Mengurai Kiprah Perompak Somalia

Bagikan artikel ini

M. Arief Pranoto, Pemerhati Masalah Internasional dari Global Future Institute (GFI)

Secara politis, geo-strategi Lautan Hindia sebenarnya dalam orbit Amerika Serikat (AS). Betapa tidak. Selain bercokol pangkalan militernya di Diego Garcia, Kepulauan Chargos, dimana jaraknya sekitar 3000-an Km dari Pulau Socotra, Yaman, ia juga mengendalikan pulau unik itu (Socotra) — yang posisinya di pintu gerbang Laut Merah — menuju Terusan Suez dan Laut Mediterania (Jalur Sutra).

Dan setidaknya, sejak 2 Januari 2010 lalu otoritas Socotra telah diserahkan sepenuhnya kepada Jenderal David Petraeus, Panglima Komando Militer AS oleh Presiden Yaman Ali Abdullah.

Sedikitnya ada tiga alasan kenapa Ali Abdullah memberikan sebagian kedaulatan negaranya kepada pihak lain, antara lain: (1) konsesi ekonomi kepada para petinggi Yaman sejumlah 14 juta dolar AS dari Kuwait Fund for Arab Economic Development untuk membangun pelabuhan, (2) isyarat Petraeus hendak memberi bantuan militer dan peralatan tempur berat, dan (3) Socotra diproyeksikan sebagai pangkalan militer dalam skema War on Terror(perang melawan teror) sekaligus dalam rangka menumpas aksi-aksi perompakan.

Dengan maraknya aksi pembajakan oleh warga Somalia, jika merujuk alasan ketiga tadi maka sesungguhnya kiprah militer AS tengah ditunggu publik global atas perannya selaku ”pengendali” di Lautan Hindia menumpas aksi perompakan, terutama harapan negara-negara dan kalangan bisnis perkapalan yang kerap melintasi pangkalan milternya di Socotra. Tetapi entah kenapa,  AS tidak bereaksi – membisu seribu bahasa.

Tatkala 7 Oktober 2008 lalu, Dewan Keamanan (DK) PBB menerbitkan resolusi 1838: meminta kepada negara-negara pemilik kapal yang akan melintasi Teluk Aden atau lepas pantai Somalia menggunakan jasa militer mengawal kapal – terkesan ada kejanggalan. Mengapa demikian, sebab konsep ”kekacauan dan ketidakamanan” yang diciptakan para pembajak meski berskala global, namun di mata PBB, seolah-olah berbeda dengan aksi para teroris. Misalnya, dalam masalah terorisme, sering tanpa diminta AS pun menawarkan bantuan dan kerjasama terhadap suatu negara kendati kejadian bersifat lokal. Kejanggalan kedua, patroli masif di Teluk Aden oleh kapal-kapal perang Barat yang dilengkapi helikopter tempur canggih sebagai realisiasi resolusi PBB di atas, sepertinya gagal total – artinya perompakan tetap marak. Bandingkan dengan realisasi terhadap resolusi PBB 1973, dimana AS dan sekutu sangat agresif membombardir wilayah dan kota di Libya yang diduga markas loyalis Gaddafi.

Ada dua pertanyaan timbul: Apa beda perompak dengan teroris, sedang mereka sama-sama membikin kacau suatu wilayah; dan kenapa pihak Pemerintah Somalia tak berkutik menghadapi ulah warganya merompak di depan mata?

Mencoba mengurai hipotesa judul catatan ini, penulis berbekal beberapa asumsi. Salah satunya adalah premis (titik awal) bahwa konflik lokal adalah bagian dari konflik global. Ya, konflik disini bisa diartikan konspirasi, pertikaian, atau persekongkolan dan seterusnya – tergantung konteks. Intinya tidak ada suatu peristiwa muncul tiba-tiba dan kebetulan. Niscaya ada koneksitas antara satu dan lain, atau terkait dengan hal atau peristiwa sebelumnya. Ibarat daun jatuh pun bukanlah ujug-ujug, mungkin ia tertiup angin, atau tangkainya layu termakan usia.

Selanjutnya membaca gerak perompak dari konsep pertunjukan wayang, akan ditemui tiga analog aktor, yakni wayangnya sendiri, si dalang dan sang pemilik hajatan. Dalam konteks ini, dapat diduga bahwa para bajak laut cuma sekedar wayang yang menjalankan peran dari si dalang, kendati masih ada pemilik hajat yang memilihkan tema atau lakon atas sebuah pagelaran dari kejauhan. Itulah asumsi kedua.

