Menhan Ryacudu, Malaysia dan Kejahatan Trans-Nasional

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Dibandingkan para menteri lainnya di dalam kabinet Jokowi-JK, beberapa langkah strategis dan gebrakan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu boleh dibilang tergolong “senyap” namun hasil karyanya lumayan juga.  Dalam Sidang ke-40 General Border Committee Malaysia-Indonesia (GBC Malindo), dl Kuala Lumpur, Malaysia, pada 28 September 2017 lalu, manuver diplomatik Menhan Ryacudu berhasil menggiring Malaysia membahas beberapa isu sensitif yang selama ini cukup krusial dalam hubungan kedua negara.

Misal, Menhan Ryamizard Ryacudu mengajak  Menteri Pertahanan Malaysia YB Dato’ Seri Hishammuddin Tun Hussein untuk menyelesaikan beberapa permasalahan di perbatasan yang masih belum terselesaikan atas dasar semangat bersama untuk mencari solusi terbaik bagi kedua negara di masa depan.

Bukan itu saja. Menhan Ryacudu juga  .mengingatkan pentingnya mencermati isu-isu keamanan di wilayah perbatasan. Khususnya mencegah dan mengatasi isu-lsu keamanan yang bersifat trans-nasional.

Tentu saja jika yang dimaksud Menhan Ryacudu adalah kejahatan lintas negara seperti terorisme, human trafficking dan Narkoba. Maka Global Future Institute merasa perlu menggarisbawahi mengenai Narkoba, salah satu jenis kejahatan lintas negara yang saat ini paling berbahaya dalam menghancurkan generasi muda, maupun dalam melumpuhkan daya juang sebuah bangsa.

Khusus untuk Narkoba, tim riset Global Future Institute beberapa waktu lalu sempat menengarai adanya perpindahan pusat aktivitas Narkoba yang semula di Singapura kemudian berpindah ke Malaysia, mengingat citra Malaysia sebagai negara Islam, justru bisa jadi tabir yang sempurna untuk menyembunyikan aktivitas kejahatan para mafia Narkoba yang masuk kategori kejahatan trans-nasional.

Menurut sumber GFI yang terpercaya, Singapura rupanya sudah dianggap terlalu terbuka dan mudah dilacak sebagai basis jaringan kejahatan yang mata-rantainya sudah membentang sampai ke Indonesia, dan disinyalir melibatkan para pejabat tinggi pemerintahan baik sipil maupun militer. Adakah indikasi yang memperkuat pandangan tersebut?

Sebuah situs, http://www.drugwar101.com/blog/archives/7594, sempat mewartakan bahwa pada Mei 2013 lalu Cina dan lima negara yang tergabung dalam ASEAN, telah menandatangani kerjasama memberantas perdagangan Narkoba yang dianggap telah menjadi sebuah ancaman yang berbahaya bagi kawasan Asia Tenggara.

Kesepakatan kerjasama antara Cina dan lima negara anggota ASEAN tersebut berlangsung tak lama setelah berakhirnya pertemuan para menteri dari Cina, Laos, Myanmar, Thailand dan Vietnam. Kesepakatan tersebut berlangsung di Naypyidaw , ibukota Myanmar yang sekarang.  Dalam pernyataan bersama menyusul kesepakatan bersama tersebut: “Konsumsi dan produksi narkoba semakin meningkat, di kawasan Asia Tenggara maupun dunia, sehingga menjadi ancaman serius bagi kawasan ini.”

Berdasarkan kesepakatan tersebut, akan segera diperketat kerjasama lintas batas, dan meningkatkan program pembangunan alternatif maupun berbagi pengalaman dalam pencegahan penggunaan narkoba. Dan yang tak kalah pentingnya, akan diadakan program gerakan penyadaran, perawatan dan sekaligus juga berbagai pelatihan yang tujuannya adalah untuk pencegahan merebaknya konsumsi penggunaan narkoba di kalangan warga masyarakat.

Sisi menarik dari event dalam lingkup ASEAN yang berlangsung pada 2013 lalu itu, Malaysia, Singapura dan Indonesia tidak dilibatkan sama sekali. Mengapa?

Apakah ini terkait dengan kabar yang mulai merebak bahwa Malaysia saat ini dijadikan sebagai basis utama perdagangan narkoba lintas negara? Sebaliknya Kamboja, Myanmar dan Laos secara historis sejak Perang Dingin berlangsung, termasuk sekutu strategis Cina dalam menghadapi Amerika Serikat dan sekutu baratnya yang  tergabung dalam NATO.

Namun sisi menarik bagi kita, pada 2013 masih berada di era pemerintahan Presiden SBY. Sehingga tidak dilibatkannya Indonesia, Malaysia dan Singapura, jadi tanda-tanya besar kalau tidak mau dikatakan sebagai sebuah misteri.

Begitupun, gagasan Menhan Ryacudu untuk bekerjasama dengan Malaysia dalam masalah perbatasan yang terintegrasi dengan urgensi untuk mewaspadai isu-isu keamanan yang bersifat lintas nasional, kiranya sangat tepat sekali. Sebab kalau kita telisik kasu kejahatan Narkoba di Myanmar, misalnya, ternyata ada tali temali dengan gerakan separatisme yang melibatkan masalah daerah perbatasan.

