang lebih luas, masif dan sistematis. Itulah sekilas tentang TEMA dalam perang non militer.

Tahap akhir dalam pola perang militer adalah “Masuknya Infanteri” guna menduduki wilayah target. Maka analog pola ini dalam perang nirmiliter adalah kendali sistem ekonomi dan kontrol SDA di negara target. Itulah SKEMA penjajahan di muka bumi sebagaimana doktrin kolonialisme yang dihembuskan oleh Henry Kissinger di muka.

Dengan demikian, pola-pola yang sama baik pada perang konvensional maupun perang nirmiliter namun aksi-aksinya berbeda. Bila peperangan militer tahapannya: “Bombardir” — “Masuknya Kavaleri” — “Pendudukan oleh Infanteri,” sedang pola peperangan non militer tahapannya ialah: “Isue” — “Tema” — “Skema.” Sekali lagi, keduanya sebenarnya serupa tetapi tak sama, berbeda-beda tetaplah (tujuan) sama.

Pola lain yang layak dicermti pada asymmetric warfare adalah modus proxy (boneka, atau perwalian/pengganti). Dengan kata lain, pada penyebaran “isue” misalnya, ia memiliki person, LSM. atau lembaga tersendiri, dst yang “digaji” karena perannya sebagai pengganti atau ‘boneka’. Demikian pula dalam upaya penggebyaran “tema” — kaum peremot perang semacam ini juga memiliki orang-orang, atau LSM, punya media massa, media sosial, situs-situs khusus, dan lainnya. Dan uniknya, antara komprador di tahapan isue dan boneka di tahapan tema kerapkali tidak saling mengenal antara satu dengan lainnya.

Sedangkan untuk memuluskan “skema” sebagai tahapan akhir dari pola perang nirmiliter, lazimnya dipasang orang, atau kelompok yang bermain pada tataran kebijakan negara cq rezim kala itu. Artinya ia atau mereka bisa jadi selaku staf ahli, bahkan sebagai pejabatnya sendiri, dan lain-lain. Inilah yang disebut oleh Bung Karno sebagai kaum komprador, yaitu orang atau kelompok yang justru akan menghancurkan bangsa dan negaranya sendiri dengan berbagai alasan dan pembenaran.

Bersambung ke 3 ..

Korban dan calon-calon korban Arab Spring dan Hybrid War di Syria serta Libya

Korban dan calon-calon korban Arab Spring dan Hybrid War di Syria serta Libya

Aksi massa di Jakarta, Mei 1998 --- berakhirnya kekuasaan Orde Baru

Aksi massa di Jakarta, Mei 1998 — berakhirnya kekuasaan Orde Baru

Penulis: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com