Perdebatan Tentang HAM, Agenda Keamanan Dunia yang Semakin Rumit

Bagikan artikel ini

Dina Y. Sulaeman

Setelah Perang Dingin, dunia menyaksikan berbagai perang domestik (perang yang terjadi di dalam suaru negara, bukan perang antar negara), seperti di Yugoslavia, Rwanda, Sudan. Selain itu, serangan 9/11 yang diikuti dengan invasi AS ke Irak dan Afganistan, serta berbagai aksi pengeboman seperti di Spanyol (2004) dan London (2005), telah membuat semakin kompleksnya agenda keamanan dunia.

Ada pertanyaan besar dalam menyikapi berbagai konflik di dunia, yaitu, apakah seharusnya komunitas internasional berpegang teguh pada prinsip ‘kedaulatan negara’ dan ‘non-intervensi’, sehingga terpaksa berdiam diri bila melihat ada pelanggaran HAM di sebuah negara? Atau, sebaliknya, apakah komunitas internasional harus ikut bertanggung jawab membantu populasi yang mengalami pelanggaran HAM?

Jawaban pertanyaan ini seolah telah diberikan oleh PBB yang pada tahun 2005 menyetujui bahwa komunitas internasional memiliki tanggung jawab untuk melindungi (responsible to protect) populasi dari genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan melawan kemanusiaan.

The international community, through the United Nations, also has the responsibility to use appropriate diplomatic, humanitarian and other peaceful means, in accordance with Chapters VI and VIII of the Charter, to help protect populations from genocide, war crimes, ethnic cleansing and crimes against humanity. In this context, we are prepared to take collective action, in a timely and decisive manner, through the Security Council. [1]

Norma ‘tanggung jawab untuk melindungi’ ini bertentangan dengan norma lainnya yaitu ‘non intervensi’ yang telah menjadi tulang punggung hubungan internasional sejak abad ke-17.  Mengomentari pertentangan norma ini, mantan Sekjen PBB, Kofi Annan, menyatakan bahwa ‘Ide kedaulatan yang ketat dan traditional kini tidak bisa lagi memberikan keadilan bagi aspirasi rakyat di berbagai tempat untuk mendapatkan keadilan mendasar mereka.’[2]

Bila Sekjen PBB berpandangan demikian, tak heran bila kemudian AS dan Inggris dibiarkan untuk melancarkan serangan udara ke Kosovo in 1999, lalu melancarkan perang “Enduring Freedom” dan “Iraqi Freedom” di Afghanistan dan Iraq. Pada praktektnya intervensi terkait HAM sudah dilakukan oleh berbagai lembaga dunia tidak melulu dalam bentuk pengiriman pasukan. Segera telah berakhirnya Perang Dingin, Sekjen PBB saat itu, Boutros-Ghali segera mengeluarkan statemen bahwa demokrasi liberal perlu diterapkan di berbagai negara dunia karena akan membawa keberhasilan di bidang pembangunan, perlindungan HAM, dan perdamaian.

Untuk melaksanakan ide ini PBB pun segera melakukan program-program demokratisasi melalui lembaga-lembaganya, seperti UNDP dan High Commisioner for Human Rights. Bahkan lembaga-lembaga donor seperti IMF dan World Bank juga menetapkan syarat ‘good governance’ (dengan parameter demokrasi liberal) kepada negara-negara penerima hutang. Lembaga-lembaga lain yang juga melakukan program demokratisasi, pemberian dana bantuan, dan program perlindungan HAM dalam satu paket, adalah OSCE (Organization for Security and Cooperation in Europe), OAS (Organization of American States), dan USAID (United States Agency for International Development).

Isu  intervensi demi penegakan demokrasi dan perlindungan HAM ini menimbulkan pertentangan pendapat di antara para pemikir HI. Sebagian pemikir, misalnya realis, menolak intervensi dalam bentuk ‘responsible to protect’ itu dengan alasan bahwa negara-negara besar akan melakukan intervensi bila ada keuntungan material dan keamanan yang dicapai. Dalam pandangan realis, negara adalah egois dan power seeking, karena itu justifikasi moral bagi norma ‘responsible to protect’ adalah omong kosong.