Di Myanmar yang mana perdagangan narkoba sempat tercatat merupakan produsen narkoba terbesar kedua setelah Afghanistan di kawasan Asia Tengah, ternyata kerap terkait juga dengan daerah-daerah yang merupakan basis gerakan separatis Myanmar di daerah yang berbatasan langsung dengan Thailand, Laos dan Cina.

Menurut studi yang dilakukan oleh Peter Dale Scott, perdagangan narkoba di kawasan ini pada era Perang Dingin, juga mendapat dukungan dari para operator intelijen Amerika Serikat CIA. Di Burma Myanmar misalnya, akibat campur tangan CIA tahun 1950 mampu meningkatkan produksi narkoba dari 40 ton (1939) menjadi 600 ton (1970). Di Thailand pun demikian, dari sebelumnya hanya 7 ton (1939) naik menjadi 200 ton (1968). Luar biasa! Di Laos tidak mau ketinggalan, dari produksi 15 ton tahun 1939 menjadi 50 ton pada tahun 1973.

Mengingat fakta bahwa Malaysia sebagai eks jajahan Inggris dan tetap berada dalam orbit persekutuan strategis AS-Inggris hingga kini, maka informasi yang mengindikasikan Malaysia sebagai basis baru jaringan perdagangan narkoba kiranya cukup beralasan.

Karena itu, kilas  balik sejarah kiranya bermanfaat untuk menjelaskan adanya skema negara-negara barat menjadikan Malaysia sebagai basis Perang Candu sebagai Modus Kolonialisme Menghancurkan bangsa, dan terutama generasi muda.

Konon awal abad ke-19, opium dibawa oleh para pedagang Inggris ke Tiongkok sebagai pengimbang ekspor teh Cina ke Inggris. Di bawah kekuasaan Dinasti Yung Cheng, opium begitu populer karena selain komoditi dagang juga dihisap menggunakan pipa khas dari tanah liat serta diminum dengan arak.

Sebenarnya warga dan penduduk memanfaatkan candu untuk pengobatan tradisional, tetapi sebagian menyalahgunakan sekedar mabuk-mabukan. Inilah mapping awal tradisi (buruk) rakyat. Oleh pendatang (asing) kebiasaan masyarakat mengisap candu atau madat ditandai sebagai titik lemah (Achilles, baca: akiles) yang bisa “diletuskan” sewaktu-waktu.

Pada gilirannya akiles pun diolah, dieksploitasi serta dipropaganda secara gencar dengan tujuan tertentu, bahwa asap candu menimbulkan “mimpi indah” di dalam tidur! (Baca M Arief Pranoto, Perang Candu: Modus Kolonialisme Menghancurkan Bangsa dengan Harga Murah!).

Zaman Kaisar Ming dan Ching berkuasa, ada kebijakan menutup jalur perniagaan dengan Barat karena anggapan selain mampu memenuhi keperluan rakyatnya sendiri, ia juga tak mau bergantung kepada asing. Sebuah sikap kemandirian yang dahsyat dari Ming, akan tetapi justru inilah embrio konflik. Ya, kebijakan Ming jelas merugikan Inggris, karena hasil produk dan barang-barang Cina semacam sutera, rempah, tembikar serta teh yang dimonopoli Inggris diminati berbagai kalangan di Eropa. Hubungan kedua pihak menegang. Setelah lewat liku-liku perundingan, akhirnya perdagangan dibuka kembali dengan syarat Inggris boleh dagang hanya di Guangzhou (Canton) saja.

Inggris memahami kebiasaan madat dan luasnya konsumsi candu di kalangan penduduk. Inilah akiles yang “terpetakan”. Ia pun menyalahi isi kesepakatan dengan memasukkan barang larangan (opium) sebagai komoditi. Tampaknya barang ilegal tadi malah direspon girang sebagian penduduk, terutama para pecandunya. Akhirnya peredaran kembali marak, apalagi Inggris memiliki akses opium ke India secara mudah mengingat geografisnya bersebelahan dengan Cina.

Pada masa Kekasiaran Tao Kwang era 1839-an, diambil suatu langkah tegas guna mengatasi kecanduan dan peredarannya di masyarakat. Adalah Komisaris Lin Tse-Hsu diperintah oleh Kaisar guna memusnahkan candu ilegal di Guangzhou. Lin adalah sosok pejabat jujur, ahli kaligrafi, filsuf, sekaligus seorang penyair. Ia terkenal karena konsistensi serta komitmen dalam menentang peredaran opium di Tiongkok. Salah satu inti dan substansi statement Lin yang dijadikan acuan dalam Perang Panah ialah “bahwa konsumsi opium selain akan menghabiskan kekayaan negara, juga membuat tak satupun lelaki mampu bertempur di medan perang!”.

