Menghebatnya Kritik Media Massa Kepada Presiden SBY

Bagikan artikel ini

Satya Dewangga, peneliti muda pada Kajian Nusantara Bersatu, Jakarta. Alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia

Diakui atau tidak, dewasa ini memang ada suasana pemberitaan media massa yang banyak diantaranya tidak menguntungkan Partai Demokrat dan kepemimpinan Presiden SBY. Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR RI Nurhayati Assegaf secara khusus telah mengadakan pertemuan pers di lingkungan DPR RI, dimana ia dengan nada protes dan marah menyatakan ketidaksenangannya kepada perilaku media massa yang terus menerus mengungkapkan berita-berita negatif yang tertjadi dalam masyarakat serta mengkaitkannya dengan keluarga Cikeas cq keluarga Presiden SBY, sedangkan Cikeas dihuni oleh ribuan keluarga.

Dalam sebuah media online tanggal 10 Desember 2013 dimuat tulisan berjudul “Protes SBY kepada Media Massa” berisi antara lain, SBY adalah presiden yang paling banyak mengeluhkan media massa. Bukan lantaran masa jabatannya paling lama di antara empat presiden pasca-Orde Baru, tetapi frekuensi keluh kesahnya memang tinggi dibanding tiga pendahulunya. Habibie nyaris tidak pernah komplain atas pem beritaan media. Dia berterus terang, tidak membaca koran dan nonton berita secara rutin. Tidak punya waktu, katanya. Tapi komitmen atas kebebasan pers, tidak diragukan. Pada masa Habibie, izin penerbitan dicabut. Pada masa dia pula undang-undang yang menjamin kebebasan pers disahkan. Gus Dur adalah kawan lama pers. Tidak ada tokoh pers zaman Orde Baru yang tidak dekat dengan Gus Dur. Karena itu, meskipun banyak kalangan (melalui media massa) mempertanyakan “moral politik” pencalonannya sebagai presiden, tetapi ketika terpilih, semua media sepakat mendukung kepemimpinannya.Tapi bulan madu Gus Dur dan media, hanya berlangsung satu tahun. Setelah itu, media mengritisi semua kebijakan dan tindak tanduknya. Media juga yang mengopinikan agar Gus Dur turun, karena langkah-langkah kontroversialnya dianggap sudah kebablasan, sehingga mengancam stabilitas politik. Dari kawan, Gus Dur menjadi lawan media. Tidak hanya mengritik secara terbuka media yang menyerangnya, Gus Dur kerap menuding beberapa nama tokoh media yang jadi sumber tidak netralnya media. Kegeraman Gus Dur terhadap media ini yang mendorong Banser Jawa Timur menyerbu kantor koran Jawa Pos hingga tidak bisa terbit.

Lain Gus Dur, lain Mega. Sebagai presiden yang irit bicara, Mega tidak pernah mengritik media secara terbuka. Kesan dan pesannya disampaikan saat pidato hari pers. Tapi bukan berarti Mega tidak punya masalah. Dia juga komplain, tetapi itu dilakukan di kalangan terbatas. Orang media pun mendengar selentingan komplainnya dari orang lain.

Terpilihnya SBY sebetulnya tidak lepas dari dukungan media. Ia berhasil memanfaatkan situasi buruk yang dialaminya saat-saat akhir dalam pemerintahan Mega. Tekanan keras Taufiq Kiemas dan orang-orang PDIP yang dipublikasikan secara luas oleh media, justru berbuah manis: menjadi pihak teraniaya yang harus dibela.

Menjelang Pilpres 2004, dukungan media kepada SBY-Kalla sangat kuat. Meskipun Jawa Pos Grup tidak pernah terang-terangan pro-SBY-Kalla dalam tajuknya, namun pilihan foto, berita dan judul, menunjukkan jelas dukungan media milik Dahlan Iskan ini kepada SBY-Kalla. Ini berlanjut pada SBY-Boediono menjelang Pilpres 2009.

Namun yang paling terasa kongkrit adalah dukungan dari TransTV dan Trans7 milik Chairul Tanjung. Dukungan tidak hanya diberikan melalui liputan kampanye Partai Demokrat dan SBY-Boediono, tetapi juga momen-momen politik yang disiarkan secara langsung selama berjam-jam. Lalu kalau kini SBY sering mengeluhkan media, apa masalahnya? Sesungguhnya selama berkuasa keluhan SBY lebih banyak bersifat kritik. Ini penting buat media, karena media juga perlu diingatkan agar berjalan sesuai prinsip kebebasan pers yang dimilikinya.

Namun belakangan kritik SBY semakin kencang. Bukan keluh kesah lagi, tapi protes karena merasa diperlakukan tidak adil. Protes keras SBY ini yang lalu didengungkan oleh para pembantunya di pemerintahan, seperti Sudi Silalahi dan Dipo Alam, serta anak buahnya di Partai Demokrat, seperti Ruhut Sitompul dan Ramadan Pohan.

