Mengingatkan Kembali Implikasi Berakhirnya Perjanjian Senjata Nuklir Jarak Menengah (INF) di Kawasan Asia-Pasifik

Bagikan artikel ini

Dalam perjanjian INF pada yang ditandatangani oleh Presiden AS Ronald Reagan dan pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev pada 1987 itu, kedua negara dilarang mengembangkan rudal berhulu ledak nuklir yang bisa menempuh jarak 500 sampai 5500 kilometer.

Semangat nonproliferasi senjata nuklir di balik perjanjian INF tersebut pada perkembangannya berhasil mengondisikan berakhirnya  Perang Dingin pada akhir 1980-an dan awal 1990-an.

Namun pada Agustus 2019, Perjanjian Senjata Nuklir Jarak Menengah (INF)  yang secara sepihak dibatalkan oleh Presiden AS Donald Trump. Keputusan Trump tersebut bisa dipastikan akan mendorong Amerika Serikat semakin agresif membujuk negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara untuk memasang rudal-rudal  buatan  AS di kawasan ini. Dengan dalih untuk melawan kekuatan militer Cina.

Cina, Korea Utara, Jepang, Taiwan, Singapura, India dan Pakitan, akan memandang batalnya perjanjian INF sebagai isyarat bahwa pengawasan maupun perlucutan senjata tidak lagi sebagai norma-norma dan hukum internasional yang akan dipatuhi.

Sehingga negara-negara di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara seperti Cina, India, Pakistan, Korea Selatan dan Korea Utara, Jepang, Taiwan dan Singapura,  akan merasa punya alasan kuat untuk meningkatkan proliferasi aneka jenis persenjataan nuklir negaranya masing-masing.  Seperti sistem pertahanan antirudal seperti Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) maupun rudal balistik antarbenua (ICBM).

Khusus terkait Jepang, nampaknya negara sakura itu secara jelas dan terang-benderang mendukung keputusan Presiden Trump membatalkan perjanjian INF. Bahkan mendukung kebijakan militer AS yang semakin agresif di pelbagai kawasan dunia. Terutama di kawasan Asia, sehingga Jepang bersedia menjadi pemain kunci yang secara pro aktif mendukung postur persenjataan nuklir AS yang semakin agresif.

Apalagi dengan batalnya perjanjian INF, AS semakin merasa punya alasan kuat untuk mendesak Jepang dan Taiwan, untuk mengerahkan rudal jarak menengah berbasis darat milik AS di wilayah kedaulatan Taiwan, Jepang, dan bahkan juga Singapura di Asia Tenggara. Dengan dalih untuk melawan dan membendung angkatan bersenjata Cina yang semakin agresif.

Saat INF ditandangani oleh Reagan dan Gorbachev pada 1987, perjanjian senjata nuklir jarak menengah tersebut, berhasil menciptakan stabilitas strategis di kawasan Eropa. Perjanjian tersebut mencegah baik Amerika Serikat maupun Rusia mengerahkan rudal daratnya dengan jarak antara 500 hingga 5.500 kilometer.

Dengan demikian, perjanjian seperti INF itu menjadi penting untuk menciptakan perdamaian dan keamanan global.

Amerika Serikat memang seringkali menghentikan secara sepihak beberapa perjanjian persenjataan strategis. Seperti  Perjanjian Larangan Uji Nuklir Komprehensif (CTBT) pada tahun 1996. Dan juga Amerika Serikat secara sepihak menarik diri dari Perjanjian Rudal Anti-Balistik (ABM).

Perkembangan global terkini menyusul pembatalan sepihak pihak AS terhadap INF, akan mengarah pada tren global baru. Yang semula berdasarkan kerangka kebijakan strategis pengendalian dan pengawasan senjata nuklir, akan menjelma menjadi proliferasi dan meningkatnya perlombaan senjata nuklir di berbagai kawasan dunia. Khususnya Asia Pasifik.

Peluang satu-satunya yang paling efektif untuk mencegah semakin meningkatnya proliferasi senjata nuklir di Asia Pasifik adalah dengan menggalang negara-negara non senjata nuklir/non-nuclear states, untuk menegakkan   Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT).

Baca juga: Executive Summary Seminar Terbatas Global Future Institute (GFI) 30 April 2019

Seraya menekan negara-negara senjata nuklir untuk menghormati kewajiban NPT mereka untuk kembali ke meja perundingan. Selain itu perlu juga ditegaskan bahwa pengesahan Perjanjian Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Larangan Senjata Nuklir (TPNW) merupakan langkah terobosan penting dalam diplomasi internasional.

Trend global sebagaimana gambaran tadi, akan menciptakan kawasan Asia Pasifik yang tidak stabil, penuh ketidakpastian, dan potensi menuju peningkatan eskalasi militer yang semakin meluas menyusul semakin menajamnya persaingan militer AS dan Cina baik Semenanjung Korea maupun Laut Cina Selatan.

Sehingga resiko meletusnya perang nuklir di masa depan, atau mungkin juga dalam beberapa tahun ke depan, bukan tidak mungkin akan terjadi. Dengan demikian, keputusan Presiden Donald J Trump menghentikan secara sepihak perjanjian nuklir jarak mengah (INF) dengan Rusia, berarti Presiden Trump telah memicu timbulnya kembali proliferasi persenjataan nuklir di pelbagai kawasan dunia.