Sudah barang tentu tindakan Lin membuat kemarahan Inggris, kemudian meletuslah Perang Cina-Anglo I (1839-1842). Ya, perang selama tiga tahun itu dimenangkan Inggris. Ada 30.000-an rakyat menjadi korban dan memaksa Cina menandatangani Treaty of Nanjing (1842) dan The British Supplementary Treaty of the Bogue (1843). Inti Treaty of Nanjing atau Perjanjian Nanjing ialah kewajiban Cina membayar upeti 21 juta kepada Inggris sebagai ganti rugi peperangan, membuka kembali perniagaan dengan Barat via pelabuhan-pelabuhan Guangzhou, Jinmen, Fuzhou, Ningbo serta Shanghai, dan Inggris meminta Hong Kong menjadi tanah jajahan.

Sebagaimana diurai sekilas tadi, Perang Boxer II terjadi antara Inggris, Prancis, dan Cina. Sebagai pemicu ialah pencarian kapal The Arrow milik Inggris oleh Cina secara ilegal di Guangzhou. Hal ini membuat geram Inggris dan kembali mengobarkan perang.

Lagi-lagi konflik tersebut dimenangkan oleh Barat dan Guangzhou diduduki oleh pasukan Inggris-Prancis. Apaboleh buat, Cina kembali menandatangai Treaty of Nanjing (1858) dimana Prancis, Rusia dan Amerika telah ikut ambil bagian. Isi perjanjian: Cina membuka sebelas pelabuhan, diizinkan pendirian kedutaan negara luar, melegalkan impor candu dan memberi ruang pada aktivitas misionaris Kristen.

Lantas, bagaimana menggambarkan Perang Candu sebagai Modus Kolonialisme di era global seperti sekarang ini? ingga kini, kelompok negara Barat khususnya Paman Sam, relatif canggih memainkan modus Perang Opium di berbagai negara. Ibarat bola sodok, di tangan Central Intellegence Agency (CIA) perdagangan candu itu seperti pukulan yang mengenai dua bola sekaligus. Bola pertama berupa “rusak”-nya generasi bangsa (lost generation), sedang bola kedua adalah money laundry (pencucian uang) atas bisnis narkoba yang dikerjakan.

Contoh ketika menginvasi Afghanistan setelah peristiwa World Trade Center (WTC), 11 Sepetember 2001, sebenarnya Pentagon punya daftar 25 laboratorium dan gudang obat bius, tetapi ia menolak menghancurkan gudang-gudang tersebut dengan alasan milik CIA dan sekutu lokalnya. Bahkan James Risen mencatat, penolakan untuk menghancurkan laboratorium narkoba justru dari pentolan Neo-Konservatif yang menguasai birokrasi Keamanan Nasional di AS seperti Douglas Feith, Paul Wolfowitz, Zalmay Khalilzad, dan sang patron Donald Rumsfeld.

Sekali lagi, asumsi Prof Scott  yang mutlak dicatat adalah bila CIA melakukan intervensi di sebuah negara maka produksi dan perdagangan narkoba cenderung meningkat, sebaliknya jika ia menurunkan (tensi) intervensinya niscaya produksi dan arus perdagangan narkoba bakal menurun. Ini dia! Dari tesis Scott sebenarnya bisa diambil asumsi lagi, bahwa Perang Candu sebagai modus penjajahan diyakini akan senantiasa  melekat dalam ragam dan bentuk kolonialisme yang dikembangkan oleh AS dan sekutu di berbagai negara. Ini yang mutlak diwaspadai.

Satu hal lagi yang perlu diwaspadai, dalam perspektif kolonialisme, Perang Opium bukan sekedar alternatif strategi tapi merupakan strategi inti. Artinya entah hard power (aksi-aksi militer) ataupun smart power (gerakan asimetris/non militer), bahkan Perang Candu itu sendiri dapat berjalan masing-masing, serentak, atau bergantian dengan intensitas berbeda. Ya, boleh belakangan, duluan atau mungkin simultan. Tergantung analisa intelijen. Intinya membuat marak candu, minuman keras dan narkoba di daerah target sebagai sarana melumpuhkan moral lawan dari sisi internal.

Perang Boxer di Cina merupakan contoh nyata, sesuai isyarat Lin, bahwa penduduk atau rakyat dikondisikan tak punya semangat juang, lemah daya tempurnya serta tak memiliki daya lawan atas penjajahan di negeri sendiri. Itulah tujuan pokok Perang Opium dalam aneka modus kolonialisme dimanapun bahkan sampai kapanpun.

Sehubungan dengan adanya indikasi Malaysia dijadikan basis baru perdagangan narkoba di Asia Tenggara, kiranya cukup beralasan bagi para pemanku kebijakan strategis keamanan nasional Indonesia, untuk meningkatkan kewaspadaannya pada tingkatan yang maksimal.

Setelah impor terorisme melalui keterlibatan Dr Azahari dan Nurdin M Top dalam kerangka Hard Power ala George Bush yang mengangkat tema: War on Terrorism sekarang sudah tutup buku. Akankah AS dan NATO mulai menggelar Tema baru: Perang Candu Sebagai Modus baru Kolonialisme dengan tetap menjadikan Malaysia Sebagai Fron Terdepan?

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com