Pendukung utama norma responsible to protect adalah pemikir English School yang beraliran Solidaris. Nicholas Wheeler, adalah salah satu pemikir solidaris yang menyatakan bahwa intervensi kemanusiaan demi melindungi HAM populasi di berbagai negara adalah sebuah kewajiban solidaritas negara-negara sebagai anggota masyarakat internasional. Meskipun mengakui bahwa ada penyalahgunaan operasi intervensi kemanusiaan, Wheeler menyatakan bahwa hal itu bisa dicegah dengan memperketat izin bagi pelaksanaan intervensi tersebut.[3]

Minimalis vs Maksimalis

Di dalam tubuh English School ternyata terdapat pertentangan pendapat terkait HAM dan intervensi ini. Menurut Barry Buzan (2004:45), perdebatan ini  bersumber dari pertanyaan fundamental, apakah hukum internasional harus berdasarkan natural law ataukah berdasarkan  hukum positif.[4] Linklater dan Suganami (2006) menyatakan bahwa perdebatan pluralisme dan solidarisme pada awalnya terkait dengan dua interpretasi empirik tentang apakah ada solidaritas yang cukup, atau potensi solidaritas, untuk membuat implementasi hukum bisa berjalan dalam masayarakt internasional. Perdebatan ini kemudian berkembang menjadi dua kubu, kubu pluralis yang menginginkan tujuan minimal yaitu terciptanya keteraturan internasional dan berlanjutnya eksistensi negara-negara. Sementara kubu solidaris menginginkan tujuan yang lebih jauh lagi, yaitu perlindungan hak asasi manusia sedunia.

Perdebatan antara pluralis dan solidaris ini oleh Andrew Linklater (2006:8) diberi istilah minimalis dan advance. Penulis akan mengganti istilah advance dengan maksimalis. Pemikiran pluralis memiliki tujuan yang minimalis, yaitu terciptakan ketertiban internasional dengan membiarkan negara-negara memiliki budaya dan politik masing-masing. Sebaliknya, pemikiran solidaris memiliki tujuan yang maksimalis, yaitu memberikan perlindungan kepada setiap individu di dunia, tanpa menghiraukan batas-batas negara.

Dikotomi Pluralis-Solidaris dalam Memandang HAM

Secara umum bisa dikatakan bahwa meskipun pluralis dan solidaris berada di bawah payung yang sama, yaitu English School, tetapi kedua pemikiran ini memiliki kecenderungan yang berbeda. Pluralis lebih condong kepada realisme, sebaliknya solidaris lebih condong kepada Kantianisme (kosmopolitan).

Menurut Barry Buzan(2004:46), konsepsi pluralis  sangat state-centric dan empiris. Atas dasar itu, pluralis mengasumsikan bahwa hukum internasional adalah hukum positif (yaitu, hukum yang dibuat oleh negara; bukan hukum alam/natural law). Mereka memandang bahwa negara adalah aktor yang paling dominan. Kedaulatan negara berarti negaralah yang paling berkuasa dalam hukum dan politik. Konsekuensi dari pemikiran ini adalah dunia harus membiarkan negara-negara dengan keunikan politik dan budaya masing-masing. Karena itu, komunitas internasional hanyalah mengurusi hal-hal yang terkait dengan keteraturan interasional di bawah anarkhi (international order under anarchy).

Konsekuensinya, komunitas internasional akan sangat terikat pada perjanjian saling pengakuan atas kedaulatan masing-masing negara, aturan diplomasi, dan norma ‘non-intervensi’. Pluralisme menekankan pentingnya ada institusi internasional yang berfungsi untuk melawan ancaman terjadinya ketidakteraturan yang akan diakibatkan oleh, misalnya, perang antara negara.

