Mengkaji Gejolak Mesir dari Perspektif Geopolitik Jalur Sutera (Bag-1)

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Research Associate GFI

Menarik sekali menyimak maraknya telaah ataupun kajian dari berbagai sudut pandang terkait jatuhnya Mohamad Morsi di Mesir. Ada yang menganggap sebagai kegagalan demokrasi, atau menilai masih kuatnya militer dalam sistem pemerintahan Negeri Piramida, atau ternyata Ikhwanul Muslimin (IM) tidak memiliki akar (politik) kuat, dan lain-lain. Bahkan Prof. Rodney Shakespeare menilai karena dominasi rezim Israel yang selama ini mengganggu stabilitas di Timur Tengah.

Mengkaji gejolak Mesir di awal kejatuhan Morsi ibarat membidik target bergerak. Artinya besar  kemungkinan terjadi peristiwa mengejutkan lain berkenaan perkembangan situasi politik yang seringkali turbulent (tiba-tiba) serta unpredictable. Terdepaknya Morsi dari tampuk kekuasaan yang baru setahun oleh “kudeta” Junta Militer bukanlah faktor berdiri sendiri. Beberapa hal saling terkait dan mempengaruhi. Apakah peristiwa ini kelanjutan Arab Spring yang bersemi setengah hati di Jalur Sutera; ataukah “kudeta” tersebut adalah kemasan lain “US Military Roadmap”-nya Pentagon? Entahlah.

Dalam catatan tak ilmiah ini, penulis sengaja menjaga jarak dari gemuruh analisa yang akurasinya niscaya “begerak”. Bahkan konon, kebenaran ilmu pun, atau kecanggihan teori manapun yang telah diprasastikan dalam sejarah suatu bangsa, kualitas kebenarannya masih bisa bergerak seiring tuntutan zaman. Sekali lagi, saya coba berpikir hening sejenak —– menjauh dari gaduh kepentingan, kemudian mengurai gejolak politik di Mesir dari aspek geopolitik sebagai faktor (tunggal) netral dalam kajian. Inilah uraian sederhananya.

Tinjauan secara parsial geografis, Mesir itu titik mula menuju Afrika terutama bila ke Afrika Utara sampai ke ujung kawasan yaitu Maroko. Tak boleh dielak, bahwa kelompok negara di jalur tersebut rata-rata kaya minyak, gas bumi serta berbagai limpahan mineral lain kendati mereka cuma penggalan daripada Route Silk atau Jalur Sutera. Dibanding Suriah contohnya, kondisi Mesir jelas tidak sama meskipun secara hakiki tak jauh berbeda. Artinya selain geopolitic of pipeline melintas antar negara dan menembus lain benua, (Suriah) merupakan “titik simpul”-nya Jalur Sutera. Inilah geostrategy position yang dianggap takdir oleh kaum akademisi. Ya, geopolitik adalah takdir!

Agaknya di bawah kepemimpinan Bashar al Assad, ia mampu mengubah nasib negara setingkat lebih tinggi menjadi geopolitic leverage sehingga diperebutkan para adidaya dunia. Jangkauan Suriah memang lebih luas daripada Mesir. Ia bisa melaju ke Eropa lewat utara melalui Turki, dapat juga membelok ke Afrika terutama Afrika Utara melalui selatan via Mesir, dan lainnya. Inilah “titik simpul” yang dinamai geopolitic leverage terutama aspek pipeline. Artinya selain leluasa kesana-kemari, yang terpenting yakni fee sekitar $ 5 US/per barel diperoleh pemerintah Bashar al Assad dari setiap negara yang mempunyai kepentingan atas (aliran) minyak dan gas-nya yang melalui pipa di Suriah. Istilahnya uang jago, atau vulgarnya jatah preman! Jangan-jangan kontribusi terbanyak APBN Suriah justru berasal dari fee? Tidak ada data pasti tentang hal ini, silahkan diabaikan.

Selanjutnya Jalur Sutera itu sendiri ialah lintasan rute yang membentang antara perbatasan Rusia/Cina, Asia Tengah-Timur Tengah, Afrika Utara hingga berujung di Maroko. Ia membelah antara Dunia Barat dan Timur. Itulah kawasan sentral pergerakan (ekonomi) barang dan jasa bahkan dikumandangkan sebagai legenda jalur militer dunia sejak dahulu kala (Silahkan dibaca: Catatan Kecil tentang Jalur Sutera di www.theglobal-review.com). Mengendalikan Jalur Sutera, identik menguasai dunia, dan menguasai Mesir dan Suriah, ibarat sudah menguasai separuh jalurnya!

