Mengenang Dr Paulo Freire, Mentor Pendidikan Kaum Tertindas

Bagikan artikel ini
Gambar mungkin berisi: teks yang menyatakan 'PAULO FREIRE PENDIDIKAN KAUM TERTINDAS'
Kemarin asyik baca ulang sebuah buku klasik karya Dr Paulo Freire, pakar pendidikan dan pengajaran Brazil yang bertajuk: “The Pedagogy of the Oppressed. Pendidikan Buat kaum Tertindas. Buku yang saat saya mahasiswa dulu ibarat buku panduan buat pergerakan sosial.
Namun ada yang sepertinya luput dalam sorotanku saat baca buku ini waktu mahasiswa, betapa dalam prakonsepsi Dr Freire dari awal, musuh utama Freire dan para mitra kerjanya kala itu, yang jadi penyebab terjadinya ketidakadilan sosial adalah Neoliberalisme. Bahkan kawan-kawannya di komunitas akademik yang sejatinya penganut sosialis-demokrat versi Neolib, juga merupakan musuhnya dalam selimut.
Betapa tidak disebut musuh dalam selimut. Universitas Harvard, suatu ketika pernah membuat kurikulum tentang Politik dan Literasi, namun dengan sengaja para akademisi Harvard yang berhaluan liberal menghapus Paulo Freire sebagai salah satu pakar rujukan. Menurut beberapa kalangan, itu sama saja membahas politik dan bahasa tapi menyingkirkan Noam Chomsky dari wacana akademik.
Maka itu, meskipun Paulo Freire sudah wafat pada 1997 lalu, dan bukunya sudah terbit selama 30 tahun dengan tiras mencapai 750 ribu eksemplar, isi buku tetap relevan hingga sekarang. Khususnya saat sekarang ketika di Eropa, Amerika dan Asia, demokrasi berbasis neoliberalisme yang dipraktekkan sejak dekade 1980an, mulai disadari sebagai kedok untuk menutupi ketidakadilan sosial-ekonomi dan sosial-budaya masyarakat di negara-negara berkembang seperti Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Timur-Tengah.
Paulo Freire - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Salah satu tesisnya yang bikin kaum liberal ketar-ketir adalah, keberhasilannya menyadarkan rakyat betapa yang namanya sejarah adalah momentum untuk menciptakan berbagai kemungkinan baru. Bukannya untuk menyerah kepada keadaan.
Fitrah manusia, kata Friere, bukannya untuk jadi penonton dunia. Tapi mengubah dunia. Maka itu, cari tahu apa penyebab timbulnya ketidakadilan dan penindasan, lalu carikan solusi pemecahnnya.
Pemahaman baru, akan melahirkan sebuah model baru atau skema baru, dan tentunya harapan baru.
Maka itu pendidikan bagi kaum tertindas dalam konsepsi Freire adalah untuk membebaskan, bukannya untuk memaklumi keadaan, apalagi membenarkan sistem ketidakadilan yang ada sekarang.
Pendidikan yang membebaskan bagi kaum tertindas, berarti harus melahirkan manusia-manusia baru, yang memahami apa penyebab adanya ketidakadilan, dan sistem seperti apa yang melestarikan ketidakadilan tersebut. Maka dengan itu, ide kreatif yang disuburkan oleh pandangan kritis lewat pendidikan menurut konsepsi Freire ini, akan melahirkan pergerakan sosial yang inovatif.
Bukan ditujukan buat melenyapkan para penindas lalu kemudian menjadi penindas2 baru, melainkan mengubah sistem yang jadi penyebab penindasan.
Inilah yang harus menginspirasi kita semua di tanah air. Betapa selama ini yang namanya kaum oposisi, belumlah bisa dikatakan sebagai manusia-manusia baru yang dimaksud oleh Dr Freire. Melainkan hanya orang-orang yang seoalh-olah berada di barisan kaum tertindas, padahal hanya ingin menyerupai kaum penindas. Biasanya orang-orang yang model begini, di alam bawah sadarnya beranggapan bahwa mustahil bagi rakyat untuk memprakarsai adanya perubahan.
Quatro Cinco Um: a revista dos livros - Paulo Freire aos quadrados
Tesis dan pemikiran Paolo Freire membuktikan sebaliknya. Rakyat bisa mengubah keadaan, seiring lahirnnya manusia-manusia baru yang sudah paham apa penyebab ketidakadilan, dan tahu apa resepnya buat mengubah keadaan.
Dan Dr Freire perjuangannya tidak sia-sia. Setahun setelah wafatnya pada 1997, Amerika Latin mulai diguncang perubahan seiring lahirnya manusia-manusia baru seperti Hugo Chavez di Venezuela, Ivo Morales di Bolivia, maupun pemimpin-pemimpin kerakyatan lainnya di Chile, Brazil dan Guatemala. Mereka-mereka inilah para pemimpin yang lahir dari rahim rakyat, dan rahimnya revolusi.
Setelah saya reunungkan kembali buku ini, sontak tersadar. Bahwa yang ditakuti penguasa dan kaum mapan dari pendekatan Dr Freire ini adalah potensinya untuk menciptakan ikatan radikal di kalangan masyarakat untuk melawan sistem ketidakadilan.
Boleh jadi, program de-radikalisasi yang sekarang digencarkan oleh berbagai ormas maupun badan anti-terorisme, bukan karena takut terhadap radikalisme Islam, fundamentalisme Islam atau Wahabi. Namun potensi ideologisnya  untuk menciptakan ikatan radikal di kalangan rakyat dari berbagai kelompok kecenderungan ideologi, aliran maupun ras-antar golongan, untuk mengubah keadaan.