Tapi sayang protes keras SBY, sering, bahkan selalu, salah sasaran. SBY seakan tidak sadar, bahwa media itu plural, beragam. Banyak media yang bersikap fair atas apa yang dilakukannya, baik sebagai presiden maupun ketua partai. Sorotan tajam memang harus diarahkan kepadanya, karena tindak tanduk dan keputusan punya dampak luas.

Oleh karena itu, jika ada media yang tidak fair terhadap dirinya, SBY mestinya sebut nama media itu. Tidak perlu digeneralisasi sehingga menimbulkan kesan buruk orang media terhadap dirinya. Toh semua orang sudah tahu, sesungguhnya SBY protes atas pemberitaan TvOne dan Metro TV. Lalu mengapa media lain harus diperlakukan sama dengan televisi milik Aburizal Bakrie dan Surya Paloh itu.

Faktor Pokok

Tulisan ini mencari faktor pokok yang menjadi sebab hilangnya simpati media massa kepada Partai Demokrat dan Presiden SBY. Suasana pemberitaan media massa yang semakin tidak convenient bagi Partai Demokrat pada umumnya dan Presiden SBY pada khususnya, nampaknya akan terus berlanjut, menyertai perkembangan pada semua aspek yang ternyata hampir semuanya mengundang kekecewaan masyarakat.

Kekecewaan yang terberat dari masyarakat adalah perkembangan ekonomi yang pada tahap kurang dari satu tahun berakhirnya pemerintahan Presiden SBY, bayangan optimisme bahwa keadaan sepeninggal Kabinert KIB II adalah kesejahteraan ternyata tidak nampak. Bahkan ada media massa yang menulis dengan dramatis pemerintahan Presiden SBY pada tahun 2014 akan meninggalkan kemiskinan. Ketahanan pangan sebagai salah satu kepentingan rakyat Indonesia, nampak diragukan oleh berbagai langkah Pemerintah yang tidak menuai harapan positif, tetapi kekhawatiran-kekhawatiran misalnya apa manfaat yang bisa diharapkan rakyat Indonesia dari WTO yang didukung Pemerintah, namun penuh kontroversial kemanfaatannya. Indonesia dalam semua bahan kebutuhan pokok menggantungkan pemenuhannya kepada import, termasuk garam dan gula.

Dibidang sosial budaya masyarakat setelah tahun 2014 akan ditinggalkan dalam suasana tanpa landasan yang jelas bagaimana kerukunan hidup beragama dapat dilanjutkan oleh masyarakat Indonesia. Tidak ada satupun referensi yang dapat dimanfaatkan masyarakat menghadapi akan semakin banyaknya konflik kepentingan dalam masalah pembangunan rumah ibadah oleh golongan minoritas dan bagaimana mengendalikan potensi konflik  antar aliran agama yang sangat potensial untuk terjadi. Semua masalah konflik antara umat beragama ternyata dibiarkan menggantung tanpa kebijaksanaan pemecdahan yang jelas.

Sementara itu dibidang keamanan yang nota bene berkaitan dengan keutuhan NKRI, berbagai konsep dibiarkan ngambang tanpa ketegasan sikap baik yang tejadi didalam masyarakat Aceh maupun Papua. Di Aceh, masalah bendera Bulan Bintang seperti ngambang tanpa kebijaksanaan dasar yang jelas, penanganan bendera Aceh seolah olah hanya bersifat teknis operasional dari tugas Kepolisian di daerah. Di bidang keamanan kenyataan masih adanya eksistensi unsur-unsur bersenjata OPM sekedar diperkecil arti politisnya dengan menyebut sebagai kelompok sipil bersenjata dan penanganannya bersifat teknis kepolisian.
Sejarah selama ini menyatakan kegiatan separatis bersenjata harus ditumpas secara militer apapun risikonya yang penting keutuhan NKRI terjamin. Tidak ada negara yang menyembunyikan adanya gerakan separatisme di dalam negerinya dan menumpasnya secara militer, seperti sikap Pemerintah Srilangka menghadapi golongan separatis Tamil, India menghadapi gerilyawan Kashmir, Burma menghadapi suku Karen.

Sikap ragu-ragu menghadapi Pemerintah Australia yang jelas menganggap Indonesia sebagai bukan sahabatnya dengan terus dilakukannya penyadapan terhadap pesawat telpon pejabat-pejabat tinggi RI termasuk Presiden SBY.

Potensi ketidakpuasan yang luas aspeknya tersebut itulah sebenarnya sumber berbagai suasana negatif dalam pemberitaan  media massa yang gemanya terdengar  luas oleh  Partai Demokrat dan Presiden SBY melalui isu-isu harian yang juga tidak akan berhenti muncul, misalnya dalam masalah korupsi dan berbagai  kegiatan politik praktis, misalnya hampir tidak ada media massa yang memberikan apresiasi kepada penyelenggaraan konvensi Capres oleh Partai Demokrat.

Meningkatkan profesionalisme dan meminimalisir kesalahan, dua syarat agar tidak disoroti media massa.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com