Membaca Tabrakan Gelombang dan Implikasi Geopolitik

Bagikan artikel ini

Karena terlalu lama berada di zona nyaman —sehingga lupa diri— Amerika terus berupaya mempertahankan hegemoni fiat money (uang kertas) tanpa mencermati atau abai terhadap lingkungan strategis yang kuat bergerak. Sedang Cina di sisi lain, ia cerdik mengikuti (gerak) irama gelombang cq revolusi industri 4.0 bahkan berambisi menjadi pengendali perubahan dengan menerbitkan crypto currency (uang digital).

Maka bisa ditebak, pertempuran bertajuk benturan alias tabrakan gelombang terjadi powerful. Sudah tentu, side effect benturan tersebut menciptakan riak-riak, ombak, bahkan menimbulkan pusaran air di medan geopolitik, trade war contohnya, atau merebaknya Covid-19, ataupun ketegangan militer di Laut Cina Selatan, dan lain-lain itu riak dan ombak semata. Dan inilah sekilas kondisi global kontemporer dari perspektif (filosofi) geopolitik.

Bagi pengamat, para analis senior, ataupun peneliti geopolitik, narasi di atas hanyalah open agenda belaka. Ya. Peristiwa tersebut selain dianggap hal-hal di atas permukaan, narasi tadi juga bukanlah sesuatu yang sesungguhnya berlangsung.

Lantas, apa yang terjadi di bawah permukaan?

Secara (filosofi) narasi, inilah peperangan besar seperti halnya Perang Dunia (PD) I dan PD II tempo doeloe. History repeats itself. Sejarah niscaya berulang dengan pola yang sama, hanya waktu, kemasan dan aktornya berbeda. Sekali lagi, konflik ini berlangsung senyap, masiv dan sistematis tetapi tanpa letusan peluru sama sekali namun berdaya rusak sangat tinggi. Tidak hanya korban jiwa, tetapi kelumpuhan ekonomi, hancurnya moral politik, tergerusnya daya spiritual hampir semua religi, juga tercerabutnya budaya dan local wisdom. Betapa super canggihnya si pemilik hajatan meremot dari balik layar.

Lalu, bagaimana peperangan yang sebenarnya?

Peperangan besar kali ini tidak sekedar hitam putih. Bukan antara bidak merah melawan bidak biru, bahkan papan caturnya pun ikut pula bermain. Inilah peperangan tanpa asap mesiu. Konflik meluas antara non-state actor (aktor non-negara) versus state actor (aktor negara) dengan menggunakan masing-masing proxy. Kenapa? Bahwa seusai Cold War dahulu, geopolitik telah memberi isyarat kepada publik global, “Kelak bakal muncul bentuk baru ancaman keamanan. Dan ancaman dimaksud bukanlah serangan militer dari/oleh suatu negara kepada negara lain, tetapi bentuk baru ancaman keamanan tersebut berupa tindak kejahatan yang dilakukan oleh non-state actor kepada state actor“. Dan agaknya, inilah yang sekarang tengah berlangsung secara senyap.

Maka bacalah! Bacalah pada tiap negara, termasuk di negaramu sendiri.

Bacalah!

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com