Selain itu ada segi lain yang juga menarik dari isi buku Freire ini. Waktu baca ulang karya Paulo Freire, ada yang menggelitik benak saya saat ini. Bahwa waktu buku ini diluncurkan pada pada 1968 dalam bahasa Brazil, yang disusul dalam versi Inggris pada 1970. Bahwa Dr Freire uniknya diserang dari dua kutub ideologi yang sebenarnya justru berlawanan. Kaum kanan menuduh Freire ini penganut kiri radikal, sementara kaum kiri ortodoks lucunya menuduh Freire ini kontra revolusioner.

Sebab Freire dalam tesis bukunya, mengajukan cara pandang baru dalam memahami sejarah. Freire menentang dua mahzab yang dianut oleh dua kelompok ideologi yang sesungguhnya justru bermusuhan di medan politik.
Kaum kanan memandang sejarah itu statis, bahwa masa kini yang terhubung dengan masa lalu, pada hakekatnya masa lalu dan masa kini itu sesuatu yang berkelanjutan. Jadi ngapain juga ngomongin atau bahas masa depan. Begitu kira-kira jalan berpkir kaum kanan.
Sebaliknya kaum kiri ortodoks beranggapan bahwa masa depan itu sudah ditentukan sebelumnya, jadi tunggu saja sampai situasi itu muncul dengan sendirinya. Nggak usah repot-repot mikiran masa kini apalagi masa depan. Karena tahapan feodalisme, borjuasi kapitalis hingga masyarakat tanpa kelas, akan tiba dengan sendirinya.
Freire melihat cara pandang kaum kanan maupun kiri ortodoks ini sama sama nggak beresnya. Karena membuat orang jadi fatalis dan masa bodoh. Kalau kaum kanan memandang masa kini adalah kelanjutan masa lalu dan nggak ada perubahan, lalu kaum kiri ortodoks memandang sejarah itu gerak garis lurus yang nggak bisa dikutak-katik antara masa lalu, masa kini dan masa depan, betapa tidak menariknya dunia ini, pikir Freire.
Secretário da Educação da cidade de São Paulo (1989-1991) | Masnat - Conhecimento Nômade
Makanya kemudian Freire tergerak menawakan tesis baru dalam memandang sejarah. Sejarah itu merupakann upaya manusia untuk menciptakan berbagai kemungkinan baru. Manusia itu fitrahnya adalah mengubah dunia, bukan menonton atau sekadar memahami dunia. Dan masa depan itu masih goib. Jadi penuh dengan segala macam peluang dan kesempatan. Maka motonya yang terkenal adalah: Reading the Word, Reading the World.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI) 
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com