Asumsi ketiga ialah local wisdom leluhur lama yaitu: wong wani kudu duwe bunci wong kendel kudu duwe piandel (orang berani harus mempunyai modal dan andalan). Memang tanpa andalan, sebuah keberanian adalah nekad belaka, justru merupakan kebodohan karena terbit dari rasa keputusasaan jiwa. Keberanian warga Somalia merompak di perairan internasional, bukanlah tanpa bekal, bukan sekedar nekad semata. Tentu ada yang diandalkan (piyandel), atau minimal modal mental selain hal lainnya, diantaranya ialah peralatan canggih dan senjata modern.

”Daerah Penopang”

Tak bisa dipungkiri bahwa peperangan AS beserta sekutu di Iraq dan Afghanistan merupakan pagelaran paling mahal sekaligus terlama di abad ini. Betapa sejak 2001 sewaktu Bush Jr menginvasi Aghanistan dengan stigma menyembunyikan Al Qaeda, hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Dan sudah barang tentu, lamanya peperangan mengandung banyak konsekuensi logis, seperti budget kian menipis,  logistik terhambat, tentara stress, penolakan warga negaranya sendiri terhadap perang yang berlangsung dan sebagainya.

Dalam konsep tempur, selain kesiapan logistik tak terbatas juga harus (direncanakan) ”daerah penopang”. Atau daerah penyangga. Itu mutlak. Perkiraan keterkendalaan supplay dari pusat karena terhambat (sabotase) di jalan, atau sebab lainnya – bila tanpa daerah penopang (penyangga) niscaya dapat mengubah strategi dan situasi perang.

Lazimnya pilihan daerah penopang ialah ”wilayah tak bertuan”, dengan kriteria jarak yang relatif dekat dari medan inti tempur. Selain itu juga berfungsi menampung tentara desersi, cacat, trauma atau sebab lain yang menyebabkan tak layak melanjutkan pertempuran. Ini merupakan konsep lapangan, sehingga keberadaanya tidak terekam oleh markas besar (pemerintahan). Sebuah konsep antara ada dan tiada. Artinya jika suatu ketika terekam pun akan dimaklumi – karena praktek operasionalnya adalah dalam koridor kepentingan militer di daerah inti tempur, terutama menghadapi suatu peperangan skala besar dan lama. Di sisi lain, bahwa komando di daerah penopang mampu mencari ”logistik” sendiri dengan kelaziman tata cara militer karena lengkapnya peralatan, bahkan cenderung sama dengan pasukan di daerah tempur inti.

Akhirnya — merujuk asumsi pertama bahwa konflik lokal bagian dari konflik global. Dalam perspektif taktis perang AS, Somalia (mungkin) dianggap daerah tak bertuan. Inilah hipotesa. Selain jarak relatif tak jauh dari Iraq dan Afghanistan, stigma negara gagal mendukung terpilih sebagai daerah penopang bagi peperangan AS dan sekutu di dua negara tadi. Dengan demikian, untuk sementara terjawab sudah mengapa Pemerintah Somalia tak berkutik atas ulah warga negaranya yang melakukan perompakan di perairan internasional — karena ternyata aksi pembajakan selama ini punya piyandel selain peralatan yang canggih lagi modern.

Demikian pula kegagalan realisasi resolusi 1838 DK PBB dekade 2008-an oleh kapal-kapal perang Barat, atau ”membisu”-nya pangkalan militer AS di Socotra dan Diego Garcia — barangkali merupakan ujud ”pembiaran” aksi dari daerah penopang mencari logistik pertempuran.

Selanjutnya di dalam konsep pagelaran (wayang) bajak laut, bahwa warga Somalia hanya orang suruhan saja, sedang dalang dan pemilik hajatan –yaitu para tuan di wilayah tak bertuan– meremot aksi perompakan dari kejauhan. Itulah yang mungkin kini terjadi.

Tulisan sederhana lagi tak ilmiah ini, bukanlah kebenaran apalagi bermaksud untuk pembenaran diri, sama sekali tidak. Ya, catatan ini terbuka untuk kritik dan saran — hanya sebuah wacana (bukan analisa) sebab didukung oleh data terbuka dan beserak di berbagai media massa.

Terimakasih

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com