Dalam Seminar Terbatas Global Future Institute (GFI) 30 April 2019 bertajuk ” Mengantisipasi Meningkatnya Perlombaan Senjata Konvensional dan Proliferasi Senjata Nuklir di Asia Tenggara (Perspektif Politik Luar Negeri RI Bebas-Aktif). Terdapat beberapa rekomendasi yang kiranya masih relevan untuk menjadi solusi menciptakan perdamaian dunia melalui perlucutan senjata nuklir.

Menyikapi beberapa simpul pemikiran dan pandangan tersebut di atas, maka saatnya Indonesia untuk kembali memainkan peran aktif dalam perdamaian dunia. Khususnya dalam memprakarsai kembali perundingan-perundingan berskala multilateral dalam kerangka perlucutan senjata (Disarmament) dan pemeliharaan perdamaian (Peace Keeping).

Untuk itu, gagasan dan usulan dari Marsekal Pertama Adityawarwan dari Kementerian Pertahanan RI, patut kita jadikan titik-tolak pengembangan lebih lanjut. Yaitu mendorong negara-negara non-nuklir untuk menegakkan Non Proliferation Treaty (NPT). Menekan negara-negara nuklir menghormati NPT dan kembali ke meja perundingan.

Pendekatan Kepada negara-negara yang tergabung dalam NATO yang tidak setuju dengan kebijakan Presiden Donald Trump. Serta Membangun kerangka kerjasama dengan negara-negara non-nuklir untuk mengingatkan negara-negara nuklir terhadap kemungkinan dampak buruk bagi pengembangan nuklir yang tidak bertanggungjawab di masa depan.

Selain daripada itu, di forum negara-negara ASEAN sudah ada dua perangkat untuk mengembangkan lebih lanjut gagasan sebagaimana disampaikan Marsekal Pertama Adityawarman. Yaitu ZOFPAN. Zone of Peace, Freedom and Neutrality, Kawasan Damai, Bebas dan Netral. Yang merupakan tekad dan pernyataan sikap negara-negara yang tergabung dalam kawasan Asia Tenggara untuk menciptakan kawasan yang damai, bebas dan netral, dari semua campurtangan asing maupun sebagai sasaran perebutan wilayah pengaruh dari negara-negara adikuasa manapun.

Secara lebih spesifik lagi, ASEAN sudah mempunyai Southeast Asian Nuclear-Weapon-Free Zone Treaty (SEANWFZ). Yang mana negara-negara yang tergabung dalam ASEAN sepakat mengadopsoi rencana aksi SEANWFZ untuk mempercepat pembentukan kawasan bebas nuklir di Asia Tenggara.

Namun demikian, Laksamana Muda Robert Mangindaan mengingatkan, bahwa kedua perangkat yang sudah dimiliki ASEAN itu tidak akan bisa berhasil dan efektif untuk mencapai tujuan tersebut, jika Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, tidak memainkan peran kepemimpinan.

Kata kuncinya adalah Indonesia harus memainkan peran kepemimpinan di ASEAN. Sebab kohesifitas atau kekompakan ASEAN sebagai entitas politik regional saat ini masih dipertanyakan. Maka dari itu, menarik ketika beberapa peserta aktif maupun beberapa narasumber seminar, menegaskan betapa pentingnya Indonesia saat ini memiliki pemimpin yang kuat, tapi juga visioner dan imajinatif. Dalam menjabarkan politik luar negeri RI bebas-aktif sesuai dengan perkembangan dan tantangan zaman.

Maka itu, atas saran dan tawaran dari Global Future Institute, berbagai komponen strategis bangsa, khususnya pemangku kepentingan/stakeholders kebijakan luar negeri RI, untuk menyerap dan mempelajari kembali success story para bapak bangsa kita dahulu, ketika memprakarsai Konferensi Asia-Afrika Bandung 1955, dan Gerakan Negara-Negara Nonblok Beograd 1961.

Sehingga mengilhami dan menginspirasi lahirnya gagasan-gagasan strategis terbentukya forum-forum internasional yang diprakarsai negara-negara berkembang yang masuk kategori non nuclear state/negara-negara nonnuklir, untuk mendesak dan memaksa negara-negara adikuasa dan negara-negara maju, untuk menghentikan perlombaan senjata nuklir di Asia Pasifik, dan Asia Tenggara pada khususnya. Demi terciptanya perdamaian dunia.

Selain itu, gagasan untuk membuka kembali perundingan-perundingan strategis yang didasari gagasan ke erah perlucutan senjata nuklir ala INF, merupakan suatu keharusan untuk mengikutsertakan juga Rusia dan Cina maupun negara-negara Asia yang masuk kategori nuclear state seperti Iran, Korea Utara, India, dan Pakistan. Atas dasar gagasan untuk menciptakan perimbangan kekuatan antar negara-negara.

Menyadari kenyataan semakin mengkhawatirkannya stabilitas dan keamanan regional baik di Asia Timur maupun Asia Tenggara akibat meningkatnya perlombaan senjata nuklir menyusul berakhirnya Perjanjian Nuklir Jarak Menengah (INF) pada Februari lalu, Muhammad Anthoni, wartawan senior Kantor Berita Antara, mewakili perspektif Media, mendesak berbagai pelaku media di Indonesia, harus semakin melek, peka dan waspada, dalam merespons dan membaca tren global dan perkembangan internasional yang semakin dinamis dewasa ini.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute

 

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com