Mengenal Perang Asimetris: Sifat, Bentuk, Pola dan Sumbernya (1)

Bagikan artikel ini

Kepopuleran serta kefavoritan perang konvensional yang mengerahkan militer secara terbuka, pasca berakhirnya Perang Dunia II (1939-1945) akhirnya meredup, terutama semenjak Perang Dingin (Cold War) usai ditandai dengan jatuhnya Uni Soviet. Muncul beberapa model perang baru sebagai reaksi atas dinamika politik sebelumnya, antara lain proxy war (perang boneka, atau perang perwalian) misalnya, atau hybrid war (perang kombinasi), asymmetric warfare (perang asimetris), currency wars (perang mata uang), dan lain-lain.

Catatan sederhana ini hendak membahas asymmetric warfare secara agak detail, sedang proxy war maupun hybrid war, dan lain-lain nantinya hanya sekilas untuk sekedar menyambungkan bahasan saja. Sesuai judul artikel ini, fokus materi memang lebih kepada asymmetric warfare dimana arti dalam bahasa Indonesianya ialah peperangan asimetris, atau juga disebut perang non militer, atau smart power, ataupun kerap dinamai perang nirmiliter. Selanjutnya, pada artikel ini, pemakaian beberapa istilah terkait asymmetric warfare akan digunakan secara bergantian karena maknanya memang sama. Sebelum jauh melangkah, selayaknya dipahami dahulu pengertian perang asimetris dari beberapa referensi meski dalam hal definisi tersebut —- dijumpai ketidakkonsistenan, ataupun kesimpangsiuran baik arti, maksud dan makna daripada terminologi itu sendiri.

Definisi Beberapa Sumber

Dewan Riset Nasional (DRN), 2008, Suatu Pemikiran tentang Perang Asimetris (Asymmetric Warfare), Jakarta, menerbitkan definisi bahwa perang asimetris adalah suatu model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim, dan di luar aturan peperangan yang berlaku, dengan spektrum perang yang sangat luas dan mencakup aspek-aspek astagatra (perpaduan antara trigatra: geografi, demografi, dan sumber daya alam/SDA; dan pancagatra: ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Perang asimetri selalu melibatkan peperangan antara dua aktor atau lebih, dengan ciri menonjol dari kekuatan yang tidak seimbang.

Sedangkan US Army War College menyatakan:

“Peperangan asimetris dapat dideskripsikan sebagai sebuah konflik dimana dari dua pihak yang bertikai berbeda sumber daya inti dan perjuangannya, cara berinteraksi dan upaya untuk saling mengeksploitasi karakteristik kelemahan-kelemahan lawannya. Perjuangan tersebut sering berhubungan dengan strategi dan taktik perang unconvensional. Pejuang yang lebih lemah berupaya untuk menggunakan strategi dalam rangka mengimbangi kekurangan yang dimiliki dalam hal kualitas atau kuantitas.” (Tomes, Robert, Spring 2004, Relearning Counterin surgency Warfare, Parameter, US Army War College).

Berikutnya definisi versi Australia’s Department of Defence adalah:

“Konflik selalu melibatkan satu pihak yang mencari celah keuntungan asimetris atas pihak lainnya dengan cara memperbesar pendadakan, penggunaan teknologi atau metode operasi baru secara kreatif. Sisi asimetri dicari dengan menggunakan pasukan konvensional, khusus dan tidak biasa dalam rangka menghindari kekuatan-kekuatan musuh dan memaksimalkan keunggulan yang dimilikinya. Semua perang kontemporer didasarkan pada pencarian keunggulan asimetris. Asimetri muncul pada saat diketahui adanya perbedaan perbandingan antara dua hal. Asimetri militer dapat diartikan dengan perbedaan tujuan, komposisi pasukan, kultur, teknologi dan jumlah.” (Land Warfare Doctrine 1, 2008, The Fundamentals of Land Warfare,Australia’s Department of Defence).

Pointers Diskusi

Dari beberapa definisi yang bersumber tiga rujukan berbeda di atas, ada pointersyang layak dicermati pada sub diskusi ini, antara lain:

Dewan Riset Nasional (DRN) misalnya, lebih memaknai perang asimetris sebagai perang konvensional yang dikembangkan, tetapi dengan cara berpikir tidak lazim, mengapa? DRN melihatnya sebagai peperangan yang memiliki spektrum sangat luas karena mencakup astagatra (delapan aspek kehidupan) yang meliputi trigatra dan pancagatra. Trigatra terdiri atas aspek geografi, demografi, dan sumber daya alam (SDA), sedang pancagatra meliputi aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, dll. Sedang pada taktis peperangan, DRN menekankan keterlibatan antara dua aktor atau lebih, dan menyoroti ketidakseimbangan keadaan (bagi dan antaraktor) yang terlibat peperangan.