Masih ingat George Rich mentornya John Perkins? Simak nasehatnya: “Pergilah kau ke Mesir, dan gunakan negeri itu sebagai daerah transit untuk menaklukkan Timur Tengah dan juga daerah transit untuk Afrika”. Luar biasa! Jangankan cuma economic hit man semacam Rich, bahkan seorang pakar geopolitik Inggris sekelas Halford Mackinder (1861 – 1947) telah menelorkan Teori Heartland (Jantung Dunia). Asumsinya: “Barangsiapa menguasai Heartland maka akan menguasai World Island”. Dijelaskan oleh Mackinder, bahwa Heartland itu istilah lain Asia Tengah, sedangkan World Island adalah Timur Tengah. Tidak dapat disangkal siapapun, kedua kawasan adalah wilayah yang kaya akan minyak, gas bumi dan bahan mineral lain di muka bumi. Siapa menguasai kawasan tersebut akan menjadi Global Imperium, kata Mackinder!

Itulah sepintas asumsi melegenda puluhan tahun lampau yang masih diterapkan hingga kini oleh para adidaya khususnya Paman Sam dan sekutu. “Teori Heartland” (penguasaan Asia Tengah dan Timur Tengah)-nya Mackinder sesungguhnya hanya bagian (penggalan) dari Jalur Sutera, oleh sebab teori Mackinder tidak menyertakan kawasan Afrika Utara.

Maka wajar jika mapping kolonialisasi di dunia, bagi think tank maupun man power negeri kaum penjajah dimanapun niscaya akan merekomendasi, bahwa menguasai kedua negara (Mesir dan Suriah) hukumnya wajib bahkan mutlak. Tak bisa tidak. Itulah strategi awal penguasaan geopolitik di Jalur Sutera apabila ingin ‘merajai dunia’.

Jalur Sutera dalam urgensi konstalasi politik, tampaknya menginspirasi Alfred Mahan, pakar kelautan Amerika Serikat (AS) yang hingga kini “doktrin”-nya masih dianut bahkan diletakkan sebagai dogma negara terutama angkatan laut: “Barangsiapa merajai Lautan India maka ia bakal menjadi kunci percaturan di dunia internasional”. Pantas saja jika Paman Sam tidak puas hanya dengan US Africa Command (US AFRICOM) guna mengendalikan Afrika, atau US Central Command (US CENTCOM) untuk mencengkeram Dunia Arab, dan lainnya, ia membangun pangkalan militer terbesar dunia di Diego Garcia, Kepulauan Chargos, Lautan India. Setelah itu, masih dibangun pula pangkalan militer di Pulau Socotra, Yaman. Belum lagi pangkalan militer lainnya seperti di Pulau Cocos, Darwin, Subic dan lain-lain.

Perlu dicatat baik-baik, selain Socotra itu PINTU GERBANG ke Jalur Sutera melalui Teluk Aden, Laut Merah – Terusan Suez dan bermuara di Laut Mediterania, juga letak pulau tersebut hanya 3000-an Km dari Diego Garcia, artinya jika kelak terjumpai kontinjensi situasi maka permintaan perkuatan ke Socotra bisa berlangsung secara cepat.

Penelitian Ghuzilla Humied, networking associate Global Future Institute (GFI), Jakarta, menarik untuk dipertajam walau sifatnya permulaan. Ia menemukan data bahwa komando dan kendali tertinggi gerakan AS berpusat di Pulau Socotra, sedang manuver untuk wilayah Afrika dan Arab terletak di Qatar. Ia mengingatkan bahwa media mainsteam Al Jazeera yang sering menjadi propaganda Barat justru ada di Qatar.

