Hendrajit, Analis Senior Global Future Institute (GFI)
Hazem Al Bablawi sebagai perdana menteri baru Mesir di fase transisi menyusul kejatuhan Morsi, merupakan perkembangan terbaru yang cukup menarik. Berita yang tersiar seakan gagalnya ElBaradei sebagai perdana menteri karena penolakan dari Partai Al Nur, sayap politik dari Gerakan Salafi, yang dikabarkan salah satu motor penggerak kejatuhan Morsi.
Berita ini sebetulnya gambaran betapa banyak kalangan tidak tahu apa sesungguhnya yang terjadi di Mesir. Kenyataan bahwa pemegang inisiatif politik adalah Jenderal Abdul Fatah Al Sisi, seharunya sudah maklum dari awal bahwa sikap penolakan Partai Al Nur, hanya cermin penolakan militer dan kalangan kalangan sipil yang berada di belakang Al Sisi, untuk memunculkan ElBaradei.
Kalau mau, dan skenario kejatuhan Mobarak saat itu tidak dikendalikan Dewan Jenderal, ElBaradei seharusnya sudah jadi presiden Mesir sekarang. Karena kalau menelisik bagaimanana gerakan The Arab Spring dipersiapkan sejak 2008 melalui terbentuknya Alliance of Young Movement (AYM) sebenarnya pada awalnya dimaksudkan untuk menggelar karpet merah bagi ElBaradei sebagai penguasa baru pasca kejatuhan Hosni Mobarak.
Namun seperti sejarah kemudian membuktikan saat Mobarak lengser pada Februari 2011, kekuasaan bukannya diambil alih oleh Wakil Presiden Omar Sulaeman seperti dalam kasus naiknya Wakil Presiden BJ Habibie pada Mei 1998. Melainkan diserahkan kepada The Supreme Military Council alias Dewan Jenderal di bawah pimpinan Marsekal Udara Mohamed Hussein Tantawi.
Penolakan Partai Al Nur terhadap pengangkatan ElBaradei menurut penulis sama sekali tidak mengindikasikan lemahnya posisi tawar militer terhadap mitra koalisinya dari sipil, tapi justru menunjukkan kepandaian berpolitik Jenderal Asisi dan tim dukungan strategisnya.
Sejak awal konsolidasi politik jelang penggusuran Morsi, Assisi mengadakan pertemuan dengan perwakilan kekuatan politik, nasional dan pemuda termasuk El Baradei, ketua Partai Salafi Al Nur, Grand Syeikh Al Azhar, Uskup Tawadros, serta perwakilan berbagai kalangan pemuda. Berarti dari awal Militer Mesir tidak berjalan sendiri melainkan mengikutsertakan berbagai elemen masyarakat sipil di Mesir.
Meski secara de fakto Militer sejak awal kejatuhan Morsi memang pegang inisiatif politik, namun secara konseptual pengambil-alihan kekuasaan dari tangan Morsi harus diakui didasari gagasan terciptanya Rekonsialisi Nasional dari berbagai elemen masyarakat, yang ironisnya justru ditolak oleh Morsi dan pendukungnya saat Asisi menawarkan konsepsinya ini yang kelak diberi nama ROAD MAP.
Frase yang digunakan Asisi dengan menyebut bahwa peran militer yang diharapkan dari gerakan ambil alih ini bukan sebagai penguasa baru tapi hanya sebagai pelindung, mengisyaratkan bahwa peran militer di sini sebagai MODERATING ROLE. Alias peran mediasi. Berarti Militer Mesir bukan sebagai The Dominating Role tapi hanya titik keseimbangan politik antar berbagai faksi minus Ihwanul Muslimin (IM).
Terlepas kita mesti memandang manuver militer Mesir secara bersyarat dan penuh kehati-hatian, namun studi dan kajian strategis Militer yang memandang dirinya sebagai Lembaga Nasional kiranya menarik untuk disimak.
Dalam studi dan kajian yang dilaporkan oleh Asisi selaku Panglima Angkatan Bersenjata Mesir, ada beberapa isu dalam dan luar negeri yang menjadi pusat perhatian. Mencakup di dalamnya tantangan dan bahaya terbesar yang dihadapi negara, utamanya di bidang politik, ekonomi, sosial dan keamanan. Sekaligus menyampaikan pandangannya sebagai lembaga nasional untuk memahami sebab-sebab perpecahan yang terjadi pada masyarakat dan cara menghilangkannya, serta cara menghadapi berbagai ancaman dan bahaya untuk keluar dari krisis ini.
Jauh-jauh hari sebelum lengsernya Morsi, Assisi menyampaikan bahwa dalam kerangka mengikuti perkembangan situasi saat ini, para Pimpinan Militer telah melakukan pertemuan dengan Presiden di istana el Qubba pada 22 Juni 2013, untuk menyampaikan pandangan dan penolakannya atas pelecehan terhadap lembaga-lembaga negara dan agama, sebagaimana penolakannya terhadap upaya teror dan ancaman terhadap rakyat.
Saat itu Militer menaruh harapan untuk memperoleh kesepakatan bersama dalam memetakan Mesir ke depan melalui rekonsialisasi nasional. Namun, respons Morsi menolak skema yang diajukan Jenderal Asisi.
Kondisi inilah, menurut Assisi, yang membuatnya melakukan musyawarah dengan berbagai tokoh nasional, politik dan pemuda, tanpa menutup kesempatan bagi semua pihak, untuk menyusun road map, yang mencakup langkah-langkah awal untuk merealisasikan pembangunan masyarakat Mesir yang kuat dan bersatu tanpa mengesampingkan salah satu dari anak bangsa, atau aliran, serta upaya untuk mengakhiri pertikaian dan perpecahan.
Berarti, tersirat ada semacam skema dan scenario building di balik kajian dan gagasan strategis yang diprakarsai oleh pihak militer Mesir.
Dan yang perlu digarisbawahi, akar rumput dari basis sosial-keagamaan juga mendukung manuver angkatan bersenjata Mesir.
Imam Besar Al-Azhar, sebagai salah satu peserta pertemuan, menjelaskan alasan mengapa beliau turut mendukung keputusan ini, “Mesir saat ini hanya memiliki dua pilihan, dan seburuk-buruknya pilihan adalah yang mengakibatkan pertumpahan darah. Oleh karena itu berdasarkan qaidah syar’i Islami, yang menyatakan bahwa ‘melakukan perbuatan yang akibat buruknya lebih ringan hukumnya wajib,’ (irtikab akhaf adhdhararain wajib syar’i). Saya mendukung pendapat yang sudah menjadi kesepakatan semua yang hadir, yaitu melaksanakan pemilu presiden lebih dini, dimana rakyat dapat memilih kembali presidennya.”
Beliau menutup keterangannya dengan memohon kepada Allah agar keputusan ini dapat mengantarkan dua kubu yang bertentangan hidup damai di tanah dan Nil yang satu.