Sementara definisi perang nirmiliter versi US Army War College, menekankan perbedaan sumberdaya dua pihak yang berkonflik, cara berinteraksi, dan upaya mengeksploitasi masing-masing kelemahan lawan. Ia juga masih mengaitkan dengan strategi dan taktik perang non konvensional (?). Artinya pihak yang lemah berupaya memakai strategi guna mengimbangi kekurangannya baik dalam hal jumlah maupun kualitas.

Selanjutnya, perang non militer versi Australia’s Department of Defence, lebihkepada pencarian keuntungan secara nirmiliter atas pihak lainnya, kendati pencarian sisi asimetris tersebut dilakukan secara militer, sedangkan asimetris secara militer ia persepsikan sebagai perbedaan tujuan, komposisi pasukan, kultur, teknologi dan jumlah.

Rangkuman Perang Asimetris

Dari definisi ketiga sumber di atas memang masih terdapat perbedaan arti, maksud dan makna daripada peperangan non militer. Belum ditemui definisi yang cocok, pasdan baku. Australia’s Departement of Defence misalnya, masih saja mengaitkan perang nirmiliter dengan perang militer (konvensional), namun ia menekankan kepada hasil peperangan berupa non militer (mungkin maksudnya adalah kontrol ekonomi negara lawan, dan penguasaan SDA, dsb). Demikian juga dengan US Army War College masih membandingkan atau mengukur kekuatan antarpihak yang saling bertikai sebagaimana terjadi dalam perang militer secara terbuka.

Menurut hemat penulis, definisi perang asimetris versi DRN lebih realitis daripada definisi lainnya karena sejalan dengan model dan praktik-praktik selama ini. Perang nirmiliter dinilai sebagai model perang tidak lazim —non militer— bahkan dalam praktik operasionalnya cenderung non kekerasan. Spektrum sasarannya lebih luas daripada perang konvensional sebab mencakup segenap aspek kehidupan. Meski penulis sedikit menyayangkan, karena pada definisi versi DRN masih mencantumkan “ketidakseimbangan keadaan (bagi dan antaraktor) terlibat peperangan,” kenapa? Oleh karena pada praktik kolonialisme justru perang non militer sekarang dinilai sebagai metode favorit para adidaya dalam rangka menancapkan kuku pengaruh (dan kolonialisme)-nya di negara-negara yang ditarget. Pertanyaannya, “Bukankah dari sisi sumberdaya perang, para adidaya lebih canggih dan lebih kuat daripada negara-negara target, kenapa dalam perang nirmiliter masih mempersoalkan ketidakseimbangan pihak yang terlibat peperangan?”

Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryaccudu memaknai asymmetric warfare sebagai perang non militer atau dalam bahasa populernya dinamai smart power, atau perang non konvensional merupakan perang murah meriah, tetapi memiliki daya hancur lebih dahsyat daripada bom atom.

Asymmetric warfare merupakan perang murah meriah tapi kehancurannya lebih dahsyat dari bom atom. Jika Jakarta di bom atom, daerah-daerah lain tidak terkena tetapi bila dihancurkan menggunakan asymmetric warfare maka seperti penghancuran sistem di negara ini, hancur berpuluh-puluh tahun dan menyeluruh,” ujar Ryamizard (29/1/2015).

Merujuk diskusi dan rangkuman di atas, diskusi terbatas di Global Future Institute (GFI) Jakarta, pimpinan Hendrajit (24/3/2015) merumuskan definisi asymmetric warfare sebagai berikut:

“Perang asimetris merupakan metode peperangan gaya baru secara nirmiliter (non militer) namun daya hancurnya tidak kalah bahkan dampaknya lebih dahsyat daripada perang militer. Ia memiliki medan atau lapangan tempur luas meliputi segala aspek kehidupan (astagatra). Sasaran perang non militer tak hanya satu aspek tetapi juga beragam aspek, dapat dilakukan bersamaan, atau secara simultan dengan intensitas berbeda. Kelaziman sasaran pada perang asimetris ini ada tiga: (1) belokkan sistem sebuah negara sesuai kepentingan kolonialisme, (2) lemahkan ideologi serta ubah pola pikir rakyatnya, dan (3) hancurkan ketahanan pangan dan energy security[jaminan pasokan energinya], selanjutnya ciptakan ketergantungan negara target atas kedua hal tersebut [food and energy security].

Sedangkan muara ketiga sasaran tadi senantiasa berujung pada kontrol terhadap ekonomi dan penguasaan SDA sebuah negara, sebagaimana doktrin yang ditebar oleh Henry Kissinger di panggung politik global: “Control oil and you control nations, control food and you control the people.” (Kontrol minyak maka anda mengendalikan negara, kendalikan pangan maka anda menguasai rakyat).

Betapa efek perang ini sungguh dahsyat karena berdampak selain kelumpuhan menyeluruh bagi negara bangsa, juga membutuhkan biaya tinggi dan perlu waktu yang relatif lama untuk proses recovery (pemulihan kembali)-nya kelak.

 

Kuasai minyak maka anda mengendalikan negara, kendalikan pangan maka anda mengontrol rakyat (Henry Kissinger)

Bersambung ke 2 ….

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com