Adanya temuan Humied dari GFI terkait Socotra, kita perlu menengok ke belakang sejenak perihal kronologis pencaplokan pulau tersebut oleh Paman Sam. Menurut dokumen GFI, tanggal 2 Januari 2010 lalu, Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh mengadakan rapat tertutup dengan Panglima Komando Militer AS Jenderal David Petraeus. Diberitakan oleh media massa pertemuan itu adalah koordinasi penanganan aksi Al-Qaeda yang berbasis di Yaman, namun akhirnya terungkap bahwa pertemuan tersebut membahas soal Socotra. Singkat cerita, Presiden Saleh pun menyerah atas “desakan” Petraeus. Pulau Socotra diserahkan kepada AS sebagai pemegang otoritas keamanan dalam rangka War on Terror (WoT) dan menumpas aksi-aksi perompakan warga Somalia. Dalam skema WoT kelak, Socotra diproyeksikan menjadi pangkalan militer, oleh karena otoritas AS diperkenankan untuk menggelar berbagai pesawat termasuk pesawat tempur dan komersil.

Kemudahan mencaplok pulau uniq tersebut, selain disebabkan pemberian konsesi ekonomi kepada petinggi Yaman sejumlah $ 14 juta US dari Kuwait Fund for Arab Economic Development guna membangun pelabuhan, juga ada isyarat Petraeus akan memberi bantuan peralatan militer. Akan tetapi, fakta menyebut bahwa pasca penyerahan Socotra kepada AS, sesaat kemudian meletus gejolak massa dalam rangka pelengserkan Ali Abdullah dari kekuasaannya —belakangan aksi massa tadi disebut Arab Spring atau Musim Semi Arab. Pertanyaan selidik muncul: adakah korelasi antara gerakan massa di Yaman yang notabene merupakan benih Arab Spring dengan keberadaan Socotra sebagai kendali tertinggi AS untuk “manuver”-nya di wilayah Afrika dan Arab? Pertanyaan lagi: siapa berani menyanggah, bahwa maksud tersembunyi pada kalimat “Lautan India” dalam uraian Doktrin Mahan makna tersiratnya ialah Jalur Sutera? Itu sekedar retorika. Let them think let them decide!

Keluar topik sebentar tetapi masih di koridor geopolitik. Ya, bahwa keterlibatan Israel —kalau tidak boleh dikatakan dominasi— terhadap setiap gejolak di Mesir dari perspektif geostrategi boleh direka motivasinya. Telaah ideologis misalnya, apabila merujuk statement Henry Bannerman (1906) tempo doeloe (baca: Geopolitik Sungai Nil, di www.theglobal-review.com), bahwa cipta (kondisi) konflik merupakan bagian dari peran yang harus dijalankan oleh Israel selaku organ pemecah belah di jantung bangsa-bangsa Arab. Sedangkan kajian secara pragmatis, semata-mata karena faktor pipanisasi gas.

Tidak dapat disangkal, betapa tinggi ketergantungan Israel terhadap Mesir dalam hal pasokan gas alam. Menurut Dirgo D. Purbo (9/7/2013), dalam diskusi terbatas di Forum KENARI (Kepentingan Nasional RI) dikatakan, bahwa pasokan gas Israel berasal dari Mesir hampir 80% lebih. Kondisi ini mirip ketergantungan Eropa Timur atas pasokan gas Rusia yang supply-nya telah mencapai 100%. Inilah “gas weapon”  Beruang Merah kepada jajaran Eropa Timur. Bisa dingin membeku Eropa Timur jika pasokan gas-nya ditutup oleh Putin. Semestinya, ketergantungan Israel atas gas dari Negeri Piramida bisa diolah menjadi gas weapon, namun dalam prakteknya tidaklah semudah itu. Kenapa? Apakah karena “kuat”-nya —kalau tak boleh mengatakan “tekanan”— hegemoni AS dan Inggris pada setiap elit yang duduk atau “diduduk”-kan di Mesir?

Fakta lain tak kalah menarik, yaitu akibat gejolak politik yang tak kunjung usai di satu sisi, kini ia mengimpor gas dari Qatar, Rusia, dan lain-lain. Tetapi di sisi lain, “pelayanan” kepada Israel dalam hal gas dengan harga murah tetap berlangsung karena pipanisasi hanya melalui Mesir. Apakah ini bermakna bahwa Mesir telah diperkuda oleh Israel? Retorikanya: apa tidak beku Israel jika supply gas-nya diputus oleh elit kekuasaan yang kelak bertakhta di Mesir tetapi kontra kepadanya?

Bersambung Bag-2

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com