Mengenal Perang Asimetris: Sifat, Bentuk, Pola dan Sumbernya (3/Habis)

Bagikan artikel ini

Sumber Peperangan Asimetris 

Di atas telah diurai walau sekilas tentang sifat, model atau bentuk, dan pola pada peperangan asimetris mulai dari isue, tema dan skema (ITS), maka ujung catatan sederhana ini membahas “sumber” dari peperangan nirmiliter yang kini menjadi metode favorit kolonialisme.

Konflik, atau perang model apapun — baik intrastate (konflik internal, atau konflik vertikal, horizontal, dsb) maupun interstate (perang antarnegara), dan entah ia perang konvensional, atau hybrid war, proxy war, dsb bahkan perang asimetris itu sendiri, hanyalah TEMA. Sekali lagi, perang dan konflik dalam skala besar cuma sebuah tema belaka, kenapa begitu? Karena skema (tujuan) kolonialisme yang sesungguhnya dan bersifat lestari ialah kontrol ekonomi dan pencaplokan SDA di wilayah koloni. Menurut Dirgo D Purbo, ahli geopolitik Indonesia, “Conflict is the protection oi flow and blockade somebody else oil flow”.

Dengan demikian, melacak sumber dari sebuah tema —perang asimetris contohnya— harus ditelusuri dulu baik asal-usul kolonialisme, ideologi dasar, maupun watak pergerakan. Tak boleh dipungkiri, bahwa perilaku geopolitik para adidaya di era imperialisme, tak lain karena dipicu oleh Revolusi Industri (1750-1850) sebagai motifnya. Bila membahas motivasi, memang ia dianggap sebagai rujukan pokok sebuah ‘perilaku’ apapun, kapanpun dan dimana pun berada. Revolusi Industri melanda belahan Dunia Barat diawali dari Inggris, kemudian menyebar ke Eropa Barat, Amerika Utara, Jepang, dan akhirnya merambah hampir ke seluruh dunia.

Dan sebagai konsekuensi logis industrialisasi tadi, akhirnya menjadi faktor utama dari negara – negara Barat meluaskan “kepentingan nasional” (motivasi) yang mutlak harus dipenuhi agar sektor-sektor industrinya terus berjalan. Inilah titik mula imperialisme dan/atau kolonialisme di muka bumi, mengapa demikian? Betapa industrialisasi —ketika itu, bahkan hingga kini—telah dianggap semacam ‘peradaban baru’ — menggantikan peradaban (cocok tanam) sebelumnya. Sementara imperialisme itu sendiri dapat diartikan sebagai kebijakan perluasan kekuasaan atau otoritas suatu imperium terhadap bangsa-bangsa atau negara-negara lain dalam rangka meraih wilayah koloni demi memenuhi kepentingan nasional. Dan tak boleh dielak, bahwa imperialisme adalah benih serta varian awal daripada mekanisme kolonialisme di dunia.

Demikian juga dengan kapitalisme sebagai ideologi, maka menyingkat sub bahasan ini dapat dijelaskan, bahwa ekonomi neoliberalisme (neolib) adalah varian terbaru kapitalisme dimana watak dasar kapitalisme adalah: (1) mencari bahan baku semurah-murahnya; dan (2) mengurai/menciptakan pasar seluas-luasnya. Maka pantas saja bila penjajahan merupakan metode bakunya!

Dari hal di atas maka singkatnya, secara tersirat bahwa model ekonomi neolib merupakan bibit atau benih-benih daripada asymmetric warfare. Inilah model kedua dari perang asimetris sebagaimana diulas di atas, selain ‘Gerakan Massa” sebagai model pertamanya.

Selanjutnya, menurut Giersch (1961), neolib adalah sebuah sistem perekonomian yang dibangun atas tiga prinsip, antar lain adalah: (1) tujuan utama ekonomi liberal adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar; (2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui; dan (3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penertiban undang-undang.

Merujuk tiga prinsip Giersch di atas, bahwa peran negara dalam neolib dibatasi hanya pengatur dan penjaga bekerjanya mekanisme pasar. Akan tetapi dalam perkembangannya —sesuai paket Konsensus Washington— maka peran negara ditekankan kepada empat hal, antara lain: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan; (3) liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN (Stiglitz, 2002).

Tak boleh dipungkiri, bahwa muara dari prinsip-prinsip ekonomi neolib dan Konsensus Washington sesuai penjelasan Giersch dan Stiglitz di atas, tidak lain dan tak bukan adalah Structural Adjusment Progammes (SAPs)-nya International Moneter Fund (IMF) dimana butiran-butirannya sebagai berikut: (1) perluas kran impor dan adanya aliran uang yang bebas; (2) devaluasi; (3) kebijakan moneter dan fiskal dalam bentuk: pembebasan tarif kredit, peningkatan suku bunga kredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak, kenaikan harga kebutuhan publik.

Dari diskusi singkat di atas, tak boleh dipungkiri, bahwa varian terbaru ekonomi neolib kini ada, riil, dan berada (existence) pada SAPs-nya IMF, dan ia merupakan instrumen bagi IMF untuk mengendalikan negara kreditur, serta tak boleh dielak inilah SUMBER dari asymmetric warfare melalui pintu “Kebijakan Negara.” Itulah bentuk atau model kedua perang asimetris —selain model pertamanya ialah gerakan massa— sebagaimana diulas di muka.

Contoh kasus. “Marak”-nya flu burung misalnya, pada perang nirmiliter hanyalah sekedar ISUE permulaan, karena TEMA yang akan diangkat kemudian ialah daging langka/mahal, sedang SKEMA-nya adalah memperluas impor daging sebagaimana butiran SAPs-nya IMF. Atau, isue beras langka, atau beras mahal pun demikian — itu cuma tebaran isue karena niscaya akan disusul dengan agenda/tema untuk memperluas impor. Dalam konteks ini, perluasan impor bisa jadi cuma sekedar tema, namun boleh jadi merupakan skema gerakan. Tergantung keadaan. Artinya, jika perspektif asimetris memandang perluasan impor hanya sekedar tema, maka skema yang akan dijalankan atau ditancapkan ialah ekspansi korporasi-korporasi pangan milik asing guna menguasai kantong-kantong logistik di sebuah negara (baca: Siaran Pers Global Future Instiute (GFI) Daulat Pangan dalam Bahaya).

Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.

Penulis: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com