Atas dasar pemikiran seperti ini, jelaslah bahwa kaum pluralis tidak bisa menerima bila AS dan Inggris menyerbu Afghanistan dengan alasan ingin membebaskan rakyat Afghan dari rezim Taliban. Dalam pandangan pluralis, penegakan HAM adalah tanggung jawab masing-masing negara dan komunitas internasional tidak bisa melakukan intervensi jika di sebuah negara terjadi pelanggaran HAM. Seperti ditulis Williams, “Problem yang dihadapi negara-negara, termasuk ‘negara gagal’, adalah urusan domestik. Problem mereka bukanlah urusan komunitas internasional negara-negara, kecuali jika suatu negara menyatakan meminta bantuan.”[5]

Sebaliknya, konsep solidarist adalah pemikiran rasionalisme yang lebih condong ke arah kosmopolitanisme. Menurut Mayall (2000: 14)[6] konsep kosmopolitanisme memandang bahwa kemanusiaan adalah tunggal dan tugas diplomasi adalah menerjemahkan solidaritas yang asasi ini ke dalam kenyataan. Solidaris memandang bahwa masyarakat internasional memiliki tingkat kesamaan norma, aturan, institusi antarnegara yang tinggi/luas. Fokus perhatian solidaris tidak terbatas pada keteraturan masyarakat internasional di tengah persaingan; melainkan juga terciptakan kerjasama di dalam isu yang lebih luas, mulai dari kerjasama untuk meraih keuntungan (perdagangan) hingga kerjasama dalam merealisasikan nilai-nilai bersama (misalnya, HAM).[7]

Bisa disimpulkan, pemikiran solidaris mencakup sisi normatif (apa yang harus dilakukan negara-negara dan norma-norma apa yang harus menjadi bagian dari komunitas internasional) dan sisi empiris (apa yang telah/sedang dilakukan negara dan norma-norma apa yang menjadi bagian dari komunitas internasional).[8] Dengan dasar pemikiran seperti ini, terlihat  bahwa solidarisme memandang bahwa intervensi adalah hal yang sah dilakukan demi mewujudkan nilai-nilai universal umat manusia (antara lain HAM). Seperti dikatakan Barry Buzan (2004:48), “Karena solidaris menyatukan antara aktor negara dan non-negara dan mengarah kepada ide kosmopolitan terkait hak-hak individual dan komunitas kemanusiaan, tak pelak lagi, solidaris mengaburkan batas-batas antara komunitas internasional (komunitas negara-negara) dan komunitas dunia (komunitas non-negara).”

Perbedaan posisi  pluralis dan solidaris terkait HAM bisa dijelaskan dengan kalimat lain, “Pluralis menghiraukan upaya untuk mengurangi tindakan saling melukai antar-negara (inter-state harm) sementara  solidaris berupaya untuk mengurangi aksi melukai individu (=pelanggaran HAM terhadap individu) di berbagai negara (cosmopolitan harm).[9]

Kritik Terhadap Solidaris

John Williams mengutip kritikan Jackson terhadap solidaris, yang menyatakan bahwa melemahnya prinsip non-intervensi sebagai akibat dari meluasnya norma kosmopolitan (seperti demokrasi dan perlindungan HAM) akan membawa resiko timbulnya konflik dengan negara-negara yang tidak mau menerima atau tidak memahami ide-ide kosmopolitan itu. Karenanya, jika ada kemungkinan terjadi konflik, ketertiban (order) haruslah didahulukan di atas keadilan. [10]

Sebaliknya Linklater ‘menjawab’ kritikan ini dengan mengatakan bahwa konsep ‘harm’ (melukai, menyakiti) memiliki makna yang setara dan universal. Artinya, dipandang dari versi moral manapun, pasti ada kesepakatan bahwa melukai dan menyakiti sesama manusia adalah hal yang buruk. Karena itu, pemikir English School umumnya meyakini bahwa negara-negara bisa bersepakat untuk menyusun ‘basic harm convention’ dan menyatakan bahwa ada sejumlah kemajuan dengan disepakatinya definisi HAM yang harus dilindungi di seluruh dunia. [11]

