Menjadikan Haiti Sebagai Arab Saudi Baru

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Entah kebetulan atau tidak, beberapa wilayah yang rawan gempa tektonik, memiliki kandungan minyak dan minyak yang cukup besar. Sehingga terjadinya gempa bumi dan bencana alam di wilayah tersebut, dengan tak ayal telah mengundang kecurigaan adanya faktor kesengajaan dari beberapa negara adidaya untuk menguasai secara geografis wilayah dengan kandungan minyak dan gas tersebut.

Baru-baru ini, William Engdahl, dalam artikelnya bertajuk The Fateful Geological Prize Called Haiti, menginformasikan bahwa beberapa negara Amerika Latin seperti Venezuela, Nikaragua, dan Bolivia, menuding pasukan militer Amerika menolak izin di Haiti mendarat terhadap pesawat yang membawa obat-obatan serta air kemasan bagi warga masyarakat Haiti yang tertimpa musibah bencana alam, dan kehilangan tempat tinggal.

Ini sebuah jalinan kisah yang cukup aneh dan mencurigakan, sehingga memberi kesan sepertinya ada yang hendak ditutup-tutupi di Haiti. Menariknya lagi, Perancis dan Swiss pun ikut bersama beberapa negara Amerika Latin tersebut mengecam sepak-terjang militer Amerika yang praktis secara de fakto telah menginvasi Haiti dengan menunggangi misi kemanusiaan di Haiti.

Menurut William Engdahl, Haiti sebagai daerah yang rawan terhadap terjadinya gempa tektonik, ternyata merupakan salah satu zona terbesar di dunia yang hingga kini belum tereksplorasi seberapa besar nilai strategisnya sebagai zona yang mengandung sumberdaya alam minyak, gas dan mineral.

Wajar jika banyak kalangan yang menaruh curiga kepada Amerika atas niatnya untuk menguasai wilayah yang diperkirakan kaya kandungan minyak, gas dan mineral tersebut. Apalagi di Teluk Parsi dan kawasan yang membentang dari laut merah menuju teluk Aden, juga dikenal sebagai wilayah rawan gempa tektonik.

Bahkan menurut Engdhahl, beberapa wilayah di Indonesia pun memiliki karakteristik yang serupa. Itulah sebabnya Indonesia harus waspada, dan mulai memandang fenomena gempa dan bencana alam, dalam perspektif keamanan nasional.

Pada 2005, sekitar setahun sejak Presiden George W. Bush dan Dick Cheney secara de fakto menggulingkan Presiden Haiti Jean Baptiste Aristide, sebuah tim ahli geologi dari Institute for Geo-physics dari Universitas Texas, mulai melakukan proyek ambisius dalam pemetaan semua data dari lembah Karibia. Dan proyek ini diharapkan akan selesai pada 2011 mendatang. Misi survey ini cukup jelas: menentukan secara akurat apa benar daerah ini memiliki kandungan minyak dan gas yang cukup strategis.

Tak heran jika proyek eksplorasi yang dipimpin langsung oleh Dr Paul Mann ini, mendapat bantuan dana jutaan dolar AS dari beberapa perusahaan minyak terbesar Amerika seperti ExxonMobil, Chevron, dan the Shell dan BHP Billiton, yang merupakan kongsi bisnis minyak bersama Amerika-Belanda.

Inilah proyek eksplorasi minyak terbesar Amerika sepanjang dalam beberapa dekade terakhir dalam pemetaan di lembah Karibia. Ini secara jelas mengindikasikan bahwa beberapa pengusaha minyak Amerika dari perusahaan-perusahaan tersebut di atas, menyadari sepenuhnya kandungan minyak dan gas di lembah Karibia. Karenanya, para perancang strategis Amerika di bidang energi dan keamanan nasional, berusaha menutup-nutupi nilai strategis lembah Karibia ini. Tujuanya jelas agar Amerika bisa memonopoli kepemilikan wilayah yang berpotensi kaya minyak dan gas tersebut.

Memandang Kuba Sebagai Ancaman Ekonomi

Kalau menelusur mengapa Amerika begitu mati-matian memetakan data geologis lembah Karibia, ketimbang membantu warga Haiti korban bencana alam, nampaknya karena dipicu oleh temuan bahwa di bawah permukaan laut dan pantai Kuba, terdapat ladang minyak terbesar didunia.  Ini berkat eksplorasi yang dilakukan bersama antara Perusahaan Minyak Kuba Cubapetroleo dan perusahaan minyak Spanyol Repsol pada Oktober 2008.

Mendengar ini, Washington jadi gusar, apalagi ketika Presiden Rusia Dmitry Medvedev segera terbang ke Havana, sebulan sejak temuan Kuba dan Spanyol tersebut, untuk menandatangani persetujuan kerjasama Rusia-Kuba dalam eksplorasi dan pengembangan lebih lanjut sektor migas Kuba. Pantas saja kalau Amerika kebakaran jenggot.

Washington jadi semakin runyam ketika Cina pun juga melakukan persetujuan kerjasama serupa, bahkan seminggu sebelum Presiden Rusia tersebut tiba di Havana. Dalam kesepakatan dengan Cina, disepakti untuk bikin perjanjian untuk memodernisasi pelabuhan-pelabuhan yang ada di Kuba. Dan penjajakan kemungkinan Cina membeli beberapa bahan mentah (raw materials) dari Kuba.

