Bencana Geopolitik dan Jebakan Utang

Bagikan artikel ini
Catatan Kecil Asymmetric War
Apapun alasannya, pengambilalihan pelabuhan udara (bandara) Halim Perdana Kusuma oleh pihak swasta merupakan realitas power concept dalam geopolitik, bahwa power (kuasa) ekonomi di Indonesia kini lebih di depan daripada power militer. Fakta ini tak boleh dielak. Apakah peristiwa tersebut terjadi pula di negeri lain?
Retorika genit pun muncul, “Apakah fenomena tersebut tergolong manuver asing via swasta untuk melemahkan militer khususnya angkatan udara secara asimetris, sistematis, bahkan struktural?” Kita lanjutkan catatan tak ilmiah ini.
Geopolitik mengajarkan, bahwa simpul-simpul transportasi baik pelabuhan laut (seaport) maupun airport alias bandara adalah ‘objek vital negara’ yang mutlak harus dijaga serta dikelola oleh negara cq pemerintah itu sendiri. Itulah salah satu praktik dan cara merawat kedaulatan.
Dari perspektif geopolitik, bahwa suatu jengkal wilayah misalnya, entah airport, seaport, jengkal tanah, bahkan sepetak wilayah di udara dianggap sisi lain ‘simbol kedaulatan’ sebuah negara. Apabila jengkal tersebut dikuasai asing, dijadikan pangkalan militer, contohnya, atau dijadikan basis tertentu entitas yang tak berhak dan seterusnya, itulah ujud tergerusnya geopolitik oleh pihak luar.
Qatar misalnya, sekaya apapun dia — ketika bercokol pangkalan militer asing di sana, artinya geopolitik Qatar telah tergerus. Marwah kedaulatannya turun. Makanya Indonesia selalu menolak tawaran Defence Cooperation Agreement (DCA) dengan Singapura semata-mata karena faktor kedaulatan. Bukankah FIR di atas Riau dan Natuna baru saja ‘clear‘ setelah sekian dekade dikelola Singapura, kok petak udara Natuna mau dipakai latihan angkatan udara Singapura melalui DCA?
Kembali ke Bandara Halim. Ketika unsur swasta ikut masuk dalam pengelolaan airport, entah sharing saham misalnya, atau pernyertaan modal, apalagi sampai take over secara penuh seperti Hambantota, pelabuhan laut di Sri Lanka, maka itulah potret geopolitik yang tergerus secara nirmiliter. Ya. Tanpa melalui peperangan, Sri Lanka menyerahkan Hambantota kepada pihak asing akibat gagal bayar utang (default).
Sekali lagi, apapun alasannya — entah sebab perjanjian B to B, G to G, apalagi karena default, lalu pengelolaan airport, seaport, atau sejengkal wilayah diberikan kepada pihak swasta/asing, maka peristiwa tersebut layak disebut bencana geopolitik, bahkan boleh juga dikatakan bencana kedaulatan.
Mengapa?
Dulu, otoritas Cina pada masanya terpaksa dan dipaksa menyerahkan 11 (sebelas) pelabuhan lautnya kepada Britania Raya akibat Cina menderita kekalahan pada Perang Candu I (1839-1842) dan Perang Candu II (1856-1860) melawan kolonialis Inggris.
Tak bisa dipungkiri, salah satu kredo legenda British Geopolitics (BG) yang sekarang diadopsi beberapa adidaya dalam meluaskan teritori serta hegemoninya ialah: “Caplok dulu simpul – simpul transportasi, setelah itu merambah serta merebut ke sektor lainnya”. Itu poin inti BG. Jika dulu Inggris merebut pelabuhan – pelabuhan Cina melalui power militer seperti dalam Perang Candu — kini banyak airport, seaport dan lain-lain dicaplok hanya lewat power ekonomi. Nirmiliter.
Dari diskusi di atas, sekurang-kurangnya, ada dua hikmah penting sejarah yang bisa dipetik terutama hikmah Perang Candu, antara lain:
Pertama, secara geopolitik, simpul-simpul transportasi khususnya seaport dan airport merupakan unsur sangat urgen bagi (kedaulatan) sebuah negara. Alasan apapun, tidak boleh diserahkan pengelolaannya kepada swasta, apalagi kepada pihak asing;
Kedua, penyerahan jengkal wilayah baik di darat, di laut maupun di udara kepada asing tidak serta merta, tetapi kerap dipertahankan secara ketat bahkan dipertaruhkan melalui kancah peperangan secara total. Itu learning point-nya.
Tetapi, itu cerita masa lalu. Sejarah heroik tentang praktik geopolitik tempo doeloe. Hari ini, tak sedikit narasi penyerahan airport, seaport, dan jengkal wilayah kepada asing tanpa ada letusan peluru. Tanpa asap mesiu. Cukup nyoh, silakan dikelola atas nama perjanjian, default, atau traktat nirmiliter.
Kenapa demikian?
John Adams (1735-1860), Presiden Amerika Serikat (AS) ke-2, juga Wapres pertama di AS memiliki tesis yang hingga kini relevansi kebenaran relatif akurat:
“Ada dua cara memperbudak dan menaklukkan sebuah bangsa. Pertama dengan pedang, kedua melalui utang.”
Nah, beberapa negara di bawah ini merupakan bukti akurasi tesisnya John Adams. Ya. Hanya gara-gara default, pengelolaan Hambantota, Sri Lanka, diserahkan ke otoritas asing selama 99 tahun; atau Montenegro menyerahkan pembangunan jalan dari Port of Bar, Montenegro ke Beograd, Serbia, kepada Cina; Tajikistan memberi konsesi kepada Cina untuk mengembangkan tambang emas Kumang dan Duoba Timur; Djibouti mengizinkan asing untuk mendirikan pangkalan militer di wilayahnya, dan lain-lain.
Sekali lagi, semua contoh kasus di atas disebabkan faktor default alias gagal bayar utang sesuai tesis Adams. Dalam praktik, memang tak melulu airport dan seaport, bisa berupa jengkal tanah lain seperti kasus di Montenegro, di Djibouti dan lain-lain.
Poin inti bencana kedaulatan ialah penyerahan sejengkal wilayah kepada pihak yang tidak berhak secara geopolitik. Inilah yang kerap berlangsung secara sistematis dan masive di pelbagai belahan bumi.
Sangat memprihatinkan. Memang. Materi geopolitik diajarkan di berbagai lembaga pendidikan tinggi nan strategis, tetapi cuma dijadikan wacana, sekedar bahan diskusi, seminar dan lain-lain tanpa ada tindak lanjut dalam praktik berbangsa dan bernegara.
Teringat nasehat geopolitik Panglima Soedirman dahulu: Pertahankan rumah serta halaman pekarangan kita sekalian“.
End
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com