Namun ‘jawaban’ Linklater ini masih belum memberikan kepuasan, terkait subjektivitas batas-batas pelanggaran HAM. Linklater sendiri juga menulis, “Barat berada di atas [dominan]dalam mendefinisikan HAM yang harus dilindungi telah menimbulkan ketersinggungan di tengah masyarakat non-Barat.”[12]

Bergman-Rosamon (2007) juga menyatakan bahwa “Sebagian besar intervensi [HAM] tidak terlihat sisi kemanusiaannya dan penilaian apakah sebuah intervensi itu legal atau tidak, merupakan penilaian yang sangat subyektif.”

Contoh kasus yang paling nyata terlihat adalah tekanan lembaga-lembaga donor terhadap negara-negara dunia ketiga. Dengan alasan penegakan HAM, negara-negara ditekan untuk melakukan demokratisasi dengan konsep liberalisme, dimana akhirnya malah berujung kepada eksploitasi kekayaan suatu bangsa demi kepentingan negara-negara Barat. Padahal, HAM sendiri masih dalam tataran ide, dan tidak ada aturan baku mengenai pelaksanaan HAM. Standar perlindungan HAM juga sangat western-oriented, misalnya, pelaksanaan HAM di Iran sangat ketat diawasi dan pemimpin dunia Barat bereaksi keras saat terjadi pelanggaran HAM di Iran. Sebaliknya, pelanggaran HAM di Palestina yang dilakukan oleh Israel selama 60 tahun terakhir tidak dihiraukan oleh pemimpin negara-negara Barat.

***
Daftar Pustaka
Jurnal:
Linklater, Andrew. Citizenship, Humanity, and Cosmopolitan Harm Conventions. International Political Science Review 2001; 22; 261
Williams, John. Pluralism, Solidarism and the Emergence of World Society in English School Theory, International Relations 2005; 19; 19
Bergman-Rosamond, Annika. Non-Great Powers, Solidarism and the Responsibility to Protect -Nordic Forces for Good. (Paper presented at theMaking Sense of a Pluralist World: Sixth Pan-European Conference on International Relations, University of Turin, Italy 12-15 September 2007)
Buku:
Linklater, Andrew  dan Hidemi Suganami. 2006. The English School of International Relations: A Contemporary Reassessment. Cambrigde: Cambrigde University Press
Buzan, Barry. 2004. From International to World Society? English School Theory and the Social Structure of Globalisation. Cambrigde: Cambrigde University Press
Artikel internet:
World Summit Outcome Document http://www.responsibilitytoprotect.org/index.php?option=com_content&view=article&id=398
________________________________________
[1] World Summit Outcome Document http://www.responsibilitytoprotect.org/index.php?option=com_content&view=article&id=398
[2] Dikutip oleh Bergman-Rosamond (2007)
[3] Wheeler ( 2000:309), sebagaimana dikutip oleh Bergman-Rosamond (2007)
[4] Natural law yang dimaksud adalah hukum yang berlandaskan pemikiran Hugo Grotius  bahwa dan masayarakat internasional memiliki beberapa prinsip dasar yang sama, misalnya, naluri dasar untuk mempertahankan hidup dan sikap rasional. Kesamaan prinsip-prinsip dasar inilah yang ‘mengatur’ hubungan antarnegara-negara berdaulat. (Linklater, 2006:27, 63)
[5] Williams, John. Pluralism, Solidarism and the Emergence of World Society in English School Theory, International Relations 2005; 19; 19
[6] Sebagaimana dikutip Buzan 2004:47
[7] Buzan 2004:49
[8] Buzan 2004:47
[9] Linklater (2006:8)
[10] Williams, John. Pluralism, Solidarism and the Emergence of World Society in English School Theory, International Relations 2005; 19; 19
[11] Linklater, Citizenship, Humanity, and Cosmopolitan Harm Conventions, International Political Science Review 2001; 22; 261
Sumber: http://magisterhiunpad.wordpress.com/2010/02/18/perdebatan-tentang-ham/.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com