Menggugat “Doktrin Usang Zbigniew Brzezinski” Tentang Hegemoni Global AS Berbasis Unipolar

Bagikan artikel ini

Pasukan tempur Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) saat ini meningkat dari 40 ribu sekarang meningkat menjadi 300 ribu di kawasan Asia, baik berupa kehadiran pasukan militer di pelbagai negara Asia, maupun yang terjalin lewat persekutuan militer dengan beberapa negara di kawasan Asia.

Dalam seperempat abad terakhir, NATO telah melancarkan invasi militer ke Yugoslavia, Afghanistan, Irak, Libya dan Suriah. Yang berakibat tewasnya satu miliar jiwa manusia baik militer maupun sipil.

Sekadar kilas balik sejenak. 25 tahun yang lalu Zbigniew Brzezinski, penasehat kebijakan luar negeri dan keamanan nasional dari beberapa presiden AS, mengatakan bahwa kendali kontrol AS terhadap kawasan Asia dan Eropa merupakan sesuatu yang esensial dan mutlak untuk mempertahankan hegemoninya. Maka itu kerjasama yang erat dan solid antara Eropa, Rusia dan Cina harus dicegah dengan segala cara.

Sekadar perbandingan silahkan baca artikel Marc Vandepitte:

 War in Ukraine: Who are the Winners and Losers?

Mengutip kata-kata langsung Brzezinski: “The three grand imperatives of imperial geostrategy are to prevent collusion and maintain security dependence among the vassals, to keep tributaries pliant and protected, and to keep the barbarians from coming together.”

Pernyataan Brzezinski tersebut di atas itulah yang nampaknya bisa menjelaskan mengapa AS hingga kini berupaya mempertahankan Unipolar atau strategi global berbasis Pengkutuban Tunggal. Yang mana negara-negara mitranya baik di Eropa maupun Asia, dipandang oleh Washington sebagai negara-negara vasal atau negara-negara satelitnya.

Ilustrasi bendera negara-negara PBB.

Beberapa upaya membangun kemitraan atau persekutuan dengan negara-negara Asia seperti QUAD (AS, Australia, Jepang dan India) maupun AUKUS (AS, Australia, dan Inggris), sejatinya merupakan upaya menggalang skema kerjasama NATO yang diperluas ke pelbagai kawasan lain di luar Eropa seperti Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tenggara.

Namun demikian dalam beberapa tahun terakhir, kerjasama ekonomi antara Eropa dengan Cina dan Rusia justru semakin menguat. Namun demikian, meletusknya krisis Ukraina-Rusia, kerjasama Eropa dengan Rusia-Cina melemah Kembali. Sanksi ekonomi Eropa terhadap Rusia, telah memutus Kembali kerjasama ekonomi yang sudah terjalin begitu baik antara Eropa Barat dan Rusia.

Mantan Direktur Badan Intelijen AS Mike Pompeo juga sempat membuat pernyataan yang cukup provokatif: “We must prevent the formation of a Pan-Eurasian colossus incorporating Russia, but led by China,” begitu menurut Pompeo yang sempat menjabat menteri luar negeri AS hingga akhir masa kekuasaan Presiden Donald Trump.

Konskewensi logis dari kerangka pemikiran Pompeo maupun arahan geopolitik Brzezinski, AS memang tidak ada jalan lain kecuali memperkuat NATO pada skala yang maksimum. Termasuk dengan mengajak bergabung Swedia dan Finlandia.

Seturut dengan tekad AS, rasanya bukan suatu kebetulan ketika menteri luar negeri Inggris Liz Truss baru-baru ini mengusulkan terbentuknya Economic NATO.  Yaitu sebuah blok ekonomi negara-negara yang satu tujuan untuk membendung pengaruh Cina, seraya memutus mekanisme kerjasama ekonomi antara Rusia-Cina dengan Eropa Barat. Dengan begitu, tertutup celah yang memungkinkan terbangunnya kerjasama strategis Eropa dan Asia. Sehingga AS tetap bisa mempertahankan hegemoni globalnya berbasis Unipolar atau Pengkutuban Tunggal.

Namun demikian, trend global saat ini justru semakin mengarah pada kerjasama-kerjasama internasional berbasis Multipolar. Negara-negara Eropa Barat yang tergabung dalam Uni Eropa saat ini mulai menjalin kerjasama ekonomi dan perdagangan yang kian solid dengan Rusia dan Cina.

Banyak negara-negara dari pelbagai kawasan di luar Eropa, tidak bisa memahami mengapa Uni Eropa dengan mudah begitu saja mematuhi gendang yang dimainkan AS dan Inggris.

Maka polarisasi yang tak terhindarkan seturut meletusnya krisis Ukraina-Rusia, adalah antara negara-negara yang ingin mempertahankan Unipolar vs negara-negara yang pro Multopolar, yang mana termasuk diantaranya Rusia dan Cina, maupun negara-negara sedang berkembang yang saat ini berupaya menyejajarkan diri dengan negara-negara maju dari blok G-7 plus AS.

Mencermati pergeseran trend global yang sedang berproses menuju Multipolar, gagasan Marc Vandepitte agar media-media alternatif agar semakin serius dan efektif memainkan perannya untuk mengimbangi politik pemberitaan media-media arus utama di Barat yang sepertinya menutup mata terhadap pergeseran tren globa dari Unipolar ke arah Multopolar. Yang mana secara alami memosisikan Cina dan Rusia sebagai simpul-simpul alternatif terhadap hegemoni global AS dan Inggris yang selama ini  bertumpu pada Unipolar atau Pengkutuban Tunggal.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

SARAN BACAAN:

Untuk mendalami secara lebih rinci gagasan Zbigniew Brzezinski silahkan baca bukunya yang bertajuk   The Grand Chessboard: American Primacy and Its Geostrategic Imperatives. New York: 1997

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com