Cina nampaknya memandang Amerika Latin sebagai sasaran strategis. Terbukti dengan keluarnya policy paper mengenai MASA DEPAN HUBUNGAN CINA-AMERIKA LATIN, DAN NEGARA-NEGARA KARIBIA.  Tentu saja hal ini semakin memperkuat posisi tawar Kuba dan negara-negara Amerika Latin dalam pertarungan antar negara-negara adidaya seperti Amerika, Cina dan Rusia.

Dari kisah ini, menjadi jelas mengapa Amerika begitu bernafsu menduduki Irak melalui operasi militer, seperti juga halnya ketika mengirim pasukan militer besar-besaran ke Haiti dengan berkedok misi kemanusiaan.

Apalagi ketika muncul prediksi dari pakar geologi perminyakan Colin Campbell dan banker Texas Matt Simmons, bahwa pada 2010 dunia akan mencapai titik klimaks dalam produksi dan pengadaan minyak. Sehingga dalam skenario 2010, tidak akan ada lagi penemuan baru ladang minyak berskala raksasa seperti dimulai sejak 1976.

Alhasil, beberapa ladang minyak yang berhasil diketemukan dua dekade yang lalu, sekarang merupakan ladang minyak kecil-kecilan, dibandingkan beberapa ladang minyak jika dibandingkan beberapa ladang minyak milik Arab Saudi, Teluk Prudhoe dan Daquing di Cina.

Mengapa Jean Aristide Digulingkan?

Kasus digulingkannya Jean Betrand Aristide dari kekuasaan pada 2004, padahal dia merupakan Presiden pemenang pemilu, membuktikan bahwa politik luar negeri Amerika dikendalikan oleh hajatan korporasi-korporasi besar. Ketika Aristede mulai menduduki kursi kepresidenan, dia meluncurkan rencana pembangunan yang komprehensif, termasuk bagaimana mendudukkan minyak dan gas sebagai sumberdaya alam Haiti.

Dalam skema Aristide, dia mengagas terciptanya kemitraan antara swasta dan masyarakat, sehingga bisa menjamin bahwa seluruh kekayaan alam Haiti (emas, tambang, minyak dan gas) maupun sumberdaya alam lainnya yang bernilai strategis, dapat membawa keuntungan dan kemaslahatan masyarakat luas, khususnya perekonomian nasional Haiti.

Namun bagi para pengusaha minyak Amerika, Haiti lebih baik dikuasai oleh beberapa gelintir elit beserta para kroninya daripada melibatkan sebanyak mungkin elemen-elemen masyarakat.

Maka, Bush dan Wapres Cheney, dengan tak ayal memutuskan untuk mendukung skema kudeta militer untuk menyingkirkan Aristide. Dan sebagai penggantinya, Amerika mendukung kemunculan Presiden Sipil namun lemah dan dikendalikan militer, Rene Preval, sampai sekarang.

Dalam skema ini, Rene Preval, sepenuhnya mengikuti bulat-bulat skema privatisasi International Monetary Fund (IMF). Alhasil, skema IMF ini pada kenyataannya telah memberi jalan bagi Preval, Jenderal Cedras dan para kroninya, untuk menjarah perekonomian dan kekayaan alam Haiti secara besar-besaran.

Rentetan kejadian pasca bencana, dengan kehadiran militer Amerika ke Haiti secara massif, serta indikasi adanya rencana jangka panjang Amerika untuk melakukan proyek eksplorasi dan pemetaan geologis beberapa daerah yang diduga berpotensi menjadi ladang minyak terbesar di dunia, telah membawa kita pada beberapa kesimpulan.

Pertama, Haiti ada indikasi kuat akan dijadikan sebagai Arab Saudi baru oleh Amerika Serikat. Berkaitan dengan prediksi dan kemungkinan ini, pembaca dipersilahkan untuk mengakses beberap situs seperti http://www.bnvillage.co.uk, http://www.marguerritelaurent.com, dan http://www.globalresearch.ca/index.php?context=va&aid=6880.

Seperti juga halnya di Arab Saudi, Amerika nampaknya lebih menginginkan Haiti yang tetap berada dalam kekuasaan sekelompok oligarki militer-sipil di bawah sistem politik otoriter, represif, dan mengandalkan pada sosok seorang diktator atau tiran.

Tergulingnya Aristide pada 2004, seperti halnya juga ketika orang yang sama digulingkan oleh George Herbert Bush pada 1991, membuktikan bahwa jaringan korporasi bisnis Amerika di bidang perminyakan dan pertambangan, tidak bisa dianggap remeh. Karena hajatan merekalah, Presiden George W. Bush dengan nekatnya memutuskan menduduki Irak, dan menggulingkan Aristede untuk kedua kalinya pada 2004 lalu.

Bagi konglomerat-konglomerat dari korporasi-korporasi besar Amerika, lebih baik dipimpin presiden yang korup dan otoriter asalkan mau mengikuti skema kolonialisme ekonomi Amerika-Inggris, daripada rejim demokratis namun mencoba menjadi kekuatan yang independent dari pengaruh aliansi strategis Amerika-Inggris.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com